Rabu, 09 Maret 2011

Pentas Antropologi di Indonesia

WAKTU istirahat saat makan siang dalam sebuah seminar, sambil minum kopi di luar ruang, saya iseng tanya kepada seorang mahasiswa peserta, "Apa tujuan adik belajar antropologi?" "Nanti kalau tamat, saya kepingin jadi guide," jawabnya dengan polos. "Turis-turis itu kan bayar mahal untuk melihat kebudayaan kita dan mereka butuh penjelasan tentang obyek-obyek yang mereka kunjungi."
Saya sangat terkesima mendengar jawaban si mahasiswa. Sebelumnya ada dugaan terlintas, dia pasti ingin jadi pengajar, peneliti, aktivis, atau mungkin juga konsultan. Jawabannya menggelikan, tetapi siapa tega menertawakan? Bagaimanapun, cita-citanya bisa memberi suatu jalan keluar yang baik di tengah-tengah barisan sarjana penganggur di Indonesia.
Tujuan mahasiswa yang menggelitik itu memang tidak bisa dilecehkan begitu saja atau dilupakan sebagai pendapat "orang yang belum mengerti" apa itu antropologi. Sebaliknya, pendapat semacam ini, senaif apa pun, harus dilihat sebagai cermin keterkaitan ilmu, kekuasaan, dan ketidakadilan.
Di Indonesia ilmu modern sangat terkait dengan "nilai guna". Di bawah rezim pembangunan, ruang untuk berfilsafat sangat sempit. Kalau pengetahuan tidak punya aplikasi langsung, dianggap tidak penting, malahan membingungkan atau membahayakan masyarakat yang seharusnya "berpembangunan-ria". Kewarganegaraan seseorang didefinisikan dengan penilaian sejauh mana intelektualitas, maupun subyektivitas, bisa ditujukan pada pengabdian negara dan modal. Demikian pula status antropologi yang berfungsi sebagai abdi-dalem pemerintah dan jarang memberi kesempatan kepada pemikir tandingan.
Namun, kecenderungan antropologi di Indonesia mendukungi status quo tidak bisa dibebankan hanya pada dosa Orde Baru. Asal-usul antropologi, di Barat maupun di Indonesia, terkait intim dengan sejarah kolonialisme. Para pejabat kompeni pada zaman dulu wajib menulis laporan bukan hanya tentang daerah yang akan diambil atau sumber daya alam yang akan dieksploitasi, tetapi tentang karakter masyarakat yang sedang dijajah.
Catatan semacam ini diberi nama etnologi, menawarkan penggambaran watak khas suatu masyarakat. Informasi ini digunakan untuk mempermudah penguasaan kaum pribumi. Antropologi menjadi sebuah teknologi utama guna menjalankan kontrol sosial serta memungkinkan pola penjajahan dengan sistem indirect rule: penundukan dilaksanakan melalui institusi lokal dan pemimpin setempat dengan kodifikasi hegemoni lokal atas nama adat.
Penekanan pada katalog perbedaan budaya memunculkan apa yang pernah diidentifikasikan oleh kritikus sastra, Homi Bhabha, sebagai paradoks kolonialisme: yang dijajah disuruh menjadi white but not quite, atau diajak berpartisipasi dalam struktur penjajahan lewat perbedaan mereka. Dari satu sisi, keaslian masyarakat dianggap, menurut "kebijakan etis" Belanda, sebagai sesuatu yang harus dijaga untuk mencegah yang lemah dari pencemaran gelombang "baratisasi". Tetapi, dari sisi lain, sistem ketidakadilan sosial diperkuat dengan melestarikan kelemahan tersebut. Dengan mengklasifikasikan dan memelihara diferensiasi budaya, antropologi Belanda bukan hanya mengizinkan kolonialisme berfungsi, tetapi menyelimuti kekuasaan dalam bungkus yang indah, moral dan ilmiah.
Setelah Pemerintah Belanda angkat kaki dari Tanah Air, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan lalu menyandang status sebagai negara yang sedang berkembang. Namun, antropologi masih terus dibayangkan sebagai ilmu yang bisa digunakan merapatkan kontrol sosial daripada ilmu yang benar-benar untuk pembebasan.
Melalui tangan Koentjaraningrat, salah seorang pendekar ilmu kebudayaan Indonesia, antropologi Indonesia menjadi alat penting untuk proyek nasionalisme. Praktik-praktik kultural yang sangat variatif dilihat menurut sebuah skala implisit yang mengukur sejauh mana kehidupan seseorang cocok dengan sebuah "kultur nasional" yang ideal.
Antropologi diberi tugas menggali "mentalitas budaya Indonesia" yang akan dijadikan modal sosial untuk menyokong pembangunan. Mahasiswa antropologi dikirim ke daerah-daerah "terpencil" untuk meneliti perilaku menabung, pola makan, sikap terhadap kebersihan, urusan mengisi waktu luang, nilai anak, budaya berlalu lintas, sampai pada konsep sehat dan sakit-informasi yang bisa dipakai untuk "memerdayakan" yang "belum berbudaya". Sedangkan di pusat kekuasaan nasional di Jawa dan Bali, antropolog-antropolog dikerahkan mengumpulkan informasi tentang "puncak-puncak kebudayaan" daerah yang mampu mempromosikan keberadaban Indonesia.
Meskipun antropologi di Barat dan antropologi di Indonesia lahir dari colonial encounter yang sama, di zaman pascakolonial mereka mengikuti jalur yang sangat berbeda. Di negara-negara Barat, dewasa ini antropologi, di antara semua cabang ilmu sosial, mungkin mempunyai status sosial yang paling marginal. Di antara semua ilmuwan sosial, antropolog rata-rata digaji paling rendah, sama dengan para "ahli marginalitas" lain di jurusan kajian perempuan, studi Afrika-Amerika, atau pusat kajian lesbian dan gay.
Antropologi sering dianggap sebagai disiplin yang "kurang ilmiah" sebab memakai metode berbicara langsung dengan masyarakat, dan memberi perhatian terhadap orang yang "tidak penting" di dunia ketiga atau kelompok pinggir dunia pertama. Status antropologi adalah cermin dari dekatnya cabang ilmu ini dengan mereka yang terpinggirkan akibat ketimpangan struktural yang terjadi pada masyarakat industri-kapitalis dengan aneka ragam masalah, seperti diskriminasi ras, ketaksetaraan gender, dan kemiskinan. Keakraban sang antropolog dengan kehidupan ghetto di perkotaan, pecandu minuman keras, penyalah guna narkoba, siasat hidup buruh, korban HIV, para migran, penghuni panti jompo, dan pengemis telantar menggeser kedudukan pengetahuan ini semakin ke "garis tepi".
Namun, di Indonesia, antropologi menempati posisi ganda. Meskipun antropologi dihargai sebagai ilmu yang berguna untuk "pencerahan", sebagian besar antropolog Indonesia melakoni hidup prihatin sebagai dosen atau pengajar dengan gaji yang serba pas- pasan dibandingkan dengan para ahli kedokteran atau ilmu politik-atau tentu saja politisi. Salah seorang teman dosen perguruan tinggi dengan tiga orang anak, ditambah tuntunan kredit rumah dan biaya SPP, mengakui dengan jujur bahwa jangankan mengajar, membaca buku kuliah saja tidak sempat karena sibuk mencari uang tambahan sebagai calo jual-beli mobil.
Dengan kesal dia mengeluh, "Karena masalah keuangan, beli buku anak- anak saya prioritaskan lebih dulu daripada beli publikasi baru." Antropolog-antropolog di dunia universitas juga menghadapi fasilitas minim dan ketiadaan perpustakaan yang memadai sebagai denyut jantung kehidupan universitas. Di sinilah salah satu dilema antropologi di Indonesia: punya posisi hegemonis karena memainkan peranan sentral dalam pembangunan sebagai peracik resep modernitas, tetapi dari sisi lain dianggap marginal karena bergumal dengan subkultur kehidupan mereka yang tak beruntung.
Dengan pendidikan dan harga diri yang begitu tinggi, banyak antropolog Indonesia sangat gampang ditarik dari kampus untuk mengabdi pada kapital. Begitu Pemerintah Indonesia berkeinginan menarik modal asing, antropolog menaruh minat pada jasa komersial. Mereka mengambil proyek penelitian yang disponsori oleh sektor swasta seperti perbankan, perusahan detergen, jaringan waralaba pramusaji, industri farmasi, maupun biro iklan yang ingin mengerti bagaimana menjual mi instan kepada suku-suku Papua yang lebih suka ketela dan sagu, atau bagaimana memasyarakatkan kondom, IUD, padi unggul, dan pupuk kimia.
Di Bali, antropologi juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog bisa berfungsi sebagai juragannya. Di Bali, untuk menyambut kedatangan sang pembawa devisa, berjamurlah sekolah pariwisata maupun perguruan tinggi yang menawarkan kurikulum "kebudayaan" yang dibidani oleh insan-insan akademis. Di sinilah terletak benang kusut diskursif antara pengetahuan, takhta, dan uang.
Penjajahan teori
Keterkaitan antropologi di Indonesia dengan ideologi nasionalisme dan perjalanan kapitalisme global berpengaruh besar terhadap teori sosial yang berkembang di antara para ilmuwan lokal. Di Indonesia, dunia perguruan tinggi memang kental dengan iklim konservatisme, salah satu warisan yang terburuk dari rezim Orde Baru. Pembantaian 1965 menghapus ribuan pemikir kritis dari peta intelektual Indonesia, diikuti oleh program normalisasi kehidupan kampus yang bertujuan mensterilkan universitas dari ingar-bingar kehidupan politik.
Hubungan dunia akademik dan kekuasaan negara diresmikan lewat kebijakan bahwa semua dosen harus memunyai surat "bersih lingkungan" dan membuktikan kesetiaan mereka terhadap Pancasila dan P4. Kebanyakan posisi berkuasa di universitas-universitas di Indonesia masih ditempati oleh generasi pemikir yang bersedia berkompromi dengan syarat yang telah ditentukan.
Konservatisme teori juga diwarisi oleh rezim penjajahan. Sampai sekarang antropologi di Indonesia masih dipengaruhi oleh pemikiran kuno Belanda yang berusaha mencari struktur sosial dasar atau structural core di mana semua masyarakat Indonesia dibayangkan mempunyai persamaan dalil regularitas. Beberapa antropolog Indonesia saat ini masih sibuk mencari model klasifikasi dualisme, perputaran emas kawin dan persekutuan antarklan dan sistem kekerabatan yang "selesai" dan abadi daripada melihat perubahan sosial yang terjadi di depan mata mereka.
Orientasi teoretis yang lamban ini mempersulit antropologi melihat masalah genting yang dihadapi masyarakat sekarang. Seorang mahasiswa yang cukup cerdas pernah bertutur, bagaimana suatu hari dia dibentak oleh sang dosen ketika mengajukan proposal penelitian skripsinya tentang "politik ritual kekerasan 1965". Rancangan idenya ditolak mentah-mentah karena dianggap oleh bapak mahaguru tidak sesuai dengan bidang kajian antropologi. "Kekerasan itu urusan ilmu politik, bukan antropologi," kata sang pembimbing dengan singkat dan gamblang.
Sikap ini mungkin bisa dipahami sebagai internalisasi ketakutan: di negara yang begitu opresif, ilmuwan sosial dilarang turun ke lapangan untuk meneliti dan mencari dalang "ekonomi kekerasan." Namun, ini mungkin juga bisa dilihat sebagai operasi kekuasaan yang jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam kata dari Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.
Di Indonesia, kebudayaan dan kekerasan dibayangkan menempati dua ruang yang terpisah, yang tidak berhubungan sama sekali. Kebudayaan dilihat secara hierarkis sebagai sesuatu yang ada di "dunia atas" seperti di kerajaan, istana, dan departemen. Sedangkan kekerasan dianggap berada "di luar" atau di "dunia bawah," biasanya dilakukan oleh orang kebanyakan yang berkeliaran di pasar, kampong, dan jalan raya di daerah yang jauh dari pusat kebudayaan Jawa dan Bali, seperti Aceh, Papua, Poso, Ambon, dan Sampit. Potret kekerasan di Indonesia biasanya menggambarkan kekerasan "wong cilik" dari pembakaran pencuri, pembunuhan dukun santet, tawuran antarkampung, kerusuhan ulah para preman, pertengkaran etnis, sampai perselisihan agama dengan menyensasikan kekerasan sebagai sebuah gejala deformasi kebudayaan.
Dengan kesibukan antropolog mencari rumusan suatu tatanan, serta prinsip stabilitas suatu masyarakat, struktur sosial yang membuahkan ketidakadilan dan kekerasan sehari-hari masih bisa dibiarkan terbungkus rapi. Kalaupun disinggung, kerusuhan yang meletup dianggap sebagai sekadar "kelainan" yang bersifat sesaat, yang tidak berpengaruh terhadap model yang sedang dicari.
Di satu sisi, teori semacam ini merupakan satu bentuk "pengingkaran kemanusiaan" yang disebut oleh Fabian dengan istilah denial of coevalness. Di sisi lain, antropologi berkelit dengan "relativitas budaya" dengan argumentasi bahwa masing-masing kebudayaan memiliki logika internal sendiri. Inilah yang membuat kesan antropologi seolah-olah sekadar pengintip sosial yang sia-sia, seperti provokasinya Philippe Bourgois, seorang pakar "antropologi publik," yang menulis etnografi berjudul In Search of Respect dan menyebut antropologi cenderung menjadi "an upper class exercise of voyeurism."
Massa rakyat yang terjebak dalam kekerasan jarang tersuarakan oleh antropolog dibandingkan dengan suara para tokoh seperti kepala desa, ketua RT, ketua RW, kepala suku, atau kepala kepolisian. Orang-orang "lemah" dianggap kurang mampu mengartikulasikan apa yang menimpa mereka. Namun, seperti kebisuan seorang korban perkosaan, bukan mereka tidak mampu membicarakan apa yang telah dialami. Sebaliknya, antropologi kekurangan bahasa yang bisa mewakili kepedihan dan penderitaan orang. Kecenderungan ini membuat antropologi seakan-akan pengetahuan yang berurusan dengan "kepala", tidak jauh beda dengan praktik di kalangan suku primitif yang berburu penggalan kepala manusia. Tanpa menciptakan praktik "mendengar" yang baru, ilmu sosial di Indonesia berisiko jadi semacam modern-day headhunting.
Sekarang di Indonesia memang ada manuver untuk meninggalkan apa yang disebut "aliran struktural-fungsional" menuju teori sosial yang lebih "modern" seperti pendekatan dekontrukstif dengan pembongkaran makna melalui tafsir hermenutis, post-modernisme yang memberi ruang pada pluralitas dan keterpecahan realitas, sampai pada apa yang disebut cultural studies yang membedah politik representasi, media massa, konsumtivisme, dan kelas sosial.
Sebagai praktik intelektual, cultural studies membedakan dirinya dengan arus "pemikiran utama", seperti kritik sastra, sejarah seni, atau antropologi melalui fokus terhadap teks yang diciptakan oleh kelompok pinggiran, seperti komik, seni rakyat, plesetan, musik alternatif, parodi, media alternatif, dan bentuk-bentuk ekspresi tandingan yang ada di luar jalur hegemonik. Sumber inspirasi berasal dari kritikus marxist Stuart Hall dari mazhab Birmingham School dan mencoba memberi suara pada perlawanan sehari-hari "kaum lemah" terhadap diskursus dominan.
Namun, usaha ini belum juga mampu keluar dari hubungan kekuasaan yang melilit antropologi di Indonesia untuk mengangkat suara mereka yang terbungkam. Di sini pemahaman seorang sosiolog pasca-marxis, Pierre Bourdieu, memang penting. Menurut Bourdieu, kekuasaan bekerja bukan hanya lewat kelas dalam arti hubungan yang tidak adil dengan means of production di dunia ekonomi, tetapi lewat produksi dan reproduksi "modal simbolis". Di Indonesia wacana kebudayaan dipakai untuk meminggirkan penciptaan budaya kaum lemah dan melihat perjuangan sehari-hari mereka sebagai sesuatu yang tidak punya nilai, sebagai cermin peradaban. Cultural studies bisa mencoba menyulap sistem penilaian tersebut dan menciptakan definisi baru "kebudayaan". Namun, menurut Bourdieu, kekuasaan juga berfungsi lewat habitus orang, praktik-praktik yang terbadankan yang mengandung trace of structural violence atau jejak kekerasan struktural yang melekat dalam hubungan sosial sehari-hari.
Kalau Bourdieu benar, tidak ada subyek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari power. Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan, tak cukup mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai "suara alamiah perlawanan" yang murni dan tak terkorupsi. Teks yang diproduksi oleh mereka yang disebut massa marginal masih diciptakan oleh segelintir "brahmana" di antara ribuan massa paria. Dunia sosial berhierarki di antara para pengemis, pelacur, ekstapol, narapidana, pemadat, preman, dan buruh bukan hanya membuahkan solidaritas di antara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jegal, bahkan saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggunya.
Di sinilah penting menghidupkan antropologi sebagai ilmu pembebasan di Indonesia. Metodologi antropologi partisipasi-observasi yang mendekati masyarakat dengan memakai bahasa mereka, mendengar, dan melihat bagaimana mereka memaknai kehidupan sehari-hari dan melihat lebih akrab lagi struktur kekuasaan yang beroperasi dalam keseharian di antara mereka yang terpuruk. Daripada membaca "teks pinggiran" di kantor, dengan metode observasi-partisipasi si antropolog bisa meretakkan tembok tebal yang memisahkan dunia peneliti dan dunia yang diteliti untuk merasakan konflik, ketidakadilan, baku-tipu dan "ekonomi moral" yang meracuni dunia mereka. Hanya etnografi yang bisa mendeskripsikan "habitus" yang membelenggu kehidupan mereka yang tersisihkan.
Praktik cultural studies juga memunculkan sebuah bahaya baru: kalau di dunia Barat antropologi sering dikritik sebagai ilmu yang terpukau berat dengan kebudayaan lain yang eksotik, di Indonesia keterpukauan terbalik, memberi pemujaan yang berlebihan pada teoretikus impor pascakolonial sebagai ikon. Nama-nama empu kritikus keren seperti Baudrillard, Habermas, atau Derrida masuk dalam sebuah dunia ekonomi budaya pop, layaknya kegandrungan remaja ABG yang ngefans berat dengan grup rok alternatif yang menjadi idola mereka.
Untuk ilmuwan Indonesia, nama-nama teoretikus dan kutipan singkat mereka ditempelkan dalam teks seperti tempelan stiker nama pentolan para roker yang dipajang di helm, sepeda motor, mobil, dan pintu kamar kos. Mungkin ini sebuah taktik konpensasi dengan harapan-siapa tahu-kesaktiannya nanti bisa menular secara magis. Setidak-tidaknya ini membuat PD sang ilmuwan yang berasal dari negeri bekas jajahan menjadi terdongkrak, walaupun membuat wujud baru kolonialisasi, yang mengambil pengalaman orang marginal untuk membuat teks yang berwibawa daripada merealisasikan solidaritas yang nyata.
Mendiagnosis "patologi kekerasan"
Yang menjadi persoalan sekarang: bagaimana antropologi di Indonesia seharusnya memosisikan diri dalam menyikapi ketidakadilan? Apakah penelitian jalan terus dengan mengedarkan kuesioner yang terangkai indah tanpa kepekaan sosial pada perjuangan keseharian mereka yang tersisihkan? Menurut salah seorang dokter humanis, yang juga aktivis dan antropolog, Paul Farmer, yang dipertaruhkan oleh antropologi bukan hanya perdebatan akademis dengan adu kecanggihan teori, tetapi sebuah sikap pemihakan terhadap korban stuktural sebuah "patologi kekuasaan". Apakah antropologi tetap harus berpartisipasi dalam penyebaran virus opresi? Atau, bisakah antropolog di Indonesia memakai kemampuan mereka membangun komitmen baru serta mendiagnosis dan menyembuhkan patologi kekerasan?
Di era reformasi akhir-akhir ini budayawan berteriak lantang ketika seni etnik dilarang manggung, sistem kepercayaan yang dianut tak diakui, atau kurikulum tak bermuatan lokal, tetapi mereka tak terusik ketika masyarakat yang diteliti tak makan. Antropolog bekerja asyik mengumpulkan data untuk publikasi seru tentang ritus, kepercayaan, dan mitos lokal tanpa menghitung beberapa anak bangsa tidak bisa membaca sama sekali.
Haruskah ilmuwan sosial Indonesia hanya mementingkan tanggung jawab atas "karya besar" mereka sendiri, atau juga atas ekonomi moral di mana produksi intelektual terjadi? Antropologi berutang banyak dari kaum papa. Pengalaman yang didapat dari bergumul hidup dengan mereka yang terpinggirkan bisa menghasilkan karier, tetapi juga bisa menghasilkan senjata untuk menyerang mereka. Namun, antropologi bukan hanya sebagai pilihan profesi, tetapi juga "saksi" di mana tubuh korban kekerasan disiksa, disekap, dihancurkan, dibuang, diculik, bahkan dilenyapkan.

0 komentar:

Posting Komentar