Tampilkan postingan dengan label Makalah Arkeologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Arkeologi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Maret 2011

Legimin dan Titipan Pra-Sriwijaya

Tas hitam yang dibawa dari kampung dibukanya dengan sigap. Isinya bukan berkas-berkas penting, apalagi tumpukan uang. Tak disangka lelaki berwajah keras itu mengeluarkan kepingan-kepingan tembikar, bandul jaring dari tanah liat, tempurung kelapa, potongan kayu dan tulang hewan, pecahan bata, batu asah, sejumput manik-manik, dan seikat ijuk dari dalam tas.
"Ini contoh-contoh temuan yang ditemukan di belakang rumah saya waktu membuat parit," ujar Legimin (43), seorang transmigran asal Malang (Jawa Timur) yang kini jadi warga Desa Karangagung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Menempuh jarak waktu empat jam dengan perahu motor dari kampungnya ke Kota Palembang hanya untuk memperlihatkan benda-benda usang dan tidak utuh lagi memang tidak lazim. Namun, kirimannya itu menjadi kado istimewa buat purbakalawan di Balai Arkeologi Palembang yang menekuni bukti-bukti peradaban sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.
Artefak-artefak yang dibawa Legimin berasal dari situs Karangagung Tengah yang terletak di kampungnya. Situs itu kemudian menjadi terkenal di dunia arkeologi ketika beberapa tahun yang lalu analisis laboratorium terhadap dua potong kayu bekas tiang rumah panggung zaman kuno menghasilkan pertanggalan 1624-1629 BP, kira-kira sama dengan tahun 326-329 Masehi.
Penelitian arkeologis secara intensif sejak tahun 2000 sampai sekarang semakin memperkuat teori bahwa pada abad ke-4 Masehi telah ada komunitas di daerah pantai Sumatera Selatan yang aktif dalam perdagangan internasional. Komunitas yang cukup padat dan telah mengenal spesialisasi pekerjaan dan stratifikasi sosial.
Letak situs dekat Selat Bangka, selat yang dikenal sebagai ajang perdagangan internasional pada awal Masehi. Komoditas impor yang ditemukan di situs, antara lain, adalah manik-manik dari India dan Asia Barat.
Situs Karangagung diidentifikasi sebagai situs masa proto sejarah, kemudian arkeolog memberi istilah situs pra-Sriwijaya. "Disebut situs pra-Sriwijaya karena masanya sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Palembang, dan juga pertimbangan faktor lokasi yang tidak jauh dari persebaran situs-situs Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Jambi," ujar Tri Marhaeni, ketua tim penelitian.
Tak pelak, ditemukannya situs Karangagung sekitar tahun 2000 telah mengubah teori perubahan garis pantai timur Sumatera dalam kaitannya dengan lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya. Teori itu yang menyatakan lokasi Sriwijaya di Palembang maupun di Jambi terletak pada tanjung di tepi laut sekitar abad ke-7 Masehi. Tampaknya teori itu perlu dipertimbangkan lagi setelah ditemukannya permukiman Karangagung dari masa yang lebih tua daripada Sriwijaya (Soeroso, 2002).
Museum situs
Setelah lebih dari seribu tahun terkubur dalam kesunyian, situs Karangagung mulai diusik manusia. Pada tahun 1987 hingga 1990, daerah Karangagung mulai dibuka sebagai lahan transmigrasi menyusul dibukanya lahan transmigrasi di Air Sugihan beberapa tahun sebelumnya. Maka dimulailah eksploitasi kekayaan arkeologi situs Karangagung.
Legimin mengisahkan, tahun 1997-1998 terjadi booming manik-manik dan benda-benda berlapis emas dari situs Karangagung. Saat itu penduduk berburu manik-manik dari bahan kaca berlapis emas, bahan batu, kaca, dan perunggu. Semua benda relik itu menjadi komoditas yang laku keras.
Jual-beli manik-manik dilakukan menurut panjang manik-manik yang dirangkai. Harga manik-manik emas Rp 40.000 per cm, manik-manik perunggu Rp 5.000 per cm, manik-manik batu Rp 500 per cm, sedangkan dari bahan lainnya Rp 1.000 per cm. Umumnya para penadah manik-manik berasal dari luar Karangagung. Legimin teringat ada seorang penadah berhasil mengumpulkan manik-manik sampai satu karung beras seberat 20 kilogram. Manik-manik itu kemudian dibawa ke Jawa dan akhirnya ke Bali.
Bisnis artefak mulai surut ketika instansi purbakala di Palembang dan Jambi melakukan penyuluhan kepada penduduk, selain artefak semakin berkurang diambili penduduk. Legimin aktif membantu para purbakalawan. Bukan itu saja, ia rajin mengumpulkan artefak-artefak yang tidak laku dijual, seperti pecahan-pecahan tembikar, bata kuno, dan potongan kayu, lalu ditata di halaman rumahnya.
"Saya telah membuat museum situs di halaman rumah," ujar Legimin. Istilah "museum situs" diperolehnya dari arkeolog yang kerap melakukan penelitian dan tinggal di rumahnya. Baginya, mengumpulkan dan memajang artefak di depan rumah agar dilihat tamu tentang bukti-bukti peradaban abad ke-4 Masehi itu adalah museum situs.
Mengapa Legimin membawa artefak-artefak "rongsokan" ke Palembang?
"Saya ingat pesan teman-teman dari arkeologi, terutama Pak Roso, kalau menemukan lokasi temuan yang paling padat dan beraneka ragam, supaya melaporkan. Parit yang saya gali padat dan lengkap temuannya, Pak," kata Legimin menjelaskan maksud kedatangannya di Palembang, sambil melaporkan ada warga yang menyimpan tujuh patung perunggu berukuran kecil. Pak Roso yang dimaksud adalah Soeroso MP, salah satu peneliti yang pertama mengungkap identitas situs Karangagung Tengah, dan kini selaku Direktur Peninggalan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Legimin, yang pernah menempuh karier sebagai petinju di Malang, pertama kali ikut transmigrasi ke Air Sugihan pada tahun 1980 dan mulai menetap di Karangagung pada akhir tahun 1989. Air Sugihan, yang letaknya di sebelah timur Karangagung (masuk Kabupaten Banyuasin), dikenal juga kaya dengan artefak pra-Sriwijaya. Daerah ini yang terlebih dahulu dieksploitasi kekayaan arkeologinya, terutama manik-manik dan keramik. Dari Air Sugihan kemudian para pemburu harta karun mengalihkan perhatian ke Karangagung.
Legimin hidup tenang di Karangagung bersama keluarga. Usahanya sebagai petani dan tukang tambal gigi mampu menghidupi seorang istri dan lima anaknya, bahkan putrinya yang sulung dapat kuliah di Malang. Sebagai tukang tambal gigi, Legimin keliling kampung dengan sepeda mencari pasien sambil mengumpulkan artefak-artefak "rongsokan" untuk koleksi museum situsnya.
Museum terbuka Legimin kini telah diberi atap rumbia agar benda-benda koleksi tidak kepanasan dan kehujanan. Dia mengakui, museum itu diwujudkan karena kekagumannya pada umur artefak-artefak Karangagung yang lebih tua daripada Kerajaan Sriwijaya, setelah ia mendengar informasi dari para purbakalawan yang sering berdiskusi di rumahnya yang sederhana.
Legimin memang bukan Maclaine Pont yang rajin mengumpulkan benda-benda peninggalan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, pada tahun 1924-1926. Arsitek bangsa Belanda yang merekonstruksi ibu kota Majapahit itu membangun gedung yang kokoh dan megah untuk menyelamatkan artefak Majapahit, sementara Legimin membangun museumnya dengan bahan apa adanya.
Bagi Legimin, benda-benda itu adalah titipan leluhur dari tanah Sriwijaya. Walaupun bukan tanah kelahirannya, kekayaan arkeologi di tanah Sriwijaya yang dipijaknya kini perlu dijaga.

Pariwisata sebagai Pilihan Bentuk Pemanfaatan Warisan Budaya Situs Trowulan: sebuah Gagasan Awal



Abstrak
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan warisan budaya (cultural heritage) . Pernyataan ini bukan sekedar retorika belaka, namun kenyataan obyektif telah memperlihatkan bahwa wilayah dengan luas daratan belasan ribu kilo meter persegi dipenuhi oleh peninggalan budaya masa lampau. Semua masa yang terbagi dalam pembabakan sejarah – prasejarah, klasik, Islam, kolonial, revolusi - ada bukti tinggalannya. Bahkan tiga warisan dunia terdapat di sini yaitu: Candi Borobudur (1991), Kompleks candi Prambanan (1991) dan situs Prasejarah Sangiran (1996). Belum lagi yang ada di laut, sampai sebelum abad XX telah terdeteksi sekitar 463 kapal yang diduga memuat benda berharga tenggelam di perairan Nusantara.
Situs trowulan sebagai salah satu warisan budaya merupakan potensi yang cukup penting untuk dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan melalui pariwisata merupakan pilihan yang tepat karena pariwisata mempunyai karakteristik yang unik dan sekaligus dapat menjadi alternatif jawaban atas problem pelestarian warisan budaya. Melalui pariwisata potensi-potensi lain yanga ada di kawasan tersebut juga akan memperoleh peluang untuk berkembang sebagai kelengkapan penting dalam suatu sistem industri (pariwisata).

Pendahuluan
Situs Trowulan merupakan situs kota (town site, city site atau urban site) yang pernah ditemukan di Indonesia. Situs yang diduga bekas pusat kerajaan Majapahit ini memiliki luas 11 x 9 Km. meliputi wilayah kabupaten Mojokerto dan kabu­paten Jombang. Di kawasan itu terdapat tinggalan-tinggalan arkeologi yang ditemukan dalam jumlah yang cukup besar dan jenis temuan yang beraneka ragam. Dari bangunan yang bersifat monumental, seperti candi, petirtaan, pintu gerbang, fondasi bangunan sampai yang berupa artefak, seperti arca, relief, benda alat upacara, alat rumah tangga, dll.
Peninggalan kuno tersebut telah menarik begitu banyak ahli untuk meneliti. Peneliti pertama tercatat tahun 1815 adalah Wardenaar yang atas perintah Raffles melakukan penelitian di daerah Trowulan. Hasilnya terdapat dalam buku “History of Java” karangan Raffles yang terbit tahun 1817. Peneliti berikutnya adalah WR van Hovell (1849), JFG Brumund (1854) dan Jonathan Rigg yang hasilnya terbit dalam “Jurnal of The Indian Archi­pelago and Eastern Asia” . Masih banyak peneliti asing secara bergelombang datang ke Trowulan dengan tujuan yang sama yaitu ingin mengungkap sisa-sisa kehidupan masa lampau kerajaan besar tersebut. Tak ketinggalan seorang pribumi, yaitu A.A. Kromojoyo Adinegoro, yang juga seorang bupati Mojokerto pada tahun 1914 berhasil mene­mukan candi Tikus. Beliau juga merintis pendirian museum Mojokerto dengan koleksi benda-benda yang berasal dari kerajaan Majapahit yang dite­mukan di Trowulan.
Nama yang juga tak bisa dipisahkan dengan situs Trowulan adalah Henri Maclaine Pont, seorang insinyur perkebunan yang punya perhatian besar terhadap kepurbakalaan. Beliau mendirikan kantor penelitian khusus situs Trowulan. Hasil penggalian yang dilakukan sejak tahun 1921 – 1924 dicocokkan dengan uraian dalam kitab Negara­kertagama dan membuahkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit. Masih banyak peneliti maupun sebatas pemerhati yang menaruh perhatian besar terhadap situs ini hingga sekarang.
Pada era kemerdekaan kegiatan penelitian dilakukan oleh Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional seksi bangunan di Trowulan sejak 1953. Kali ini sudah disertai dengan kegiatan pemugaran sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan budaya. Kehadiran Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1970 untuk melakukan penggalian juga telah memberikan andil besar dalam mengungkap kebesaran Majapahit.
Di sisi lain, kekayaan warisan budaya yang luar biasa tersebut belum memperoleh peng­hargaan yang semestinya dari penduduknya. Hal ini antara lain tampak dari perusakan situs yang diakibatkan oleh kegiatan sehari-hari penduduk. Pembuatan bata merah dengan bahan baku tanah liat sawah telah menimbulkan kerusakan situs secara luar biasa. Sekurangnya 300-an industri bata merah yang kini tersebar di kawasan situs Tro­wulan (Mundardjito, dalam Kresno Yulianto; 2004: 7). Disamping itu kebiasaan penduduk yang mencari emas dengan cara menggali lubang kemudian menyaring pasir (Jw. Ngendang) masih cukup ramai dilakukan. Penggalian untuk mencari bata merah kuno untuk dijadikan semen merah juga masih berlangsung karena permintaan masih cukup tinggi. Semua itu menjadi ancaman serius bagi situs ini.
Yang perlu segera diupayakan adalah pencegahan perusakan terhadap situs yang masih berlangsung. Kegiatan masyarakat yang dinilai dapat mengancam keamanan situs perlu segera dipikirkan penggantinya. Keamanan situs menjadi prioritas utama, namun masyarakat tidak harus kehilangan akses ke situs. Untuk itu, kawasan yang banyak mengandung deposit barang berharga tersebut harus dapat dimunculkan sebagai sumber daya yang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya arkeologi tidak hanya oleh peneliti (ilmuwan) saja dengan kegiatan penelitiannya, namun masyarakat umum juga berhak atas ruang untuk mewujudkan apresiasi mereka sesuai dengan bentuk pemaknaan yang mereka kembangkan atas warisan budaya tersebut. Bukankah masyarakat juga pewaris yang sah atas tinggalan tersebut. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah bahwa warisan budaya tersebut merupakan sumber daya yang sangat terbatas, oleh sebab itu peman­faatannya juga harus menjaga keawetannya.
Berkaitan dengan hal di atas, pariwisata seba­gai pilihan bentuk pemanfaatan sumberdaya arkeologi merupakan hal yang cukup menarik dan realistis untuk ditawarkan. Sebagai sistem industri, pariwisata dinilai dapat memberikan peluang kepada banyak orang untuk berpartisipasi. Selain itu pariwisata concern terhadap pelestarian obyek karena obyek merupakan komponen utamanya. Pilihan bentuk pemanfaatan ini juga dapat membantu menyentuh masalah yang berkaitan dengan perilaku masyarakat, yaitu perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian situs. Dengan kondisi seperti itu, perilaku partisipatif dapat diharapkan muncul. Dalam banyak kasus, perilaku yang partisipatif dari masyarakat (penduduk) merupakan faktor kunci jawaban suatu masalah. Ciri lain dari industri pariwisata yaitu bersifat in situ dapat menjadi jaminan bagi masyarakat lokal.
Pengertian partisipasi yang memuat unsur peran serta, kontribusi dan tanggung jawab dari masyarakat akan menjadi faktor penentu dalam kegiatan pariwisata. Dengan partisipasi masyarakat dapat mengakses simpul-simpul penting ekonomi pariwisata. Dengan partisipasi pula masyarakat akan menjadi pemeran utamanya. Sudah sepatut­nya pariwisata Indonesia ini sepenuhnya “di­mainkan” oleh rakyat, karena unsur-unsur yang ada di dalamnya seperti hotel, restoran, trans­portasi, cinderamata dan sebagainya selalu terkait dan bahkan memiliki ketergantungan pada produk dan jasa ekonomi rakyat.

 

Masalah

Dalam upaya pemanfaatan tersebut, masalah utama yang akan dibahas adalah yang berkaitan dengan perilaku masyarakat. Salah satu sisinya adalah tidak banyak pilihan bagi penduduk dalam hal mencari nafkah. Kegiatan penduduk yang dapat mengancam keutuhan situs dapat dihentikan apabila terdapat pilihan lain yang juga nyata manfaatnya. Apalagi penduduk tidak pernah mem­peroleh manfaat apa-apa dengan tetap menjaga kelestariannya. Jadi jelas, bahwa nilai manfaat berkorelasi positif terhadap keamanan situs ar­keologi. Berkaitan dengan hal tersebut, pariwisata akan menjadi pilihan bentuk pemanfaatan
Industri pariwisata dengan karakteristik yang unik dirasa cukup memberikan peluang peman­faatan situs secara berkelanjutan karena salah satu ciri utamanya adalah menjaga keawetan (kon­servasi) daya tarik. Jika tinggalan arkeologi yang akan menjadi daya tarik utama, maka keawetannya harus terjaga. Dengan demikian pariwisata sekali­gus akan dapat berperan sebagai alat bantu upaya konservasi daya tarik wisata, yakni tinggalan arkeologi. Masalahnya adalah: bagaimana bentuk tampilan situs atau tinggalan arkeologi serta pengelolaan potensi-potensi lain sebagai atraksi wisata.
Jawaban atas pertanyaan tersebut di atas harus sudah mencakup aspek keamanan situs dengan segala potensi yang dikandungnya serta manfaat­nya juga dapat dirasakan oleh masyarakat setem­pat. Faktor keamanan ini merupakan prioritas utama, namun tidak harus menjadi kendala bagi upaya pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Melalui pola pengelolaan yang tepat masalah tersebut diharapkan dapat segera memperoleh jawaban.

Pariwisata sebagai pilihan pemanfaatan
Dalam upaya mewujudkan suatu wilayah sebagai tujuan wisata, perlu dikembangkan upaya-upaya pemberdayaan seluruh potensi yang ada untuk ditampilkan sebagai atraksi wisata. Untuk itu perlu dilakukan eksplorasi kreatif guna mengenali potensi lain yang terpendam. Upaya ini dimak­sudkan agar dapat memperkaya khasanah daya tarik wisata. Tingkat keanekaragaman daya tarik akan sangat penting artinya bagi kelangsungan industri pariwisata suatu daerah. Semakin banyak jenis daya tarik yang ditawarkan akan semakin banyak pangsa yang akan dirambah dan akan lebih punya peluang “memaksa” wisatawan untuk tinggal lebih lama di suatu tempat.
Di kawasan Trowulan, selain tinggalan arkeologi juga suasana pedesaan yang masih cukup terasa merupakan potensi lain yang juga layak ditawarkan sebagai daya tarik wisata. Wilayah pedesaan yang secara geografis dan sosial berbeda dengan perkotaan, dapat menghadirkan suasana khusus dan khas. Dari catatan observasi di lapangan tentang potensi daya tarik wisata di kawasan Trowulan paling tidak terdapat tiga jenis daya tarik, yaitu:
a. daya tarik budaya meliputi tinggalan ar­keo­logi, situs, kesenian lokal, kegiatan ekonomi khas, keramahan penduduk, dll.
b. daya tarik alam, yaitu meliputi iklim, kein­dah­an alam pedesaan, karakter khas ling­kungan, dll.
c. daya tarik khusus meliputi event-event khu­sus yang berkaitan dengan keberadaan ka­was­an Trowulan sebagai situs arkeologi, seperti event penggalian (ekskavasi).
Daya tarik budaya---dalam bentuk tinggalan arkeologi---merupakan daya tarik unggulan bagi kawasan Trowulan sebagai daerah tujuan wisata. Trowulan yang identik dengan sisa-sisa kerajaan Majapahit menjadi ciri khusus yang akan mem­bentuk citra suatu daerah tujuan wisata. Peng­embangan daya tarik budaya ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati. Karena kegiatan ini melibatkan benda cagar budaya dengan intensitas yang cukup tinggi, maka bentuk tampilan juga harus memperhatikan keamanan situs ataupun benda cagar budaya (BCB) tersebut, karena sebagaimana BCB pada umumnya mempunyai sifat antara lain rapuh (fragile), tidak bisa diperbarui (non renewable) dan tidak bisa digantikan oleh apapun juga (irreplaceable). Pengembangan dari apa yang sudah ada sekarang ini merupakan tindakan cukup bijak. Beberapa bangunan yang telah berdiri dengan spesifikasi museum seperti Balai Penye­lamat Arca merupakan awal yang baik untuk pengembangan lebih lanjut. Juga bangunan-ba­ngunan yang sudah berdiri kokoh seperti Pendopo Agung, dapat menjadi kelengkapan penting kawas­an ini.
Kawasan yang mengandung banyak titik situs arkeologi ini sebagian besar masih tergolong wilayah pedesaan. Beberapa karakteristik wilayah yang dapat dikemukakan antara lain adalah: 1) sebagaian besar wilayahnya adalah persawahan atau ladang, 2) masih banyak dijumpai bangunan berarsitektur khas pedesaan (Jawa) dan 3) keramahan penduduknya. Pengembangan potensi daya tarik jenis ini membutuhkan pemahaman masyarakat tentang apa yang menjadi keinginan wisatawan. Bagi wisatawan - terutama asing - keindahan alam khas pedesaan merupakan daya tarik yang cukup kuat. Beberapa unsur yang dapat memberikan ciri khusus patut ditonjolkan. Seperti bangunan dengan arsitektur khas pedesaan dapat menjadi unsur penting dalam menghadirkan suasana pedesaan. Bentang alam (lanskap) dengan hamparan sawah ladang serta iklim tropis yang berangin sejuk merupakan kenyamanan yang akan dapat diperoleh wisatawan.
Kebutuhan masyarakat akan suasana keluar dari atmosfir pedesaan tidak harus dihalangi. Na­mun kesadaran untuk menjaga keserasian ling­kungan di kalangan masyarakat perlu ditum­buhkan. Perubahan lingkungan yang terlalu banyak menghilangkan unsur-unsur khas pedesaan dapat menjadi sesuatu yang kontraproduktif. Keramahan penduduk merupakan ciri sudah ada, yang tetap perlu dijaga adalah perilaku yang tidak mudah larut dalam suasana industri yang materialistis konsumtif.
Kegiatan-kegiatan ilmiah yang sering dilaku­kan di kawasan situs Trowulan merupakan event yang juga dapat ditawarkan sebagai daya tarik khusus. Melalui suatu sistem pemasaran yang khusus, event ini dapat ditawarkan kepada kalangan terbatas dengan harga yang khusus pula. Penyeleksian calon pembeli (peserta) perlu dila­kukan seperlunya mengingat spesifikasi kegiatan ini yang sangat khusus. Melalui kegiatan ini, dua manfaat sekaligus akan diperoleh, yaitu manfaat memperoleh data/informasi tentang tinggalan arkeologi dan manfaat finansial dari hasil penjualan event penelitian.
Potensi-potensi yang dikemukakan tersebut di atas merupakan modal awal bagi Trowulan untuk menjadi daerah tujuan wisata yang cukup penting. Letak geografis Trowulan yang berada di jalur wisata Bali–-Jogja merupakan keunggulan lain yang dipunyai. Dengan posisi seperti itu, Trowulan sangat berpeluang “mencegat” rombongan wisata­wan dari Bali yang akan menuju Jogja atau sebaliknya. Daya tarik yang ada cukup layak untuk ditawarkan.
Yang juga penting adalah penyajian informasi yang cukup, menarik dan mudah dipahami tentang semua daya tarik yang di tawarkan. Daya tarik alam didampingi informasi mengenai tofografi, klimatologi, sosial budaya masyarakat dll. akan sangat penting artinya terutama bagi wisatawan mancanegara guna membantu wisatawan mema­hami obyek yang dikunjungi. Informasi tentang tinggalan arkeologi dan situs yang ada, dapat digali melalui kegiatan penelitian (penggalian/ekskavasi) serta dokumen-dokumen yang ada.
Kelengkapan lain yang dapat menunjang kegiatan pariwisata di Trowulan adalah kerajinan dan cinderamata. Terdapat cukup banyak perajin patung logam dengan teknik cor dan gerabah dengan bentuk-bentuk yang “meniru” temuan yang pernah diperoleh di situs Trowulan. Disamping itu masih terdapat beberapa perajin patung batu andesit. Semua itu dapat menjadi kelengkapan penting bagi daerah tujuan wisata. Kerajinan ini umumnya dipasarkan keluar daerah. Hanya sebagian kecil yang dipasarkan untuk wisatawan yang datang.
Pemasaran (marketing) merupakan kelengkap­an penting dan bagian tak terpisahkan dari suatu sistem industri pariwisata. Melalui pola pemasaran yang tepat, tinggalan arkeologi serta daya tarik wisata lainnya akan dapat dikenal dan ditawarkan secara luas.

Penutup
Begitu banyak perhatian berbagai kalangan telah diberikan kepada situs Trowulan. Namun sebagian besar masih dengan tujuan yang hampir sama, yaitu ingin mengungkap misteri kejayaan kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara. Dan untuk itu yang dilakukan biasanya adalah kegiatan penelitian atau yang semacamnya. Bagaimana dengan mereka yang mempunyai tujuan lain selain penelitian? Bagaimana dengan mereka yang hanya ingin merasakan atmosfir kejayaan masa lalu? Pemanfaatan sumberdaya arkeologi tidak hanya oleh peneliti (ilmuwan) saja dengan kegiatan penelitiannya. Masyarakat umum juga berhak atas ruang untuk mewujudkan apresiasi mereka sesuai dengan bentuk pemaknaan yang mereka kembang­kan atas warisan budaya tersebut. Bukankah masyarakat juga pewaris yang sah atas tinggalan tersebut.
Melalui pariwisata sebagai bentuk peman­faatan warisan budaya, kepentingan dengan berbagai tingkat tersebut menjadi mungkin untuk disediakan. Yang penting adalah bahwa warisan budaya tersebut merupakan sumber daya yang sangat terbatas, oleh sebab itu pemanfaatannya juga harus menjaga keawetannya. Beberapa kasus telah menunjukkan bahwa terdapat situs kebudayaan yang terdaftar dalam 'World Heritage Sites' ICOMOS (International Council of Monuments and Sites) rusak atau terganggu dengan kehadiran wisatawan. Pada kasus-kasus tertentu kita mungkin juga harus berkata “tidak” untuk pariwisata. Namun melalui pengembangan hubungan simbiosis mutualistis anta­ra peninggalan budaya dengan pariwisata maka kekhawatiran yang berlebihan akan keselamatan situs dapat diminimalkan.
Dengan model pariwisata ini, masyarakat lokal mempunyai peluang lebih besar untuk terlibat secara penuh. Problem pelestarian warisan budaya juga akan memperoleh inspirasi baru. Berikutnya, Trowulan akan menjelma menjadi “panggung” kehidupan dengan peran utamanya rakyat. Tentu ini merupakan awal dari sebuah kerja kolosal yang juga akan menjadi awal sebuah perubahan bagi masyarakat ke arah yang lebih sejahtera.

Arkeologi Teror


Setelah peledakan bom dahsyat Oktober 2002, Bali kembali diguncang bom di Kuta, Jimbaran dan Nusa Dua, menewaskan puluhan dan melukai ratusan orang. Peledakan di tempat, bulan dan pola yang hampir sama menunjukkan, teror dan terorisme berlangsung seperti siklus, mengikuti regularitas, sehingga mampu mereproduksi diri sendiri.
Siklus, regularitas, dan reproduksi teror memampukan teroris mengorganisasi ruang (tempat peledakan), waktu (kapan diledakkan), sehingga ada waktu yang dianggap ”musim panen” terorisme (biasanya September-Oktober) di dalamnya berbagai peristiwa teror besar berlangsung— the regularity of terror.
Kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasi ruang, waktu, taktik, strategi dan ”teknologi teror” itu sendiri memperlihatkan bahwa ada seperangkat ”pengetahuan”, metode diseminasi, paradigma dan konstruksi sosial pengetahuan tertentu yang dikembangkan di dalam terorisme sehingga ia mampu melakukan tindak sosial (peledakan, penghancuran) secara reguler dan sistematis—the knowledge of terror.
Berbeda dengan bentuk-bentuk tindak sosial dan kekerasan lainnya yang hanya dilihat sebagai sebuah fenomena fisik semata, tindak kekerasan di dalam teror dapat dilihat sebagai sebuah ’pernyataan’ (statement), yaitu tindak kekerasan sebagai cara untuk mengomunikasikan pesan (politik) tertentu. Sehingga, teror harus dilihat pula sebagai sebuah bentuk komunikasi atau wacana, yang pernyataannya menuntut sebuah jawaban, respons atau reaksi dari pihak lain—the discourse of terror.
Meskipun para teroris sebagai ’pengirim pesan’ (sender) tidak pernah menampakkan dirinya—dan sering kali menjadi sebuah misteri bahkan mitos—tindak dan ”pernyataan” para teroris (berupa peledakan bom dan bentuk teror lainnya) adalah nyata dan konkret, yang memerlukan upaya intensif tidak saja membongkar para pelakunya, tetapi juga menafsirkan pesan-pesan (messages) yang ingin disampaikannya.

Arkeologi teror
Disebabkan teror adalah sebuah wacana (discourse), yang di dalamnya tidak hanya beroperasi berbagai tindakan fisik, melainkan juga berbagai ”pernyataan” atau ”pesan” tertentu yang menuntut respons tertentu, maka sesungguhnya ada sebuah ’formasi wacana’ (discourse formation) tertentu yang membangun tindakan terorisme, dengan memanfaatkan secara maksimal berbagai kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang ada.
Michel Foucault di dalam The Archeology of Knowledge (1989) menjelaskan berbagai bentuk wacana (termasuk wacana terorisme) sebagai sebuah bentuk ’arkeologi’ (archeology), yaitu istilah khusus untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan yang dikembangkan, relasi sosial yang terbentuk, aktor-aktor dan institusi yang terlibat, serta formasi bahasa (termasuk bahasa kekerasan) yang digunakan akan sangat menentukan pernyataan dan makna yang beroperasi di dalam wacana (termasuk wacana terorisme).
”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya pengetahuan (savoir) yang dilibatkan di dalam setiap tindakan teror: teknologi teror (pengetahuan bahan, teknologi merakit, prosedur meledakkan), sosiologi teror (kondisi sosial, relasi sosial dan formasi sosial yang ada), psikologi teror (suasana hati dan kondisi psikologis yang mendukung), dan politik teror (relasi kekuasaan dan struktur politik yang ada). Teror tidak saja sarat kekerasan, tetapi juga sarat pengetahuan.
”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya ”riset” yang dilakukan untuk mendukung sebuah tindakan teror: aspek geografis tentang di mana akan melakukan aksi teror, aspek sosial tentang siapa korban yang akan menjadi sasaran, observasi intensif pada lokasi sasaran, pengintaian (surveillance) pada gerak-gerik di dalam lokasi itu, aspek teknologis tentang besarnya tenaga ledakan dan besarnya efek kehancuran yang dihasilkannya.
”Arkeologi teror” menunjukkan strategi, taktik dan teknik tinggi yang digunakan di dalam sebuah tindakan teror, melalui kemampuan tinggi menafsirkan kondisi ruang-waktu yang ada untuk menentukan keputusan-keputusan yang diambil: mengapa meledakkan di Kuta, Jimbaran, dan Nua Dua, bukan di kota lain; mengapa meledakkan pada tanggal 1 Oktober malam, bukan waktu yang lain; mengapa melakukan bom jarak jauh, bukan bom bunuh diri.
”Arkeologi teror” menunjukkan ’politik waktu’ (chronopolitics) yang digunakan di dalam tindakan teror, yaitu politik global pengorganisasian waktu dan intensitas penyerangan, yang membentuk sebuah siklus dan regularitas teror. Peledakan bom Bali Oktober 2005 ini yang hampir bersamaan dengan peledakan Oktober 2002 menunjukkan pola regularitas ini, yang menjelaskan tentang siklus ke depan aktivitas terorisme.
”Arkeologi teror” menunjukkan ’efek wacana’ (effect of discourse) terhadap masyarakat pada umumnya, melalui penafsiran terhadap ”pernyataan teror”, pesan-pesan (sosial-politik) yang ingin dikomunikasikan, dan respons sosial yang dihasilkan (ketakutan, trauma, paranoia). Peledakan bom Bali yang hampir bersamaan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak telah menimbulkan efek ganda teror, yang memungkinkan orang mencari relasinya dengan kenaikan itu, di samping relasi-relasi lainnya—the double effect of terror.

Regularitas teror
Meskipun aksi teror mempunyai siklus, regularitas, dan model reproduksi sosialnya sendiri sebagai sebuah wacana, bukan berarti bahwa tindakan teror dapat diprediksi secara tepat, akurat dan presisi kapan dan di mana ia akan terjadi. Akan tetapi, setidak-tidaknya ”tipologi teror”, baik ”tipologi waktu” (September-Oktober) dan ”tipologi ruang” (hotel, restoran, kafe, mal, kedutaan, bank, perkantoran) dapat menunjukkan arah dan tren teror di masa depan.
Wacana teror yang mempunyai model pengetahuan, teknologi, strategi, taktik, teknik, regularitas, metode, sistematika, dan ”epistemologi” yang jelas menunjukkan bahwa terorisme kini telah menjadi semacam ”disiplin” atau ”institusi” yang mampu memproduksi tidak saja tindakan sosial, tetapi juga tindak komunikasi (pesan, makna) yang berdisiplin, sistematis dan reguler sehingga menuntut pula regularitas, intensivitas, konsistensi dan disiplin tinggi dalam menghadapinya—the discipline of terror.
Akan tetapi, mentalitas masyarakat maupun otoritas berwenang yang cenderung reaktif, emosional, sporadis, tak sistematis, inkonsisten dan indisipliner—dibandingkan mentalitas para teroris yang proaktif, rasional, sistematis, konsisten, disipliner—menjadi sebuah alasan utama mengapa di dalam setiap ”perang mental” ini para teroris selalu menjadi ”pemenang”, dengan masih leluasanya mereka menyusup, menyelinap, dan melakukan berbagai tindakan peledakan, penghancuran dan pembunuhan di dalam ketersembunyiannya.
Bila regularitas, sistematika, konsistensi, dan disiplin para teroris ini tidak dapat diimbangi oleh aparat keamanan dan otoritas berkepentingan lainnya di masa depan, maka siklus teror—dengan segala regularitasnya—akan selalu muncul di masa depan, tanpa ada yang tahu secara persis kapan, di mana, dan siapa sasarannya. Akibatnya, aura kehancuran, aroma bercak darah, tangisan kematian, dan hantu-hantu trauma akan tetap menjadi bagian dari regularitas dunia kehidupan kita di masa depan—the archeology of terror.

Kesejajaran Arsitektur Bangunan Suci India dan Jawa Kuna

  I
Telah banyak teori yang mencoba menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sampai ke kepulauan Indonesia. Hal yang sudah pasti adalah berkat adanya pengaruh tersebut penduduk kepulauan Indonesia kemudian memasuki periode sejarah sekitar abad ke-4 M. Menurut J.L.A Brandes (1887) penduduk Asia Tenggara termasuk yang mendiami kepulauan Indonesia telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya pengaruh kebudayaan India, yaitu: (1) mengenal pengecoran logam, (2) mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding goa, (3) mengenal instrumen musik, (4) mengenal bermacam ragam hias, (5) mengenal sistem ekonomi barter, (6) memahami astronomi, (7) mahir dalam navigasi, (8) mengenal tradisi lisan, (9) mengenal sistem irigasi untuk pertanian, (10) adanya penataan masyarakat yang teratur. Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari India ataupun dari Cina.
Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek kebudayaan penting oleh penduduk kepulauan Indonesia. Aspek-aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia benar-benar barang baru, yang tidak mereka kenal sebelumnya, yaitu:
1. Aksara Pallava
2. Agama Hindu dan Buddha
3. Penghitungan angka tahun Saka
Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia terpacu dengan pesatnya, berkembang dan menghasilkan bentuk-bentuk baru kebudayaan Indonesia kuna yang pada akhirnya pencapaian itu diakui sebagai hasil kreativitas penduduk kepulauan Indonesia sendiri.

Dengan dikenalnya aksara Pallava, atau sering juga disebut dengan huruf Pascapallava, nenek moyang bangsa Indonesia mampu mendokumentasikan pengalaman dalam kehidupannya. Terbitnya prasasti-prasasti dari kerajaan-karajaan kuna, penggubahan karya sastra dengan berbagai judul, serta dokumentasi tertulis lainnya adalah berkat dikenalnya aksara Pallava. Bahkan di masa kemudian aksara Pallava itu kemudian “dinasionalisasikan” oleh berbagai etnis Indonesia, maka muncullah antara lain aksara Jawa Kuna, Bali Kuna, Sunda Kuna, Lampung, Batak, dan Bugis.
Wilayah kepulauan Indonesia segera memasuki zaman sejarahnya ketika sumber tertulis yang berupa prasasti awal telah dijumpai di wilayah ini. Sebagaimana diketahui prasasti-prasasti pertama itu terdapat di wilayah Jawa bagian barat dan Kalimantan Timur. Di Jawa bagian barat berkembang institusi kerajaan yang bercorak kebudayaan India pertama kali, yaitu Tarumanagara yang salah satu rajanya bernama Purnnavarmman. Dalam pada itu di Kalimantan Timur juga berkembang sistem kerajaan yang sama, berkat peninggalan-peninggalan prasasti Yupa yang masih bertahan hingga kini, diketahui adanya kerajaan kuna di wilayah Kutai, rajanya yang dikenal dalam prasasti bernama Aswawarmman. Walaupun di kedua lokasi tersebut prasasti-prasastinya belum mencantumkan kronologi yang pasti, tetapi dapat diduga bahwa kerajaan-kerajaan pertama di bumi Nusantara itu berkembang pada sekitar abad ke-4 M.
Prasasti yang berangka tahun pertama dijumpai di wilayah Jawa bagian tengah, disebut prasasti Canggal yang berangka tahun 652 Saka atau 732 M. Prasasti itulah yang merupakan bukti awal bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah menghitung tahun, dan system penghitungan yang dipakai merekam adalah penghitungan tahun Saka dari kebudayaan India. Sejak saat itu masyarakat Jawa Kuna seterusnya mencantumkan data kronologi untuk mencatat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupannya, tahun-tahun tidak lagi lewat dan diabaikan begitu saja.
Akibat diterimanya agama Hindu-Buddha oleh penduduk kepulauan Indonesia terutama Jawa, maka banyak aspek kebudayaan yang dihubungkan dengan kedua agama itu menjadi turut berkembang pula. Hal yang dapat diamati secara nyata terjadi dalam bidang seni arca dan seni bangun (arsitektur). Bentuk kesenian lain yang turut terpacu sehubungan dengan pesatnya kehidupan agama Hindu-Buddha dalam masyarakat adalah seni sastra. Banyak karya sastra dan susastra yang digubah dalam masa Hindu-Buddha selalu dilandasi dengan nafas keagamaan Hindu atau Buddha. Juga diuraikan perihal ajaran agama yang dianyam dengan cerita-cerita yang melibatkan para ksatrya dan kerajaan-kerajaan atau kehidupan pertapaan.
Dalam hal seni arca sudah tentu, penggarapannya selalu dibuat untuk keperluan keagamaan. Di Jawa pernah berkembang suatu bentuk kesenian yang disebut bentuk “Kesenian Terikat”. Bentuk kesenian itu selalu terkait dengan kehidupan keagamaan, kesenian yang dikembangkan oleh para seniman (silpin) didedikasikan kepada keperluan agama. Bentuk kesenian terikat sukar untuk berubah, sebab kesenian itu tidak saja dikaitkan dengan agama tetapi juga dipersembahkan untuk kehidupan agama suatu komunitas (Vogler 1948). Seniman sebagai sosok individual dirasakan tidak perlu untuk ditampilkan, kalaupun disebutkan --misalnya dalam karya-karya sastra-- nama seniman pujangga itu ditulis dengan panggilan samaran seperti Prapanca (lima kekurangan), Tantular (tidak bisa bertutur), Nirartha (tidak punya harta), dan lainnya lagi. Sedangkan dalam bidang seni arca atau pun arsitektur, diri seniman pembuatnya tidak pernah ada disebutkan. Dalam hal seni bangunan suci dalam masa Jawa Kuna tidak pernah diketahui siapa nama arsiteknya, karya arsitektur tersebut dianggap sebagai suatu karya komunal, suatu karya yang didedikasikan bagi kehidupan agama dalam masyarakat pada suatu masa di suatu wilayah. Oleh karena itu hasil kajian dapat menyimpulkan relief cerita apa saja yang dipahatkan di Candi Borobudur, berapa kubik balok batu yang dipergunakan untuk membangun candi itu, berapa jumlah stupanya, dan lainnya lagi, namun tidaklah dapat diketahui siapa arsitek perancangnya. Apalagi arsiteknya, nama raja yang menganjurkan untuk mendirikan Candi Borobudur pun sampai sekarang masih belum dapat diketahui secara pasti.
Dalam pandangan tradisional para perancang dan penaja (sponsor) suatu karya arsitektur semegah apapun, agaknya tidak perlu untuk ditonjolkan. Dalam pandangan itu karya arsitektur masih terkait erat untuk keperluan agama, seni, dan masyarakat. Dalam Bagan I terlihat hubungan karya arsitektur dengan butir-butir lainnya,
 
II
Pada bagan tersebut terlihat kaitan antara masyarakat-seni-agama saling berasosiasi, ketiganya menunjang terbentuknya suatu karya arsitektur. Dengan demikian suatu karya arsitektur sebaik apapun, apabila dalam pandangan masyarakat dan apalagi dianggap tidak sesuai dengan kaidah keagamaan Hindu atau Buddha, sudah tentu karya arsitektur tersebut tidak mendapat apresiasi, bahkan mungkin sekali diabaikan saja atau malahan dibongkar kembali. Lain halnya apabila karya arsitektur tersebut dipandang memenuhi hasrat kehidupan keagamaan masyarakat, maka struktur yang paling sederhana pun akan tetap diapresiasi dan dianggap sebagai objek sakral.
Kesenian terikat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuna, sangat mungkin telah berakar jauh dalam zaman ketika pengaruh India belum masuk ke kepulauan Indonesia. Melalui berbagai peninggalan megalitik dapat diketahui bahwa penduduk kepulauan ini telah mengenal adanya religi yang mengkultuskan arwah nenek moyang.
Bentuk penghormatan terhadap arwah leluhur tersebut berkembang seiring dengan pemujaan terhadap tempat-tempat tinggi seperti lereng gunung, dataran tinggi, dan puncak-puncak gunung. Sebagai media pemujaan dalam relii tersebut merekam mendirikan bangunan-bangunan megalitik di daerah ketinggian tersebut, seperti menhir, dolmen, kubur batu, teras bertingkat (punden berundak), dan susunan batu-batu artifisial lainnya. Kultus leluhur tersebut untuk beberapa waktu agaknya telah “diendapkan” ketika pengaruh agama Hindu-Buddha sedang berada di puncak perkembangannya antara abad ke-8—10 M di wilayah Jawa bagian tengah. Kemudian setelah diendapkan beberapa lama, religi yang dikembangkan dalam masa perundagian itu lalu hidup kembali dalam era Majapahit antara abad ke-14—15 M.
Dengan demikian ketika pengaruh kebudayaan India masuk dan diperkenalkan di tengah-tengah masyarakat prasejarah di kepulauan Indonesia, mereka bukanlah suatu masyarakat yang liar dan biadab, tetapi benih kebudayaan India itu disemaikan di lahan yang tepat dan subur, masyarakat prasejarah Indonesia yang beradab.
III
Karya Arsitektur awal yang masih dapat bertahan hingga kini dari masa perkembangan agama Hindu-Buddha di Jawa hanya beberapa bangunan saja. Misalnya Candi Gunung Wukir di Magelang, beberapa candi di dataran tinggi Dieng, candi-candi Gedong Songo di Ambarawa (Jawa Tengah), dan Candi Badut di Malang (Jawa Timur). Di antara candi-candi tersebut yang dihubungkan dengan prasasti yang berkronologi adalah Candi Gunung Wukir dengan prasasti Canggal (tahun 732 M) dan Candi Badut dengan prasasti Dinoyo (tahun 760 M).
Candi Badut keadaannya jauh lebih baik dari pada Candi Gunung Wukir karena bangunan itu masih menyisakan bagian kaki dan tubuhnya, sedangkan atapnya tidak ada lagi karena rusak (runtuh). Adapun candi-candi Pervaranya yang berjumlah 3 bangunan hanya tersisa pondasinya saja. Sedangkan di situs Candi Gunung Wukir sekarang ini hanya dijumpai sisa bangunan candi, yaitu bagian kaki candi terbawah yang di permukaannya --dalam posisi yang miring-- terdapat batu yoni. Di depan sisa candi itu masih terdapat 3 candi Pervara yang hanya meninggalkan bagian kaki dan sedikit dinding tubuhnya, atap candi-candi Pervara itu tidak ada lagi. Akan halnya candi-candi Dieng dan Gedong Songo strukturnya masih relatif utuh, ada bagian kaki, tubuh, dan atapnya, walaupun memang tidak sempurna sekali. Ukuran candi-candi itu pun relatif kecil apabila dibandingkan dengan candi-candi yang dibangun dalam masa yang kemudian.
Sangat mungkin ketika pengaruh agama Hindu-Buddha mulai diterima dan berkembang dalam masyarakat Jawa Kuna, tradisi mendirikan bangunan suci dalam bentuk lengkap seperti pada umumnya, yaitu terdiri dari kaki, tubuh, dan atap bangunan masih belum dikenal secara baik. Jacues Durmacay seorang arsitek yang mendalami peninggalan arsitektur Jawa Kuna pernah menyatakan bahwa pada awalnya bangunan suci dalam masyarakat Jawa Kuna (candi) tidak didirikan dalam bentuk lengkap, melainkan hanya berupa bangunan batur (soubasement) yang di permukaannya diletakkan objek-objek sakral (Lingga-Yoni dan arca-arca), jadi candi-candi bersifat terbuka dan arca utama kelihatan dari luar (Dumarcay 1999: 415). Objek sakral itu kemudian dinaungi oleh atap dari bahan yang mudah rusak, seperti ijuk, jalinan rumput ilalang kering, kayu dan bambu. Oleh karena itu bagian atap tidak dapat dijumpai lagi hingga sekarang. Pada sekitar awal abad ke-9 terjadi perombakan besar-besaran terhadap bangunan-bangunan suci demikian, dengan ditambahi dengan dinding, relung-relung, serta struktur atap yang terbuat dari bahan yang tahan lama (batu). Pendapat itu didasarkan pada dijumpainya beberapa susunan perubahan dan tambahan pada beberapa candi di Jawa Tengah, misalnya pada candi Bima di Dieng, Candi Lumbung di daerah Prambanan, dan candi-candi Pervara di kelompok percandian Sewu (Dumarcay 1999: 416--7).
Demikianlah agaknya setelah pengaruh dari India itu mulai lancar memasuki masyarakat Jawa Kuna, maka bangunan-bangunan suci yang didirikan di Jawa pun dibuat sesuai dengan kaidah ajaran Hindu atau Buddha. Bentuk candi-candi di Jawa kemudian ada yang mirip dengan kuil-kuil pemujaan dewa yang ada di India.
Terdapat kemungkinan bahwa beberapa bangunan bangunan candi di Jawa bagian tengah bentuk arsitekturnya diilhami oleh bangunan-bangunan suci di India. Beberapa bangunan di Mahabalipuram seperti Arjuna Ratha, Draupadi Ratha dan Dharmaraja Ratha dan beberapa bangunan lainnya yang merupakan peninggalan dinasti Pallava bentuknya sangat mirip dengan candi-candi di dataran tinggi Dieng (Nath 1996: Plate XXIX—XXX, & XXXII)
Agaknya gaya arsitektur bangunan suci masa Gupta dan sesudah Gupta di daerah tengah dan barat India, serta arsitektur bangunan suci yang dikembangkan oleh dinasti Pala di wilayah timur laut India dapat dipertimbangkan pula sebagai akar bagi pengembangan bangunan-bangunan candi di Jawa bagian tengah (Chihara 1996: 98—9). Begitupun bangunan Candi Bima di Dieng sangat mungkin juga didasarkan pada seni bangunan suci Orissa di India. Puncak atap Candi Bima yang sekarang telah rusak, sangat mungkin dahulu dihias dengan bentuk amalaka.Bentuk demikian biasa dijumpai menjadi penghias puncak atap sikhara pada kuil pemujaan dewa di India, misalnya pada bangunan Parasuramesvara di Bhuvanesvara (Coomaraswamy 1985: 202, plate 216).
Dalam hal pembangunan monumen-monumen keagamaan Hindu-Buddha di Jawa pada masa silam, agaknya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Ketika agama Hindu atau Buddha sudah diterima oleh masyarakat Jawa Kuna, konsep-konsep dasar tentang pembuatan bangunan suci, arca, dan ornamen lainnya pun kemudian diterima pula. Dalam bagan II terlihat sebagai berikut:
 

Setelah diterima oleh masyarakat Jawa Kuna, kemudian segala pengaruh budaya luar itu diolah kembali dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan budaya yang telah berkembang sebelumnya (kebudayaan prasejarah Indonesia). Penyesuaian itu terjadi pula akibat adanya kondisi alam yang sedikit berbeda antara tanah Jambhudvipa dan Jawadvipa.
Jadi ketika anasir budaya India, dalam hal ini agama Hindu-Buddha sudah mulai memasyarakat, mulai pula masyarakat Jawa Kuna mengkreasikannya kembali. Unsur-unsur luar itu tidak diterima begitu saja untuk ditiru. Oleh karena itu dalam hal pendirian bangunan suci, tidak pernah ada bangunan keagamaan Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuna yang mirip sama sekali dengan kuil-kuil pemujaan dewa di India. Memang pada awal perkembangannya, terdapat bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah yang mengingatkan peneliti pada bangunan suci India. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, masih di wilayah Jawa Tengah, bangunan suci yang dirikan tidak banyak lagi mempertahankan corak keindiaannya, kecuali pada seni arca dan ornamennya. Bangunan-bangunan seperti itu misalnya dapat dijumpai di wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yaitu Candi Barong dan Candi Ijo yang halamannya dibuat bertingkat-tingkat sebagaimana layaknya punden berundak dalam masa prasejarah.
Dalam perkembangan selanjutnya dalam periode Klasik Muda di wilayah Jawa Timur (abad ke13—15 M) arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah memperoleh gayanya tersendiri. Bentuk arsitekturnya apabila diamati akan terdiri dari (a) candi-candi bergaya Singhasari, (b) gaya candi Jago, (c) gaya candi Brahu, dan (d) punden berundak. Dapat dikatakan pengaruh India dalam periode tersebut sudah mulai menipis, yang tampak terlihat adalah pada “permukaannya” saja.
Kompleks bangunan suci terluas di wilayah Jawa Timur, yaitu Candi Panataran pun bentuknya tidak lagi bercorak seperti bangunan suci yang telah dikenal sebelumnya di Jawa Tengah dalam era yang lebih tua. Bentuk bangunan-bangunan di dalam kompleks Panataran kebanyakan berupa arsitektur terbuka, menyebar, dan sebagiannya menggunakan bahan-bahan yang mudah lapuk. Apat dinyatakan bahwa kompleks Panataran tersebut merupakan prototipe bangunan-bangunan suci di Bali (pura) yang didirikan setelah keruntuhan Majapahit dalam awal abad ke-16 hingga sekarang ini (Bernet Kempers 1959: 90--4). Begitupun bentuk punden berundak yang dibangun di lereng gunung, terasakan sekali adanya upaya penghidupan kembali pemujaan arwah nenek moyang (ancestor worship) yang telah lama di kenal dalam zaman prasejarah.
Pengaruh India dalam hal ini hanya tinggal dalam konsep-konsep keagamaannya saja, konsep-konsep kedewataan atau pun cerita-cerita epic yang kemudian digubah kembali oleh para pujangga Jawa Kuna. Dalam hal konsepsi keagamaan pun, hakekat tertinggi dalam agama Hindu dan Buddha dalam masa kerajaan Singhasari (abad ke-13 M) dan Majapahit (abad ke-14—15 M) telah dipadukan menjadi Bhattara Siva-Buddha. Hal yang menarik adalah bahwa perpaduan konsepsi dewata tertinggi itu pun kemudian dituangkan dalam bentuk bangunan suci, misalnya kehadiran nafas Siva dan Buddha akan dirasakan pada arsitektur Candi Jawi (Pasuruan) dan Candi Jago (Malang). Di Candi Jawi, unsur Buddha terlihat pada puncaknya, sedangkan di relung-relung tubuh candinya dahulu berisikan arca-arca Hindu-Saiva khas Jawa. Begitupun di Candi Jago, cerita relief yang dipahatkan banyak yang bernafaskan Hindu-Saiva, adapun arca-arca pelengkap candi itu semuanya bernafaskan Buddha Mahayana. Candi-candi yang bersifat perpaduan seperti itu agaknya sukar untuk ditemukan di Jambhudvipa.
IV
Tidak dapat diingkari bahwa arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapat pengaruh yang kuat dari India. Hal itu terjadi seiring dengan diterimanya agama Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuna. Karena sistem keagamaannya diterima, maka sudah tentu didirikanlah tempat-tempat suci sebagai sarana peribadatannya. Dalam perkembangannya, ternyata arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapatkan coraknya tersendiri yang berbeda dengan bangunan sejenis di India.
Kenyataan seperti itu pada dasarnya tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga dapat dijumpai di wilayah-wilayah lainnya di daratan Asia Tenggara, misalnya pada bangunan suci Campa, Khmer (Kamboja), dan Thailand. Pengaruh India tersebut mungkin masuk ke wilayah Asia Tenggara pada sekitar awal tarikh Masehi, kemudian pengaruh yang datang itu diolah kembali untuk dijadikan seperti milik sendiri oleh penduduk-penduduk pribumi yang menerimanya.
Dalam hal arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di India dan Jawa yang lebih dirasakan adalah adanya kesejajaran (parallelism) setelah agama Hindu-Buddha dari India diterima oleh masyarakat Jawa Kuna. Pada awalnya memang pengaruh India banyak mengilhami pendirian karya monumen keagamaan pada sekitar abad ke-8 M, ketika peradaban Hindu-Buddha baru mulai marak berkembang. Dalam periode selanjutnya karya arsitektur Jawa Kuna mendapatkan jalannya tersendiri untuk berkembang, berlanjut, atau pun punah.
Kesejajaran yang dapat diamati adalah dalam hal konsepsi dasarnya saja, sedangkan dalam segi visualisasi untuk menjadi bentuk kebudayaan materi (bangunan, arca dan relief), terdapat perbedaan yang nyata. Dalam hal konsepsi keagamaan pun apabila dikaji lebih mendalam tetap ada perbedaan, bukankah visualisasi menjadi kebudayaan materi adalah cerminan dari konsepsi. Dengan demikian mengapa candi-candi di Jawa berbeda dengan kuil-kuil pemujaan dewa di India, hal itu sangat mungkin karena cerminan konsepsi yang berbeda pula.
Pengaruh agama dari India yang datang ke Jawa diolah lagi oleh para pendeta-pemikir Jawa Kuna, lalu muncul gagasan yang memadukan hakekat Siva-Buddha. Oleh karena ada perpaduan itu, maka peralatan ritusnya pun menjadi berbeda, tidak lagi sama dengan di tanah asalnya.

Dengarkan Candi-candi Bicara...

Biarkan candi-candi itu bicara. Maka mereka tidak sekadar menjadi panji-panji yang membawa kita pada mitos dan mistisisme. Ada kebijaksanaan yang akan mereka bisikkan dari sana.
Candi-candi itu bertutur tentang tata ruang. Melihat sebagian candi di Jawa Tengah seperti Gedongsongo, Cetho, Sukuh, Ratu Boko, dan Dieng, jangan kaget kalau ada keteraturan dalam ruang di situ. Batu-batu itu tidak tersusun begitu saja di lokasi yang dipilih asal-asalan, tetapi merupakan hasil dari keteraturan yang tersebar. ”Kalau dari konsep arsitektur modern, ordering system itu membuktikan kalau ada religi dari pelakunya,” kata arsitek Andy Siswanto.
Sistem keteraturan yang dipegang teguh ini berhubungan dengan kepercayaan tentang pencapaian nirwana. Nilai-nilai religi tersebut dimanifestasikan dalam candi. Seakan hendak meniru perjalanan ritual manusia menuju kesempurnaan, candi adalah hasil imajinasi kreatif tentang nirwana. Dan memang, ketika kabut turun, undak-undakan candi itu pun seperti menjadi sebuah negeri di awan.
Hasil dari kebijaksanaan masa lalu ini hadir dalam karya-karya estetis yang terintegrasi dengan alam. Candi Gedongsongo, misalnya, terdiri dari lima kelompok candi yang dibangun mengikuti kontur lereng Gunung Ungaran dan menghasilkan jalur berbentuk tapal kuda pada ketinggian 1.300 meter. Masing-masing kelompok terdiri dari satu hingga tiga candi kecil yang konon dibangun pada abad ke-7 ketika wangsa Syailendra berkuasa.
Berjalan kaki dari kelompok candi yang satu, walau harus ngos-ngosan karena menanjak, hati tenang karena ditemani hutan pinus dan ladang penduduk. Di tengah perjalanan yang mendadak menurun, ada kawah—yang menurut kepercayaan penduduk setempat mengeluarkan napas Rahwana—serta sumber air. Setelah itu, jalan kembali menanjak menuju akhir perjalanan, yaitu kelompok candi kelima yang duduk di pangkuan Gunung Ungaran.

Semakin sepi
Rasanya, perjalanan dengan jalan setapak Candi Gedongsongo membawa kita semakin ke atas, semakin sepi, dan semakin sendiri. ”Ada rangkaian ritual perjalanan untuk menangkap fenomena jagat raya,” kata Niken Wirasanti, staf pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pola serupa terjadi di Candi Dieng. Kompleks candi yang terletak di basin—cekungan sisa kawah—ini merupakan kompleks bangunan Hindu tertua di Jawa Tengah. Percandian Dieng yang terdiri dari Candi Semar, Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, Puntadewa, dan Bima ini tersebar di dalam cekungan pada ketinggian 2.100 meter. Kompleks candi yang terpencar-pencar ini dikelilingi perbukitan yang membuat kita merasa berdiri di dasar sebuah mangkok. Padang rumput yang luas diselingi ladang kentang dan perkebunan penduduk, berpusat pada Candi Arjuna yang terletak di tengah-tengah, dan menjadi pusat perjalanan spiritual yang dilingkari bukit.
Walau sekilas terlihat acak, ada pola yang berhubungan dengan kondisi tanah di basin Dieng ini. Konon, pihak pembangun—developer kalau mengikuti istilah saat ini—kala itu harus melakukan uji kelayakan tanah dulu sebelum membuat sebuah bangunan yang dirancang berusia ratusan tahun. Caranya dengan membuat sebuah lobang, lalu diisi dengan air. Selang beberapa saat, dilihat bagaimana rembesan airnya. Semakin sempit rembesannya, berarti semakin padat tanah tersebut.
”Candi Dieng dibangun dengan sebelumnya diteliti seperti itu. Bayangkan bagaimana orang pada waktu itu mencari lokasi yang sangat spesifik sesuai rangkaian ritual dan syarat-syaratnya,” kata Gutomo, staf Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Belakangan, baru ditemukan bahwa tanah tempat candi-candi itu berdiri, terutama di kompleks candi utama di tengah basin, yaitu Candi Arjuna, adalah golongan tanah breksi vulkanik yang sangat keras, berbeda dengan jenis tanah di sekitarnya.
Prinsip keteraturan memang menjadi dasar sejak titik awal, yaitu pemilihan lokasi. Ketinggian dan ketersediaan air menjadi salah satu syarat utama pembangunan candi-candi penyembahan. Keberadaan candi-candi itu di tempat yang tinggi, didasarkan pada kepercayaan pra-Hindu yang menganggap roh-roh leluhur tinggal di gunung.
Sementara kedekatan dengan sumber air juga merupakan keharusan karena air adalah salah satu elemen terpenting dari sebuah upacara. Bahwa kebanyakan candi menghadap ke timur dan barat juga berkaitan dengan perjalanan hidup yang dimulai dari kelahiran dan kematian. ”Candi itu sangat struktural, lihat saja sumbu-sumbunya yang berhubungan dengan kosmik,” kata Andy.
Pemilihan tempat juga mempertimbangkan gejala alam, seperti suhu, nuansa pagi dan malam, kabut dan kawah gunung berapi yang membawa manusia ke sebuah penjelmaan dari nirwana itu sendiri. Sebut saja misalnya Candi Sukuh (970 meter) dan Candi Cetho (1.400 meter), keduanya di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Jalan menanjak dan berkelok-kelok harus ditempuh sebelum tiba di kedua candi ini. Efek matahari terbit dan tenggelam pada candi yang terbentang searah timur-barat ini, ditambah dengan latar tubuh gunung yang menjulang di belakangnya, menciptakan suasana yang magis dan misterius.
Undakan-undakan yang merupakan bangunan utama candi membawa peziarah naik ke ”atas”. ”Itulah lambang langit sebagai dunia atas yang dihuni zat spiritual yang dipahami sebagai tujuan hidup manusia,” kata Niken.
Selain tata ruangnya, masing-masing ornamen pada tiap candi dengan terperinci merujuk pada makna tertentu. Setiap simbol, sekecil apa pun, adalah bagian dari sebuah narasi besar yang dirancang sejak awal untuk menjadi ”jiwa” candi tersebut. Candi Sukuh dan Candi Cetho, misalnya, banyak memiliki beragam hiasan yang menggambarkan kesuburan manusia. Hadirnya lingga dan yoni, rahim, hingga alat kelamin dibuat sebagai ornamen yang merujuk pada proses hidup manusia.
Kecanggihan lainnya, struktur candi juga mengakomodasi kondisi alam Indonesia yang beriklim tropis dan banyak gempa. Struktur batuan candi yang disusun tanpa perekat menggunakan hukum gravitasi, yaitu menggunakan sistem batu pengunci. Salah satu keunggulannya, karena sambungannya tidak solid, bangunan ini elastis dan relatif tahan gempa. Gutomo dari BP3 juga bercerita, telah diteliti bahwa pencahayaan yang sengaja minim dan sirkulasi udara dari empat penjuru lubang di atap menjadikan candi sebagai tempat semadi.

Pola alam
Apa yang terlihat acak dalam konsep ruang candi sebenarnya membentuk pola keteraturan yang mengikuti pola alam. Ruang sekitar menjadi unsur figuratif dari sebuah bangunan. Ini yang dalam perspektif arsitektur modern disebut dengan environmental design, yang dengan rasional mempertimbangkan aspek lingkungan.
Setidaknya ini bisa menjadi cermin tata ruang perkotaan, yang tentunya tidak bisa langsung diperbandingkan karena memiliki religi yang berbeda. Ketika nirwana digantikan oleh kebutuhan ekonomi sebuah rancangan, menjadi pertanyaan besar apakah rencana ruang kota dapat menjawab kebutuhan yang baru tersebut.
”Banyak unsur utama arsitektur modern kota besar seperti estetika dan efisiensi yang tidak mampu terpenuhi,” kata Andy merujuk pada contoh kasus kawasan Sudirman-Thamrin. Ruang sekadar menjadi sisa yang tidak terdefinisi dari beton-beton yang dihunjamkan sebagai gedung. Inilah wajah ”candi-candi modern” paling gampangnya bisa dilihat di ”pusat peradaban mutakhir Indonesia”, yaitu sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin.
Arsitek Marco Kusumawijaya bercerita tentang proyek ”Membayangkan Jakarta”, yang menemukan bahwa daerah Sudirman-Thamrin itu tidak memiliki fungsi hunian yang menimbulkan kehidupan. Yang ada hanya kantor dan kantor lagi. Sementara sebuah contoh kasus menyebutkan, dari 91 orang yang bekerja di sebuah gedung di Jalan Sudirman, hanya satu orang yang tinggal di sana. Yang lain, ya selamat terjebak kemacetan.
Ketika masyarakat modern mengalami kegagapan dalam mendefinisikan kebutuhan lewat kecanggihan ilmu pengetahuan modern, dengarlah sebentar, ada bisikan dari masa lalu...

Goa Pawon, Melengkapi Museum Alam Danau Bandung Purba



LEBIH dari seabad silam, para peneliti sudah menduga bahwa Dataran Tinggi Bandung pernah dijadikan hunian manusia sejak zaman prasejarah. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya berbagai peralatan dari batu seperti anak panah, pisau, dan kapak yang terbuat dari batu obsidian dan artefak lainnya yang tersebar di beberapa tempat.
USAHA menemukan jejak manusia purba di Dataran Tinggi Bandung akhirnya menjadi kenyataan ketika pertengahan Juli lalu, para arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung yang menindaklanjuti penelitian sekelompok geolog muda yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), menemukan fosil manusia purba di daerah yang disebut Goa Pawon.
"Walaupun usianya lebih muda karena diperkirakan berasal dari masa mesolitik, namun secara arkeologis temuan itu sangat signifikan, terutama dalam hubungannya dengan terbentuknya Danau Bandung Purba," kata Dr Tony Djubiantono, Kepala Balar Bandung.
Goa Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung. Lokasi penemuan terletak tidak jauh dari sisi jalan raya yang menghubungkan Bandung–Cianjur dan kota-kota lainnya di sebelah barat.
Disebut Goa Pawon karena lokasi temuan berada di dalam goa kars yang terletak di sisi tebing bukit kars Gunung Masigit yang oleh penduduk setempat dinamakan Goa Pawon. Dalam bahasa Sunda, pawon artinya sama dengan dapur. Jika diukur dengan permukaan tanah terendah di daerah itu yang diperkirakan merupakan dasar danau, maka letak goa tersebut berada pada ketinggian sekitar 100 meter.
Dugaan goa tersebut pernah dihuni manusia prasejarah pertama kali disampaikan KRBC. Ketika itu, sekitar dua tahun lalu, sekelompok geolog muda yang terdiri dari Eko Yulianto, Budi Brahmantyo, Johan Arief, T Bachtiar, dan dibantu Sujatmiko melakukan penelitian endapan danau Bandung Purba. Namun, tatkala meneliti endapan Sungai Cibukur yang letaknya sekitar 200 meter dari Goa Pawon, mereka menemukan artefak berupa dua buah mata kapak dan satu kapak genggam. Karena merasa menemukan sesuatu yang dianggapnya "istimewa", mereka tidak bisa menahan nalurinya sebagai peneliti untuk meneliti lokasi tersebut lebih lanjut. Ternyata dugaannya tidak meleset. Mereka menemukan lebih banyak lagi artefak setelah melakukan penggalian di Goa Pawon yang selama ini dianggap angker oleh masyarakat setempat.
PENELITIAN lebih mendalam terhadap Goa Pawon barulah dilakukan dua tahun kemudian oleh Balar Bandung. Dipimpin arkeolog Drs Lutfi Youndri, penelitian dilakukan sejak 10-19 Juli lalu. Dari penggalian yang dilakukan, selain ditemukan sekitar 20.250 serpihan tulang-belulang dan 4.050 serpihan batu, pada kedalaman 80 cm ditemukan fosil tulang tengkorak manusia. Sementara pada kedalaman 120 cm, ditemukan fosil tulang kering dan telapak kaki manusia prasejarah. Baik Lutfi maupun Tony Djubiantono meyakini masih terdapat fosil individu lainnya di tempat tersebut.
Melihat temuan yang cukup penting dalam sejarah terbentuknya Danau Bandung Purba tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, H Memet H Hamdan, yang melakukan peninjauan lapangan melihat besarnya potensi sejarah dan budaya situs tersebut. Karena itu, ia segera memerintahkan pemagaran situs tersebut untuk menghindarkan perusakan oleh tangan-tangan iseng.
"Saya juga akan meminta bantuan Bupati Bandung mengamankan lokasi ini," katanya bersemangat. Keinginan ini disampaikan karena daerah sekitar situs merupakan lokasi eksploitasi kapur dan marmer terbesar di Kabupaten Bandung.
Goa Pawon yang terletak pada kawasan kars Padalarang, menurut geolog Hanang Samodra, merupakan kompleks goa fosil yang bertingkat dengan gejala peruntuhan dan pelarutan yang membentuk beberapa lubang atau sumuran tegak (shaft) sedalam belasan meter. Sedimen di dalam goa yang tebalnya lebih dari tiga meter bercampur dengan endapan fosfat quano.
Pada sedimen goa tersebut diakui pernah ditemukan artefak, kepingan tulang vertebrata dan beberapa jenis moluska darat. Menurut dia, penemuan itu mengukuhkan nilai arkeologi goa yang informasinya dapat dipakai untuk menafsirkan keberadaan manusia purba atau prasejarah yang diduga tinggal di sekitar pinggiran Danau Bandung Purba. Ia menduga, goa tersebut hanya merupakan tempat persinggahan dan bukan merupakan tempat tinggal manusia prasejarah.
DANAU Bandung Purba dengan latar belakang sejarah dan legendanya yang memikat, selama ini belum banyak dijual sebagai obyek wisata khusus, terutama geowisata. Padahal, potensinya sangat besar sehingga akan menambah kuat daya tarik wisatawan mengunjungi Dataran Tinggi Bandung.
Dari segi cerita rakyat Sunda, legenda Sangkuriang yang diciptakan nenek-moyang manusia Sunda hingga kini masih tetap memikat untuk diceritakan kembali. Konon, danau tersebut diciptakan berkat kesaktian Sangkuriang yang berusaha memenuhi permintaan Dayang Sumbi yang akan disuntingnya sebagai istri. Wanita yang diceritakan tetap cantik di masa tuanya itu tidak lain dari ibunya sendiri. Rencananya, pasangan anak dan ibu itu akan berbulan madu dengan berlayar mengarungi danau tersebut yang diciptakan dengan membendung Sungai Citarum.
Namun, sang ibu rupanya tak kalah akal untuk menggagalkan rencana tersebut. Dengan kesaktiannya, ia berhasil mengelabui anaknya tercinta. Ia menciptakan seolah-olah fajar yang menjadi batas waktu yang dijanjikan, sudah menyingsing. Keadaan itu disusul dengan ramainya kokok ayam jantan. Burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut pagi.
Menyadari usahanya telah gagal, Sangkuring kemudian menendang perahunya yang belum rampung sehingga terbalik. Dan, setelah sadar bahwa dirinya telah tertipu, ia mengejar-ngejar Dayang Sumbi. Wanita bernasib malang itu menyelamatkan diri dengan melompat ke atas lunas perahu yang terbalik sehingga menciptakan lubang yang besar menembus perut bumi.
Kelak dikemudian hari, perahu yang terbalik itu berubah menjadi Gunung Tangkubanperahu. Di bagian tengahnya terdapat kawah Ratu, tempat di mana Dayang Sumbi melompat dan kemudian hilang ditelan bumi. Karena itu, jika sewaktu-waktu kita bernasib mujur tatkala berkunjung ke Gunung Tangkubanperahu, sesekali akan terdengar suara yang berasal dari lepasan tufa panas dari kawahnya. Suaranya yang terdengar mendengus-dengus itu diibaratkan sebagai tangis Dayang Sumbi yang harus menanggung derita sampai akhir hayatnya.
DANAU Bandung Purba sebenarnya bukanlah hanya dongeng semata. Secara geologis, fenomena itu bisa dibuktikan dengan berbagai peristiwa alam yang pernah dilalui dalam perjalanan sejarahnya. Dataran Tinggi Bandung yang kini dihuni lebih dari tujuh juta jiwa manusia, pada awalnya merupakan dasar lautan. Daratan tertinggi hanya ada di daerah Pangalengan.
Di sebelah utara, menjulang tinggi gunung api yang dikelilingi laut. Tingginya sekitar 3.000 meter. Karena puncaknya selalu diselimuti es, gunung tersebut dinamakan Gunung Sunda, kata yang berasal dari bahasa Sanksakerta. Cuda artinya putih, bersih. Kelak dikemudian hari, sejalan dengan peristiwa geologi yang terjadi, daratan bagian selatan Pulau Jawa makin terdesak ke atas. Sementara pantainya di bagian utara makin terdesak sehingga dasar laut di daerah Dataran Tinggi Bandung berubah menjadi daratan.
Bukti fenomena alam tersebut hingga kini masih bisa kita saksikan dengan jelas jika memasuki Bandung dari arah barat, baik melalui Cianjur maupun Purwakarta/Cikampek. Seperti kawasan kars lainnya, kawasan kars Padalarang yang tersebar di daerah Cipatat dan Tagogapu, pada awalnya berasal dari koloni binatang dan tumbuhan yang hidup dan tumbuh di laut dangkal. Namun, dengan terjadinya pergeseran pantai, koloni binatang dan tumbuhan tersebut kemudian mati lalu membentuk batu gamping. Apa yang bisa kita saksikan sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses geologi setelah batuan tersebut kemudian terangkat ke permukaan.
Gunung Sunda yang terdapat di Dataran Tinggi Bandung merupakan gunung api yang sangat aktif. Gunung api tersebut diperkirakan mengalami beberapa kali letusan dahsyat. Gunung Tangkubanperahu yang menjadi land mark Dataran Tinggi Bandung dan Gunung Burangrang di sebelahnya yang selalu dikait-kaitkan dengan legenda Sangkuriang, sebenarnya merupakan parasit Gunung Sunda setelah mengalami beberapa kali letusan dahsyat.
Letusan dahsyat itu juga meningalkan patahan Lembang yang hingga kini bisa kita saksikan jika berkunjung ke daerah bagian utara Bandung.
Peristiwa alam tersebut tidak terhenti sampai di situ. Sebagai gunung api yang hingga masih aktif, dalam salah satu letusannya yang paling dahsyat, Gunung Tangkubanperahu memuntahkan abu dan material vulkanik lainnya. Aliran lava dan awan panas mengalir ke segala penjuru sampai akhirnya menyumbat aliran Sungai Citarum dan sejumlah anak sungainya di daerah yang kini bernama Rajamandala.
Secara perlahan-lahan, sumbatan lava itu akhirnya menciptakan Danau Bandung yang sangat luas. Di kalangan masyarakat Sunda, danau tersebut sering disebut Situ Hyang.
Permukaan air Danau Bandung Purba ketika itu diperkirakan tingginya sekitar 725 meter di atas permukaan laut. Ini berarti, bibir danau tersebut membentang dari Sanghyang Tikoro di Rajamandala di sebelah barat sampai Cicalengka di sebelah timur, sejauh lebih kurang 50 km.

"Positioning" Masyarakat Purbakalawan Indonesia

 Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali jati dirinya
PURBAKALA! Sebuah kata yang telah lama akrab di telinga masyarakat kita dibandingkan dengan sinonimnya yang lain. Masyarakat mengasosiasikan purbakala dengan kehidupan manusia prasejarah, bangunan candi, arca dewa, serta tulisan-tulisan kuno zaman kerajaan- kerajaan Nusantara sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang tertulis dalam kitab-kitab pelajaran sekolah.
KATA "purbakala" sering kali pula dikonotasikan sebagai segala sesuatu dari masa silam yang lama terkubur dalam-dalam sehingga menganga jarak dan tersekat dinding pemisah dengan kekinian. Namun, tak dapat disangkal, kepurbakalaan mengepung alam pikiran kita sekarang lewat memori-memori kolektif yang panjang. Memori- memori itu mendapatkan jejaknya dalam bentuk benda dan situs purbakala yang tak terhingga jumlahnya di negeri ini.
Sifat dasar manusia yang selalu ingin tahu asal-usulnya dan asal mula peradaban bangsanya menyebabkan kepurbakalaan menjadi urusan yang penting di banyak negara. Purbakalawan diperlukan untuk menggali informasi budaya masa lalu dan memberinya makna dalam konteks kebangsaan. Bukan itu saja, mereka juga bertanggung jawab terhadap kelestarian obyek purbakala. Para purbakalawan Indonesia yang mengemban tugas mulia itu bekerja dengan berbagai keterbatasan: alat, dana, tenaga, dan penghargaan.

Masyarakat purbakalawan
Siapa masyarakat purbakalawan Indonesia? Jawabnya bergantung dari mana melihat dimensi kepurbakalaan: substansi atau instrumen. Dari segi substansi, kepurbakalaan adalah milik semua untuk semua. Bukankah alam pikiran sebagian besar masyarakat kita masih menyimpan memori arkeologi yang panjang?
Jelaslah, kepurbakalaan bukanlah semata-mata urusan dan tanggung jawab ahli arkeologi dan pemerintah. Oleh karena itu, yang menjadi anggota masyarakat purbakalawan Indonesia-selain ahli arkeologi- adalah semua pemerhati kepurbakalaan yang memiliki kepedulian yang memadai terhadap kepurbakalaan di Indonesia.
Kepedulian itu diwujudkan dengan tindakan nyata. Seorang wartawan yang sering menulis masalah-masalah kepurbakalaan, misalnya, patut menjadi anggota masyarakat purbakalawan. Demikian pula individu-individu dari berbagai latar belakang pendidikan yang menaruh kepedulian terhadap kelestarian benda cagar budaya, mengembangkannya, serta memberi makna dalam konteks kekinian, merekalah tulang punggung masyarakat purbakalawan.
Masyarakat purbakalawan mencakup berbagai komunitas dan organisasi. Banyak sekali organisasi yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap kepurbakalaan atau berbagai disiplin ilmu yang memperlakukan benda cagar budaya sebagai obyek formal maupun obyek materialnya. Komunitas dan organisasi tersebut dapat berupa ikatan profesi, misalnya, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI); dapat pula berupa institusi pemerintah, lembaga adat, organisasi nonpemerintah (NGO) yang bergerak di bidang pelestarian budaya (heritage society), yang semakin menjamur dewasa ini.

Ke mana kita melangkah?
Masa lalu itu pasti, masa depan adalah pilihan. Artinya, masyarakat purbakalawan dihadapkan oleh sejumlah pilihan untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik, berdasarkan pengetahuan dan informasi tentang nilai-nilai kultural benda cagar budaya.
Dari sejumlah pilihan, sedikitnya ada dua opsi yang mengkristal dalam dunia kepurbakalaan Indonesia saat ini. Opsi yang pertama adalah kepurbakalaan untuk pembangunan jati diri bangsa, sedangkan kepurbakalaan sebagai sumber daya ekonomi menjadi opsi yang kedua.
Edi Sedyawati dalam makalahnya, "Arkeologi dan Jati Diri Bangsa" (1992), menyatakan bahwa unsur penting dari jati diri adalah kesadaran sejarah yang dimiliki bersama oleh suatu bangsa. Jati diri bangsa dapat dijelaskan sebagai akumulasi gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang telah terbentuk sepanjang masa. Ia mengingatkan, jati diri penting. Apabila identitas itu rusak, apalagi hilang, suatu bangsa akan menderita trauma yang dalam. Jati diri bangsa dapat dikaji dari nilai-nilai kultural benda dan situs purbakala.
Opsi kedua, kepurbakalaan sebagai sumber daya ekonomi dapat dilihat langsung di lapangan. Banyak situs purbakala yang menjadi obyek wisata. Sumber daya arkeologi itu idealnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat luas. Contoh yang paling jelas adalah pariwisata berbasis masyarakat. Selain menghasilkan devisa bagi negara, juga keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya.
Sayangnya, sumber daya arkeologi cenderung dieksploitasi melampaui batas, sebagaimana sumber daya ekonomi lainnya. Mungkin mereka "lupa" bahwa benda dan situs purbakala merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui (nonrenewable resources).
Faktor ekonomi pula yang menyebabkan terjadinya "pencemaran purbakala". Lihat saja berita-berita pencurian benda- benda purbakala yang semakin marak dan sindikatnya yang sulit diberantas. Demi pertumbuhan ekonomi, terjadilah penggusuran situs-situs purbakala dan terus berlangsung sampai hari ini. Dengan geram tercetus ungkapan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara digulirkannya UU tentang Benda Cagar Budaya pada tahun 1992 dengan menurunnya frekuensi pencemaran tersebut sampai sekarang.
Berkenaan dengan dua opsi tadi, ada fenomena yang menarik ketika diselenggarakan diskusi kecil dengan tema "Upaya Pelestarian dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya" pada bulan Februari lalu di Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada. Dengan dipandu oleh Dr PM Laksono, ahli antropologi, disebar angket kepada peserta tentang pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya.
Sebagian besar peserta setuju benda cagar budaya memiliki nilai-nilai budaya dan makna simbolis yang dapat dikembangkan untuk pembangunan jati diri. Namun, terjadi ambiguitas dalam hal pemanfaatannya. Sebagian besar peserta berpendapat, benda cagar budaya merupakan sumber daya yang perlu dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan ekonomi, terutama pariwisata.
Diskusi itu menghasilkan rekomendasi yang patut dicermati. Rekomendasi sebagai berikut, "Kita sering potong kompas untuk mentransformasikan benda cagar budaya yang bernilai kultural tinggi menjadi sumber daya ekonomi tanpa mengindahkan hukum dan kaidah teknis. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang lebih arif untuk mengembangkan instrumen hukum dan instrumen teknis. Ini terjadi karena masih diperlukan pengembangan lebih lanjut nilai-nilai kultural agar bisa mendorong/memfasilitasi pengembangan hukum dan teknis".

"Positioning"
Menurut hemat penulis, masyarakat purbakalawan hendaknya menempatkan posisinya sebagai penggerak pembangunan jati diri bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali jati dirinya. Bangsa yang tidak terombang-ambing oleh hantu yang bernama globalisasi. Hantu yang menyihir dunia jadi mengecil dan perbedaan lokal semakin menipis dan larut dalam tatanan sosial yang homogen dan massal. Dunia pun menjadi kesatuan tunggal yang saling tergantung (Martin Mowforth dan Ian Maunt, 2000).
Jalan yang ditempuh memang sepi dan berkelok-kelok, oleh karena masih minimnya perangkat metodologi, instrumen hukum, dan kaidah teknis sebagai bekal di perjalanan. Walaupun demikian, sekali memilih jalan, tempuhlah sampai tujuan. Ciptakan aksi-aksi yang membumi dalam proses mencerdaskan bangsa. Taruhlah seperti mengenalkan dan mendidik anak-anak kita akan kepurbakalaan yang ada di sekitar sebagai bagian dari lingkungan budaya mereka.

Arkeologi Konflik Sosial di Indonesia

 KEHIDUPAN bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.
Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal.

Perlakuan negara yang demikian itu kemudian diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias state itu mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi.
Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadap pluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini "berbeda". Dari sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat.
Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku sosial dan politik. Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.
JADI, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana dan konstruksi pemikiran masyarakat. Di sini kita sebenarnya berada dalam area dominasi dan hegemoni negara seperti yang dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio Gramsci.
Repotnya, apa yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, dan bukan revolusi sosial. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang moderat, cenderung berkompromi dengan anasir-anasir lama yang pro-status quo. Ini yang disebut Samuel P Huntington sebagai konsekuensi reformasi. Sementara revolusi, karena sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam menghadapi rezim kekuasaan yang lama dan anasir-anasir pro-status quo. Revolusi Bolshevik 1917 di bekas negara Uni Soviet merupakan contoh dari ketegasan sikap para pemimpin gerakan revolusi terhadap anasir kekuatan lama.
Dalam era pandang revolusioner, struktur kekuasaan harus dibalik sedemikian rupa sehingga diujudkan struktur kekuasaan yang benar-benar baru. Itulah mengapa kita rasakan perjalanan reformasi bangsa ini terasa menggemaskan karena lambatnya. Seringkali kita memang tidak begitu sabar untuk menjadi seorang demokrat, namun untuk menjadi seorang revolusioner sejati kita pun acap tidak punya nyali.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru. Gerakan sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.
Mengapa demikian? Karena kekuasaan negara hari ini, meskipun struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal yang harus secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi.
Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah momentum yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable democracy).