Rabu, 09 Maret 2011

Makalah Tentang Perlunya Rorientasi Sosiologi Di Indonesia


Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Apabila Sosiologi difahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik generasasi paling luas, karena mempelajari dan menemukan hubungan antara pelaku sosial yang berkelompok, maka Sosiologi dapat seakan-akan memanyungi ilmu-ilmu sosial lain.
Dalam ranah ilmu Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan, pemanfaatan/eksploatasi dengan tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik alam maupun manusia, menurut perinsip kegunaan (utilitarianisme). Karena itu Ekonomi modern, menyimpang dari falsafah semasa ekonomi klasik A. Smith, mengabstraksikan dimensi keadilan dan pemerataan (Gouldner, 1973). Itu pula yang mendekatkan sifat ekonomi ke ilmu alam diera neo-klasik.
Bersebrangan dengan itu Ethnologi memusatkan studi deskriptifnya pada budaya kelompok-kelompok ethnis, terutama yang berada dalam tahap perkembangan pra-sejarah dan / atau pra-aksara. Ilmu Antroophologi yang sudah mulai menjembatani dua ranah tersebut dengan mempelajari, baik aspek manusia sebagai organisme (Physical Antrhopology) maupun perilaku dalam lingkungan kebudayaan (Ethology Cultural/Social Antrhopology).
Ilmu politik memusatkan perhatian pada hubungan dan interaksi yang berkaitan dengan pembagian dan pertukaran kekuasaan (=power). Sejarah menjadi sangat relevant dalam menekuni Sosiologi karena menunjukkan kecenderungan (trends) dan membuka peluang, baik untuk memahami proses perubahan, bertahap atau sebagai loncatan, maupun membuka peluang untuk membanding gejala sosial/ kemasyarakatan. Beberapa cabang kelompok ilmu lain yang sering di acu sebagai kelompok Humaniora seperti Hukum, Pendidikan dan komunikasi pun menunjang dan memberi pengetahuan sangat berharga untuk sosiologi.
Dalam zaman penjajahan Belanda masyarkat Indonesia yang belum dipersepsikan sebagai satu kesatuan, lebih dipelajari dari sudut pandang Ethnologi dan Antropologi budaya. Berkaitan dengan itu juga Hukum Adat sangat diminati baik oleh sarjana Belanda maupun Indonesia, dan banyak diantara mereka bergelar Sarjana Hukum.
Mungkin minat tersebut juga merupakan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda yang ingin menghayati sifat dan tata kehidupan terutama suku-suku bangsa yang berperan di Nusantara. Nama-nama besar seperti Krom, Veth, dan Snouch Hurgronje boleh dikatakan perintis ilmu-ilmu sosial ini di Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Sejak tahun 1920-an timbullah minat sarjana-sarjana Belanda untuk memahami masyarakat lebih luas, karena gejala-gejala sosial yang disoroti tidak terbatas pada lingkungan suku bangsa atau group ethnis. Di antaranya adalah B. Schrieke (1890-1945) yang menulis karangan-karangan ethnografis dan sejarah, sehingga gabungan kedua konteks itu bercorak Sosiologi. Salah satu variabel yang jelas mencerminkan ilmu Sosiologi yang menjadi garapan Schrieke adalah Akulturasi. Misalnya Shcrieke mengulas “Pergeseran kekuasaan Politik dan Ekonomi di Nusantara antara abad ke 16 sampai abad ke-17”. Satu sebab mengapa Schrieke kurang dikenal dan tulisannya kurang dibaca ialah karena beliau menulis dalam bahasa Belanda. Baru setelah tahun 1955 beredarlah kumpulan karangan Schrieke yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (2 jilid. 1955).
Tokoh Belanda lain yang melalui karangan sejarah melukiskan mayarakat Indonesia adalah J.C. van Leur (1934-1942). Jelas konteks makronya tercermin dari judul-judul karangan seperti a.l. Indonesian Trade and Society. Seorang Sarjana Hukum lain yang dikenal dan menulis tentang Indonesia masa kini (kontemporer), bahkan juga meletakkan Indonesia dalam konteks lebih luas lagi adalah Prof. W.F. Wertheim (1899-2001) yang pernah mengajar di Rechts Hogeschool di Jakarta (1936) dan menjadi guru besar tamu di Fakultas  Pertanian, UI (Bogor) 1957. Karena Wertheim mengalami pendudukan Jepang di Indonesia dan sempat mengamati kebangkitan Nasional Indonesia pula, beliau, dapat merekam perubahan sosial dalam bukunya “Indonesia Society in Transition” dari daerah jajahah menjadi Republik yang berdaulat.  
 
II. PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI
Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode  mempelajari Hukum Adat yang masih diminati. Ini sebabnya mengapa baik di Universitas Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto Raharjo dan lain-lain.
Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak  ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.
 
III. REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961). [1]
K. Boulding (1962)  seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]
Erat pula kaitannya dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C. Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]
[1] Roberth Presthus (1962). “ The Organizational Society; An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
[2] Kenneth BOULDING (1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York, Harper Torchbooks.
[3] C. Wright Mills (1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam  arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu.

0 komentar:

Posting Komentar