Tampilkan postingan dengan label Makalah Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Filsafat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Maret 2011

Antropologi Keyakinan


Kegagalan melembagakan demokrasi, atau paling tidak ketiadaan orientasi ide untuk menuntun pelembagaan itu, membawa kecemasan politik bagi mereka yang berkehendak mewujudkan suatu masyarakat terbuka.
Ruang politik yang kini membesar justru lebih terasa dihuni pekerja-pekerja "politik identitas", yaitu mereka yang berjuang untuk suatu cita-cita politik absolut, terutama karena mendasarkan perjuangan politik pada doktrin keagamaan. Lebih karena keyakinan final tentang "moralitas politik" agama, yang sebagian merupakan lanjutan obsesif dari perdebatan tentang dasar negara pada awal pendirian RI, politik identitas itu memperoleh reperkusi historisnya dari perkembangan sejenis di dunia internasional.
Globalisasi tidak dipandang oleh politik identitas sebagai sarana percaturan ide-ide global, tetapi dimusuhi sebagai penghalang pelaksanaan keyakinan politik agamais. Fundamentalisme pasar berhadapan dengan fundamentalisme nilai, tidak di dalam upaya sintetik untuk mencapai stabilitas relatif sistem dunia modern, tetapi berhadap-hadapan dalam pertarungan kategoris tentang kebenaran absolut. Globalisasi secara kategoris dirumuskan sebagai sumber penghancuran peradaban, sementara agama, dalam versi konservatifnya, diajukan sebagai solusi satu-satunya peradaban baru.
Kendati kontrapolasi itu mengandung banyak kepalsuan, mengingat begitu seringnya kohesifitas keagamaan terbelah karena persaingan politik dalam kelompok itu sendiri, namun nada umum politik global memperdengarkan disharmoni politik antara pendukung etika kosmopolitan dan pembela logika politik akhirat.
Dalam jargon clash of civilization, tersimpan psikologi absolut dari persaingan politik global. Nilai-nilai absolut telah melampaui parameter-parameter konvensional politik dunia. Gejala ini cukup kasatmata: akumulasi kapital dan teknologi bukan lagi nilai utama yang dikejar, tetapi sekadar alat untuk mewujudkan suatu impian ideologi yang absolut. Dalam praktik terorisme mutakhir, prinsip ini bekerja amat sempurna.
Konstruksi historis global inilah yang kemudian menjadi latar perkembangan politik identitas di Indonesia sekarang ini. Namun, sumber-sumber politik identitas itu juga memiliki akar-akar lokal. Memang kondisi otoritarianisme Orde Baru telah menghambat artikulasi kultural dari politik identitas itu, melalui teknik-teknik politik korporatisme, kooptasi, dan represi. Ekonomi Orde Baru telah berfungsi memoderatkan penyebaran sosial dari politik identitas, melalui monetisasi kehidupan umum, dan berbagai insentif kesejahteraan umat. Namun, antropologi bangsa ini rupanya memang kuat bertumpu pada antropologi keyakinan, yaitu kecenderungan untuk memandang kehidupan secara ideologis, secara absolut. Akibatnya, penampilan ulang politik identitas justru menjadi-jadi ketika politik mengalami keterbukaan maksimal dan ekonomi mengalami penurunan total.
Kontrak sosial demokrasi
Kita tentu tidak ingin kembali pada suasana otoritarian karena jaminan terhadap demokrasi tidak di dalam rangka tukar tambah politik dengan larangan terhadap politik identitas. Yang ingin kita upayakan adalah suatu kerangka kerja demokrasi yang mampu menghargai kondisi antropologis bangsa ini, sekaligus mampu mengembangkan kultur kritisisme individu dalam kebudayaan politik, yaitu kultur yang secara sosial dapat mencegah perwujudan-perwujudan absolut dari tuntutan- tuntutan politik identitas itu. Kultur semacam itu pertama-tama dimaksudkan untuk mendorong pertukaran kepentingan di antara warga negara, berdasarkan prinsip bahwa politik adalah gejala temporer yang harus lepas dari obsesi-obsesi permanen.
Kita telah memilih demokrasi. Memilih menjalankan politik majemuk. Memilih melaksanakan hak asasi manusia. Karena itu, kita harus menerima konsekuensi tertinggi, yaitu kemajemukan harus menghasilkan kesementaraan tujuan. Tidak ada finalitas dalam kemajemukan. Demokrasi tidak mungkin mensponsori suatu pandangan politik tunggal. Demokrasi adalah jaminan rasional terhadap keragaman tujuan hidup individual. Dengan cara itu, hak asasi manusia dapat diselenggarakan secara maksimal. Karena itu, hal maksimal yang dapat disediakan demokrasi adalah fasilitas konstitusi untuk konsensus sekuler di antara berbagai kepentingan temporer. Inilah kontrak sosial sesungguhnya dalam kehidupan publik, yaitu bahwa jarak politik antara warga negara hanya boleh diukur berdasarkan ayat-ayat konstitusi, dan bukan dengan ayat-ayat suci.
Menerima pluralisme berarti menerima etika politiknya, yaitu bahwa semua obsesi politik yang absolut, yang mengejar finalitas, hanya boleh dipraktikkan di wilayah privat. Ini bukan diskriminasi dalam demokrasi, tetapi konsekuensinya.
Artinya, sejauh "politik identitas" hanya bermaksud artikulatif, maka sistem demokrasi harus menampung dan memperlakukannya sebagai politics of difference, yaitu suara marjinal yang harus dilindungi. Namun, begitu ia mulai bermaksud akumulatif, yaitu berupaya menghomogenkan ruang publik dengan mengintrodusir prinsip-prinsip politik absolut, demokrasi harus segera menolaknya karena ia mengancam prinsip dasar demokrasi itu sendiri: ruang publik tidak boleh dirumuskan secara final. Ia harus bebas dari obsesi-obsesi absolut.
Ruang politik adalah ruang relatif, ruang falibilis, ruang profan. Itulah sebabnya kita mendaur ulang politik setiap lima tahun. Namun, kita tidak membuat pilkada untuk Tuhan.

Pemahaman Absolut

Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang raksasa yang hidup. yang lin meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular raksasa. yang lin meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah.
Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang  yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan kebenaran absolut.
Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di sekeliling obyek.
Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.
Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.
Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya.
Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukanNya."
Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.
Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.
Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan beradaptasi.

"Virtual Cosmology"

 
Oleh Robertus Wijanarko
"A boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing" (Martin Heidegger).
FENOMENA pasar global dan liputan perang (invasi) Amerika Serikat dan sekutunya dengan (ke) Irak kian menegaskan datangnya fajar baru era kehidupan manusia, era virtual cosmology (kosmologi virtual).
Betapa tidak? Wawasan tradisional kita tentang kosmos, baik yang tercipta melalui lensa nilai-nilai dan keyakinan tradisi agama monoteistik, kerangka pikir Yunani-abad pertengahan-maupun lensa modernitas-aufklarung-digeser lensa fenomenologis-intensional-virtual.
Dalam era pasar global, kosmos tidak lagi kita lihat pertama-tama sebagai ciptaan Tuhan yang teratur, bukan pula struktur teratur (cosmos) dari berbagai entitas (tanah, air, api, tumbuhan, binatang, cakrawala, manusia, dll), atau sebagai ens yang merupakan emanasi dari the ultimate ens (atau perwujudan dari Substance), tetapi merupakan sebuah pasar, komunitas penjual dan pembeli dan aneka variabel yang menyokong relasi jual-beli itu (produksi-distribusi-advertasi), yang eksistensinya dicipta dan ditopang jaringan informasi dan komunikasi virtual.
DI era pasar global, kosmos terbangun dari aneka fenomena nyata keseharian dan interaksi manusia yang dibidik melalui lensa "dagang" dan disuguhkan secara virtual melalui internet, TV, dan media massa sejenis. Karena yang dibidik merupakan fenomena aktual keseharian, maka kosmologi baru ini bernuansa fenomenologis; karena disuguhkan melalui media virtual maka kosmologi ini bersifat virtual; dan karena pemegang lensa-pembidik-penyuguh fenomena itu punya agenda tertentu maka kosmologi baru ini juga bersifat intensional (fenomenologis-virtual-intensional).
Hal senada bisa disimak saat kita menyaksikan suguhan perang (invasi) AS dan sekutunya ke Irak. Liputan perang di Irak, yang dilakukan media dengan memotret kisah-kisah tragis-bengis dan kepahlawanan tiap hari, yang disuguhkan secara virtual, dan dibidik-disuguhkan dengan intensi (agenda) tertentu, juga menandakan geneology (kosmogoni) dan definisi baru dari kosmos. Persaingan tayangan antara media barat dan media timur mengisyaratkan sifat intensionalitas setiap bidikan dan suguhan.
Ke mana kamera dibidikkan, tergantung mereka yang mempunyai dan membawa kamera. Memang tayangan-tayangan virtual perang di Irak mencipta gugusan kosmos yang lebih plural. Gugusan kosmos itu bisa merupakan horizon yang mencipta AS dan sekutunya sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan yang memerangi bentuk totalitarianisme a la Saddam Hussein, atau bisa juga menciptakan horizon yang melukiskan AS dan sekutunya sebagai wajah neokolonialisme yang berhadapan dengan Saddam Hussein sebagai pahlawan pembela kedaulatan sebuah negara.
Biarpun plural sosok kosmologi yang terbentuk, tayangan perang Irak menorehkan gambaran-gambaran virtual di dinding-dinding imaji dan kesadaran manusia, yang pada gilirannya menancapkan patok-patok demarkasi atau horizon atau kosmologi seseorang, yang akhirnya membatasi ruang imajinasi.
Karena itu tepat yang dikatakan filsof fenomenologis, Martin Heidegger, "a boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing." Kosmos tidak lagi dibatasi bentangan spasial yang mengakhiri atau menjadi batas kita bergerak, tetapi dibatasi atau dipigura horizon-horizon yang tercipta dari aneka suguhan virtual yang mengepung kita, yang dibidik dan disuguhkan dengan agenda tertentu. Kemampuan kita menakar siapa AS atau Irak, terbatasi perspektif kita yang terbentuk dari imaji-imaji virtual itu.
MENGINGAT kosmologi selalu dicipta berdasar perspektif atau lensa tradisi tertentu, maka ia tidak pernah netral. Lensa atau perspektif itu selalu intensional. Karena itu pemahaman akan kosmogoni, akan bagaimana kosmos tercipta (geneologi kosmos), dan defenisi kosmologis yang diproduksi, serta ciri-ciri khas "lensa" yang menciptanya, akan membantu kita untuk mampu mengambil jarak atas "intensionalitas" lensa itu dan membuat kita mampu mentransendensi diri dan imajinasi kita dari kelopak bangunan kosmos tertentu.
Merunut sejenak ke belakang, kita akan menemukan kembali beberapa ciri khas lensa pembidik dan penyuguh realitas yang menggugus menjadi bangunan kosmos: era mitologis yang lebih ditandai pemanfaatan peran imajinasi dalam mencipta kosmos; era tradisi agama, yang menggabungkan imajinasi dan rasionalitas yang dilandasi keyakinan (faith); era modern, yang ditandai pemanfaatkan peran rasionalitas dan materialisme; dan era "postmodern" yang ditandai ciri-ciri fenomenologis dan virtualitas, atau pemanfaatan kemampuan perception dalam menancapkan image-image virtual dari fenomen-fenomena keseharian.
Kosmogoni (geneologi tentang kosmos) mencipta dan menentukan macam kosmologi, sedangkan macam kosmologi menentukan bentuk antropologi, yakni bagaimana manusia memahami dirinya, menempatkan dirinya dalam kosmos, dan meletakkan dasar-dasar prinsip sosial dalam berelasi dengan orang lain.
Kosmologi, yang dibangun berdasar fenomena-fenomena keseharian, yang dibidik dan disuguhkan secara virtual dengan intensionalitas tertentu, yang akhirnya mengandalkan peran kehidupan mental untuk menancapkan jangkar-jangkar imajinasi-persepsi, dengan demikian, membutuhkan perumusan kembali filsafat antropologi yang bisa memberi dasar-dasar etis bagi relasi sosial.
Dalam tataran lebih konkret, membiarkan diri ignoran terhadap kosmogoni dan kosmologi modern, yang berciri fenomenologis-virtual-intensional, akan membuat kita sekadar menjadi "bidak-bidak catur" yang berkutat dalam jaringan-jaringan mekanis aksi-reaksi yang dicipta oleh media virtual. Kapasitas kita sebagai subjek dan agen dari tindakan pun tereduksi ke tingkat tertentu sehingga kita sekadar sebuah unsur/emblem dari jaringan/lalu lintas aksi-reaksi yang rumit dan kompleks.
Karena subjek tereduksi sebagai unsur atau sekadar bagian sebuah sistem atau jaringan tindakan, maka kerangka moralitas yang menjadi dasar penilaian tindakan, yang mengandaikan adanya subjek yang menentukan dan menguasai tindakannya, menjadi kabur dan tidak punya dasar. Dan kita tidak pernah mampu mentransendensi diri dari kelopak dan kepungan kosmologi yang tercipta dari image-image virtual itu. Kita tidak akan pernah menjadi subjek!

Nalar Puitis sebagai Metafilsafat


PERTENGKARAN keluarga dalam kubu humanisme terus berdengung sampai sekarang. Pertengkaran antara kubu pembela nalar di satu sisi dan kubu pembela naluri di sisi lain. Antara yang Cartesian dan yang Nietzschean. Para Cartesian menuduh pembela naluri merendahkan manusia. "Cogito ergo sum!" jerit mereka. Kodrat manusia terpusat pada nalar, bukan nalurinya. Naluri dilempar dari kemanusiaan karena mempersandingkan manusia dengan hewan. Bersembunyi di balik Cogito, manusia berada di puncak hierarki gradasi wujud.
Nalar mengandaikan semesta yang hadir dan bisa dimengerti. Bersembunyi di baliknya adalah iman akan ketersambungan antara pikiran dan kenyataan. Naluri, di lain pihak, memiliki modus berpikirnya sendiri. Dengannya, manusia melampaui yang hewani dan manusiawi sekaligus. Naluri untuk penguasaan Nietzsche, misalnya, mengenyahkan logos yang membentang di luar, namun diam-diam menariknya ke dalam.
Dua tradisi yang berseteru seolah-olah berdiri berseberangan. Namun, sesungguhnya mereka berbagi iman yang sama secara epistemo-ontologis. Semesta ini asing. Dan, transenden ini hanya bisa disingkap apabila ontologi manusia ditelanjangi bulat-bulat. Descartes mengerti manusia sebagai substansi yang berpikir, sedangkan Nietzsche memahami manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Bertolak dari itulah semesta ditarik dari persembunyiannya. Kodrat manusia adalah kunci utama pembuka pintu rahasia semesta raya.
Apabila yang transenden menjadi titik tolak tradisi teori pengetahuan dalam filsafat, tidak demikian halnya dengan puisi. Bagi puisi, kenyataan selalu sudah menampilkan dirinya dalam bahasa. Kenyataan adalah semata-mata soal modus pengucapan. Maka, tinimbang mencari ketelanjangan sebuah rahasia, puisi mengerahkan tenaganya untuk menelusuri modus pengucapan baru. Alternatif yang dikejar adalah modus pengucapan representasional bahasa sains dan filsafat, sebuah modus pengucapan yang mengandaikan keterwakilan semiotis realitas dalam bahasa.
Puisi tidak melentingkan kita ke tanah tak berjejak. Ia tak berpeluh-peluh mengejar kebenaran sejati. Ia tidak melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar semata-mata kosakata baru realitas. Muara perbincangan ini adalah filsafat yang membujur kaku. Refleksi atas puisi adalah akhir hayat filsafat. Para filsuf terkaget-kaget saat mendapati bangkai epistemologis yang disisakan puisi, seperti saat Nietzsche menemukan "yang tak berasal" setelah merefleksikan puisi-puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang menghentikan proyek ontologi fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi Holderlin. Pembelokan sastra, literary turn, sedang menggayuti jagat pemikiran kontemporer. Nalar yang notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam membuka segel epistemologis sedang mencapai titik nadirnya. Saya membaca gejala ini sebagai gejala metamorfosis nalar menuju bentuknya yang puitis.

Metafilsafat
Collin McGinn, salah satu filsuf Amerika kontemporer, melontarkan gagasan tentang apa yang disebutnya sebagai metafilsafat. Sebuah penyelidikan filosofis tentang apa sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat, kemungkinan pengetahuan filosofis dan metode yang diadopsi demi kemajuan filsafat. Sebuah filsafat tentang filsafat. Menurut McGinn, ada dua tradisi besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah tradisi Platonian. Tradisi ini berkeras bahwa persoalan filsafat adalah persoalan esoteris. Filsafat adalah disiplin yang memacu nalar manusia menggapai "yang esoteris". Tradisi kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak apa yang disebut sebagai persoalan esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya adalah persoalan bahasa. Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat penyalahgunaan bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya adalah soal penyembuhan bahasa.
Tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair ("Bentara", Kompas, 2 Mei 2003), berusaha mendamaikan dua tradisi metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis nalar puitis. Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris, namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar modus pengucapan yang dominan. Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar biasa harus ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh modus bernalar yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban positif, tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna menemukan modus pengucapan baru.
Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki modus bernalar yang melebihi ilmu-ilmu positif, yakni modus yang tidak berkonsentrasi pada jawaban positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada pelebaran ruang imajinasi nalar kita sendiri. Pelebaran yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis itu sendiri. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern. Bagi Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala adaan. Para filsuf terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan kentara antara Ada dan ada.
Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah tak mampu menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger, disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang coba menalar kodrat semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang dituduh pelbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar epistemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai naluri untuk penguasaan.
Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang transenden, kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lamat-lamat menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya sains pada abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar kehilangan kemampuannya membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran.
Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah-langkah menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa merindu pada yang tak terbatas. Ini yang membuat sebuah kemajuan dimungkinkan.
Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar difungsikan semata-mata secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategori-kategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu. Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis.
Saya menyodorkan hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis nalar manusia setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata banyak mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian menafsirkannya sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesis saya. Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya serangan terakhir yang terdengar menggelikan. Saya dituduh memutlakkan jalan puisi. Sungguhkah demikian?
Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi saya sekadar metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif.
Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan yang transenden. Transendensi adalah modus epistemologis, sementara "kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan", sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun.
Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang saya maksud. Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger dari kacamata nalar puitis.

Matinya epistemologi
Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada pengetahuan. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah diarahkan jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak bisa menembus belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang melupakan apakah.
Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia adalah persoalan epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa merajut fiksi baru untuk mendongkelnya.
Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun dituduh sebagai pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang mendapatkan pembenaran dari hampir semua komentatornya. Saya sendiri akan bertanya, apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar komunitaris yang tak berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa dijebloskan masuk pada barisan antitransenden? Padahal, kalau membuka halaman demi halaman buku-bukunya, kita menemukan jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah puisi panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah.
Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari gramatika epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah memainkan nalar puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati sedimentasi sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin karena dorongan naluri akan yang lain.
Naluri akan yang lain. Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman yang menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda tanya yang menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan supaya manusia hidup tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih suka hidup dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat.
Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmis akan mengalami gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar yang patuh.
Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi ruang hampa di luar lingkungan komunitarisnya, yaitu lingkungan yang memberlakukan satu aturan bagi kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya. Daya transendensi nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah teori cacat dari kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu fakta yang bertolak belakang.
Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri kebenaran.
Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran masih menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada lantai paling bawah pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat linieritas nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. Ia mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia tidak tunggal, namun seperti digagas Wittgenstein, harus dikembalikan pada permainan bahasa masing-masing komunitas.
Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis bahwa pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas, universalitas, dan ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan bercabang ke sana-sini seiring alun sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai produk budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tidak seabsolut yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah.
Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak peduli dengan gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah gramatika nalar percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki kesatuan konsepsi tentang hidup bersama.
Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri, melainkan prosedur yang sehat percakapan antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika diterima apa adanya.
Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka dari sistem-sistem pemikiran kontemporer.
Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak atas pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta yang digambarkan Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius, habis perkara.
Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar manusia terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika baru. Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.

Hening
Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/ bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspodo, ingat dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa membayangi cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk kita memainkan nalar secara puitis.
Pada masa yang mulai melupakan apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain" sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali "kelainan" yang hilang.
Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair, sungguh tahu bagaimana memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka dimensi-dimensi yang saya sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Mereka membaca sebuah gramatika baru dalam embrio pemikiran. Pembacaan yang membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain" dan "yang hening".

Humanisme Sudah Mati?

HARI Kamis (20/3/2003) lalu, Bumi dilanda keterperangahan, keterpanaan, dan keterdiaman massal, meresapi kenyataan bahwa kerasnya pesan menolak perang atas nama kemanusiaan, politik, ekonomi, atau agama yang dikirim seluruh dunia kepada AS dan sekutunya, lumer bak lelehan es krim. Meski gelombang protes telah dan terus mengalir secara spektakuler dari seluruh penjuru dunia, invasi ke Irak tetap terjadi. Lonceng kematian bagi humanisme?
Judul ini diadopsi dari salah satu tema diskusi Komunitas Bambu akhir September 2000. Diskusi dibawakan oleh Hendra Pasuhuk, jurnalis Deutsche Welle, memaparkan situasi terakhir ketegangan filsafat di Jerman saat itu akibat kontroversi pemikiran Peter Sloterdijk saat menuduh humanisme gagal membawa perbaikan pada peradaban manusia.

Tesis Sloterdijk mempunyai makna yang amat penting untuk dikaji lagi terutama dalam upaya memaknai konflik global baru-baru ini akibat agresi militer AS dan sekutunya ke Irak, tentunya dari sudut pandang kemanusiaan.
KERIBUTAN dimulai saat Sloterdijk membawakan papernya Regeln für den Menschenpark. Ein Antwortschreiben zum Brief über den Humanismus (Aturan untuk Kebun Manusia. Sebuah jawaban atas Surat tentang Humanisme), dalam simposium filsafat internasional di Bavaria yang bertema: Exodus from Being, Philosophy after Heidegger, Juli 1999.
Menurut profesor filsafat dan aestetik dari Karlsruhe, Jerman, ini, filsafat sejauh ini pasif mengamati perilaku sainstek. Padahal, aktivitas sainstek telah menjarah domain konflik etika serius yang bahkan belum pernah tuntas dikerjakan filsafat. Sloterdijk menggugat gagasan humanisme yang ada kini dan konsep-konsep "mendidik manusia" yang dilahirkan karena dianggap tak mampu menjawab persoalan kemanusiaan di masa depan.
Ia mengusulkan agar manusia segera menyusun aturan orientasi etika baru sebagai respons atas perkembangan teknologi rekayasa genetika. Aturan ini diarahkan sebagai pedoman teknologi eugenik (teknik pemilihan gen-gen sempurna) yang bakal menghasilkan populasi manusia yang lebih beradab. Bila selama ini otoritas pembentukan manusia dipegang oleh kultur, sejalan dengan aturan-aturan seleksi dan kombinasi manusia melalui interaksi antarkelas, kasta, perkawinan, dan sebagainya, kini kita harus menerima kenyataan bahwa kemajuan bioteknologi telah membuka peluang lahirnya model aturan dan kombinasi yang baru. Strategi ini dianggap jauh lebih baik dan bertanggung jawab karena manusia bisa aktif mengendalikan masa depan dan memastikan peradaban berkembang ke arah yang lebih baik.
Sloterdijk jelas provokatif. Tesisnya tak cuma menohok kegagalan humanisme itu sendiri, tetapi juga mengoyak luka lama bangsa Jerman karena memakai istilah seperti: Selektion (seleksi), Menschenzähmung (pembentukan manusia), Menschenzucht (peternakan manusia), dan Antropotechnik (rekayasa manusia). Dalam kaidah bahasa Jerman, kontemporer istilah-istilah itu belakangan tak digunakan karena membawa kenangan buruk saat rezim Nazi mencoba membuat manusia Aria sempurna dan aktivitas Dr Josef Mengele di kamp pembantaian Auschwitz. Serunya lagi, Sloterdijk membacakan papernya dalam simposium yang disponsori komunitas Yahudi!
Terang saja kecaman segera berdatangan. Kalangan penjaga moral seperti agamawan mengecam ide-ide rekayasa manusia. Sementara komunitas filsuf sayap kiri dari mazhab Frankfurt dimotori Jurgen Habermas membantah kegagalan humanisme dan bereaksi keras dengan menyebut koleganya ini sebagai "fasis".

DI luar hingar-bingar wacana itu, ada pesan signifikan dari Sloterdijk; apakah benar manusia mampu mengendalikan peradaban agar berkembang ke arah yang lebih baik? Era modernitas, yang merupakan keniscayaan bagi humanisme, ternyata malah menandai kembalinya peradaban barbar, di mana angka perilaku kekerasan dan kekejaman manusia terus bertambah. Modernitas juga tidak berbanding lurus dengan peningkatan atau keberlanjutan kualitas kemanusiaan peradaban manusia. Kemiskinan tetap menjadi fenomena universal, ditambah meningkatnya suhu ketegangan sosial, konflik, dan menjamurnya kecurigaan di tingkat lokal, regional, sampai internasional.
Premis dasar Sloterdijk ini kembali terasa relevan saat kita menyaksikan AS dan sekutunya menginvasi Irak tanpa mandat PBB, sebuah otoritas hukum internasional tertinggi yang eksistensinya merupakan simbol peak experience humanisme. Berbagai upaya diplomatik dan unjuk rasa tak mampu mencegah invasi itu. Kenyataan ini selain melukai rasa kemanusiaan, juga menindas prinsip- prinsip dasar humanisme yang mempercayai etika dan moralitas sebagai basis segala hubungan antarmanusia di Bumi. Padahal, semangat inilah yang mendorong manusia menyusun deklarasi HAM sebagai spirit PBB. Patutlah bila kini kita mengevaluasi ulang berapa besar komitmen kita terhadap kemanusiaan, dan apakah humanisme, sebagai ideologi yang mengadvokasinya, perlu direvisi ulang.

SEPERTI halnya agama, humanisme memiliki kekuatan karena bersifat utopis, yakin bahwa situasi ideal dapat dicapai berkat sifat-sifat baik manusia. Karenanya, filsafat humanisme mengkritik Freud yang dianggap mengabaikan potensi-potensi positif dari manusia, seperti kebaikan, kasih sayang, berbagi, dan kedermawanan. Padahal, gara-gara terlalu percaya diri, humanisme lupa bahwa manusia punya potensi negatif yang acapkali lebih dominan daripada potensi positifnya. Terlelap dalam utopia berkepanjangan, ia membiarkan manusia memerkosa prinsip-prinsipnya dengan leluasa.
Invasi AS ke Irak ini merefleksikan seriusnya konflik yang diderita humanisme. Dalam Manifesto I-nya di tahun 1933, semangat gerakan humanisme adalah "satu dunia" (One World) di mana, "semua manusia bersaudara" (Alle Menschen werden Brüder). Humanisme ditujukan untuk mencapai tatanan masyarakat bebas dan universal, di mana manusia berpartisipasi secara cerdas dan sukarela untuk mencapai kebaikan bersama. Ketika kemudian "universal" menjadi istilah yang kabur mengingat komposisi geopolitik dunia kala itu amat tegang, empat puluh tahun kemudian Manifesto Humanisme II memperjelas arti "universal" sebagai penolakan kategorisasi manusia berdasar kebangsaannya.
Sayang, tatanan dunia justru terbangun oleh kategorisasi-kategorisasi yang saling bersaing secara tidak imbang, seperti ekonomi-politik, kebangsaan, fundamentalisme, atau agama, yang lalu berimbas pada mekanisme distribusi akses kebutuhan manusia. Mengingat humanisme lahir dari kalangan elite intelektual, kelas menengah, mapan, dan liberal, ada masalah saat mendefinisikan universalitas cara pandang dalam memahami manusia dan nilai-nilai hidupnya. Sebagian berpendapat globalisme dan kosmopolitanisme adalah baik dan tepat, sebagian lagi menganggap ide-ide global justru menjadi penghalang mencapai makna hidup yang tertinggi.

Bukannya mencoba menyelesaikan masalah ini, langsung ke akar, humanisme malah sering membiarkan diri terjebak dalam situasi dilematis seperti digambarkan Paul Tillich dalam karya Love, Power, and Justice; haruskah cinta yang kita rasakan pada seseorang yang telah melakukan tindak kejahatan membebaskan kita dari kewajiban menegakkan keadilan?
Tokoh humanis progresif AS, Carleton Coon, awalnya menentang aksi militer AS ke Irak, namun saat keputusan perang dijatuhkan, ia tak punya pilihan lain selain mendukung pemerintahnya dan tentara yang berjuang atas nama negerinya. Menurut dia, yang perlu dikerjakan adalah memastikan pembangunan kembali Irak dalam kerangka kemanusiaan (persis seperti bunyi pamflet kampanye perang AS).
Jepang juga memanfaatkan "dukungan kemanusiaan" sebagai ujud dukungannya terhadap perilaku AS karena konstitusi Jepang melarangnya terlibat secara militer dalam pertikaian negara lain. Kedua ilustrasi ini menggambarkan, humanisme kedodoran dalam mempertahankan visi gerakannya sehingga mudah di-abuse oleh kepentingan minoritas-dominan seperti nasionalisme atau ekonomi-politik.
Selain itu, sama seperti filsafat, humanisme juga keteteran menghadapi sainstek. Ia lupa bahwa bagi manusia, teknologi adalah representasi kesuksesan. Wajar bila teknologi turut berpartisipasi dalam merajut konflik antarbudaya dan kepentingan ekonomi. Sejarah membuktikan, manusia kini tak lagi menunggu saja sesuatu terjadi, ia akan dan mampu membuatnya terjadi. Inilah yang digambarkan Martin Heidegger sebagai karakteristik relasi antara teknologi produksi dan kepentingan ekonomi satu sisi, dan antara etnoteknologi dan perang, di sisi lain. Perang dipandang penting oleh kalangan bisnis dan pimpinan politik-militer sebagai ajang menjual diri dan meraup keuntungan di tengah persaingan dengan para kompetitor dan musuhnya, tak peduli ketika karakter psikologis dunia lantas didominasi asumsi-asumsi paranoid yang bakal terus termanifestasi dalam aneka bentuk kekerasan.

Buat mereka, ini bukan masalah karena justru berarti keuntungan. Tetapi, bagaimana dengan manusia lainnya yang cuma bisa jadi penonton? Apakah kita harus membesarkan anak dalam atmosfer kebencian dan kekerasan lengkap dengan senjatanya dan membiarkan humanisme (baca: PBB) jadi dekor saja dalam adegan peperangan yang kita saksikan live dari televisi. Inilah kegelisahan yang dirasakan Sloterdijk saat sadar bahwa manusia bakal sulit lepas dari jerat konspirasi teknologi-bisnis-kekuasaan.
Dari sini gerakan humanisme dunia masa kini dan mendatang jadi makin penting. Logika humanismenya harus dibenahi dan tidak membiarkan pelanggaran atas prinsipnya diklaim sebagai suatu keharusan ekonomi-politik. Betapapun pesimisnya, langkah ke sana tetap harus dilakukan untuk membangun kembali kepercayaan diri bahwa manusia mampu menyiapkan masa depan terbaik buat generasi penerus. Bila tidak, mungkin tesis Sloterdijk menjadi satu-satunya alternatif yang masuk akal.

Melampaui Kosmopolitanisme Politik

Bom kembali meledak di Bali awal Oktober 2005. Beberapa bulan silam jantung kota-kota Eropa diguncang oleh nasib serupa. Pembom datang tiba-tiba, menyerang lalu melumatkan sekian banyak korban.Terorisme kini bukan hanya hantu yang menggerayangi Amerika dan Eropa, tapi juga pelbagai belahan dunia, tak terkecuali Dunia Ketiga.
Kaum teroris menyebar ke berbagai penjuru, tanpa pusat yang pasti, dengan sekian motif serta agenda. Hingga hari ini kita hanya bisa menyaksikan dampaknya yang mencekam siapa pun, termasuk mereka yang berada di luar kategori yang menghendaki kaum teroris sebagai musuh yang harus dihancurkan. Terhadap peristiwa yang paling mengerikan yang pernah terjadi di kosmos ini setelah Perang Dunia II itu, berbagai tafsir dan konseptualisasi diajukan untuk menguraikan tindakan teror dalam lanskap politik global.

Mendelegitimasi Pencerahan
Modernitas yang ditandai dengan pencapaian subyektivitas menempatkan manusia berdiri sejajar di atas permukaan bumi atau kosmos. Sebuah kosmos, sejak Yunani Kuno, berarti keseluruhan tatanan yang diatur dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum tertentu. Kant mengapresiasi pengertian kosmos ini dalam konteks etis maupun politis: kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme berarti kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip imperatif universal. Konsep Immanuel Kant mengenai kosmopolitanisme menjadi titik tolak Habermas dan Derrida dalam rangka kritiknya terhadap institusi maupun konstitusi politik warisan Pencerahan yang dianggap oleh keduanya gagal menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Rangkaian tragedi kemanusiaan yang mewarnai abad XX seperti dua Perang Dunia, Nazisme, Stalinisme, dan Rasisme mendesak kita menggagas ulang makna konsep-konsep yang lahir dari rahim Pencerahan. Elemen traumatis yang ditinggalkan oleh semua tragedi kemanusiaan abad ini, terutama peristiwa teror, adalah akibat negatif atau krisis Pencerahan yang sudah klasik dan tak lagi memadai.
Derrida dan Habermas bergerak dalam lintasan wacana Pencerahan tentang toleransi, keadilan, dan tanggung jawab, lalu mencoba menempatkan kembali wacana ini dalam konteks demokrasi radikal, yaitu suatu politik universal melampaui kosmopolitanisme sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Kant. Derrida dan Habermas sepakat bahwa toleransi memiliki asal-usul keagamaan yang kemudian diapresiasi oleh politik sekuler sehingga tak heran bila toleransi sering dipraktikkan dalam semangat paternalistik, bahkan berat sebelah. Toleransi diandaikan berlangsung dalam payung otoritas politik yang dominan atas yang lain, minoritas.
Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris sebagaimana disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan dalam konteks yang sama.
Habermas menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis maupun politis. Ia dipandang secara etis karena mengandaikan kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis karena mampu membentuk konsensus rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan Habermas mengenai demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional.
Argumentasi ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-bangsa pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas suatu bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di mana kesetiaan pada konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan konsensus. Kesetiaan pada konstitusi ini mengungkapkan pula loyalitas kepada hak- hak keadilan dan tanggung jawab universal, terutama dalam masyarakat yang kompleks dan multikultural.
Sebaliknya, Derrida menganggap toleransi masih mengandung kekuasaan dalam arti tertentu terhadap yang lain. Karena toleransi masih mensyaratkan kesesuaian dengan hukum- hukum yang berlaku dalam teritori tertentu, dalam arti ini toleransi merupakan metafor mengenai kekuasaan atas yang lain. Derrida melawankan konsep toleransi dengan kesanggrahan (hospitality), sebuah terminologi yang bertolak dari Kant, tetapi berbeda dari pemahaman Kant yang masih menempatkan kesanggrahan sebagai tuntutan imperatif moral. Melalui kesanggrahan, Derrida memperkenalkan pendekatan baru dalam etika dan politik, yaitu kewajiban unik seseorang terhadap yang lain berupa kemurahan hati dan membuka diri dalam pembentukan konsensus yang berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir. Melalui kesanggrahan ini keunikan dan perbedaan masing-masing dapat dihargai. Ia membagi kesanggrahan ini dalam dua pola.
Pertama, toleransi bersyarat yaitu hak invitasi. Sebagai hak invitasi, kesanggrahan menjadi syarat bagi kemungkinan konvensi-konvensi internasional. Toleransi bersyarat inilah yang mendominasi sistem hukum klasik. Kedua, toleransi tak bersyarat yaitu hak visitasi. Sebagai hak visitasi, kesanggrahan memungkinkan teritori dalam risiko maksimal sebab ia tidak memiliki pertahanan sistematis dalam dirinya, kesanggrahan tidak memiliki status khusus secara politis maupun hukum. Dari sudut pandang kesanggrahan tak bersyarat atau hak visitasi ini dapat diperoleh suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dalam pengertian Kant. Hak kosmopolitan ini mensyaratkan seluruh tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku hingga dalam arti tertentu sangat totaliter.
Kosmopolitanisme ala Kant yang masih mengandaikan kesesuaian tindakan dengan hukum inilah yang hendak dihindari oleh Derrida dengan mengajukan pengertian baru pada konsep tentang keadilan sebagai sesuatu yang melampaui hukum. Sebab kalau tidak, keadilan akan tereduksikan hanya kepada dapat dilaksanakannya hukum (positivisme). Sebagai produk sosial dan politik, hukum bersifat terbatas, relatif, dan tidak pernah imun dari hukum sejarah. Keadilan selalu berada di luar dan di dalam hukum sekaligus, demikian Derrida. Keadilan berada di batas tegangan antara keduanya. Asumsi ini sekaligus menegaskan perbedaan antara hukum dan keadilan; hukum bersifat universal, sementara keadilan bersifat khusus.
Jika wilayah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung dalam aturan, norma, dan hal ihwal yang imperatif universal sehingga sering jatuh pada totalitarianisme dalam praktiknya; sebaliknya, keadilan menyangkut individu, keunikan hidup, dan situasi khas manusia. Hukum selalu beroperasi di dalam domain kepastian, dapat dikalkulasi dan diprediksi. Sementara itu, keadilan memperhitungkan apa yang tidak mungkin dikalkulasi dan memutuskan apa yang tidak mungkin dapat diputuskan. Dengan kata lain, keadilan mengandaikan pengalaman aporia dan khas dari seseorang. Keadilan tidak semata- mata mengacu pada hukum, tetapi juga melampaui hukum. Keadilan selalu berada dalam lingkaran negosiasi sosial dan pertimbangan politis terus-menerus sampai menjumpai batas-batasnya sendiri.

Globalisasi dan tiga momen otoimun
Globalisasi, demikian Habermas, merupakan keniscayaan sejarah, tetapi juga telah menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering melahirkan distorsi komunisi. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi dalam tindakan teror yang berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok: pemenang dan pecundang. Analisis Habermas ini melanjutkan proyek Sekolah Frankfurt dalam mendiagnosis patologi yang diidap masyarakat modern. Patologi itu berupa distorsi komunikasi dalam masyarakat global. Diagnosis terhadap patologi modernitas ini penting diajukan bukan untuk mengafirmasi globalisasi, tetapi mengidentifikasi aspek-aspek yang berbahaya yang dikandungnya, salah satunya adalah terorisme.
Terorisme berjalin-kelindan dengan pemahaman fundamentalisme dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika merespons modernitas. Fundamentalisme adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebenswelt), sekularisasi telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisional mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya, juga identitas, membuat para individu di dalam masyarakat terasing dari komunitasnya.
Fundamentalisme menemukan bentuknya yang paling ekstrem dalam terorisme. Terorisme secara eksklusif bersifat modern. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip- prinsip kehidupan global. Resistensi diri ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar. Keterputusan komunikasi ini melahirkan kekerasan dalam wujud tindakan teror. Dalam konteks demokrasi global, terorisme memiliki dimensi politik yang berbeda dengan tindak kekerasan biasa karena sifatnya yang mampu mendelegitimasi pemerintahan demokratis.
Berbeda dengan Habermas, Derrida menampik globalisasi sebagai keniscayaan sejarah karena globalisasi tak pernah mengambil tempat di dalam sejarah. Globalisasi tak pernah terjadi, yang terjadi adalah mondialisasi seluruh tatanan masyarakat dunia. Globalisasi tak lebih sebagai kelicikan retoris yang bertujuan menyembunyikan ketidakadilan. Globalisasi hanya merayakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan memanfaatkan kemajuan tekno-sains. Globalisasi atau mondialisasi telah menciptakan penderitaan yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah: kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan, AIDS, dan seterusnya. Globalisasi hanya merupakan delusi, suatu alat tipu daya untuk menyembunyikan ketidakseimbangan yang muncul, suatu kegelapan baru, suatu kesembronoan komunikasi lewat media, suatu penguasaan menyeluruh sarana produksi, teknologi, dan militer oleh segelintir negara atau korporasi internasional untuk mereka kangkangi sendiri. Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan kekuatan imunitas maupun otoimunitasnya sendiri.
Otoimunitas merupakan kata kunci untuk memahami gagasan Derrida mengenai terorisme sebagai konsekuensi dari globalisasi atau mondialisasi. Otoimunitas adalah sebuah kondisi otoimunisasi yang selanjutnya menghancurkan proteksinya sendiri. Dilihat dari konteks lahirnya terorisme, otoimunitas ini melalui tiga momen peristiwa.
Pertama, perang dingin di kepala, yaitu perang yang berlangsung di kepala ketimbang di daratan dan udara. Dilihat dari kontinuitasnya dengan Perang Dingin, para pembajak yang berpaling melawan Amerika Serikat sebenarnya telah dilatih oleh dinas rahasia AS sendiri selama invasi Uni Soviet di Afganistan. Boleh jadi, demikian Derrida, peristiwa 11 September merupakan babak akhir dari ledakan internal Perang Dingin.
Kedua ialah apa yang disebut oleh Derrida lebih buruk daripada Perang Dingin, baik secara historis maupun secara psikologis. Secara historis, musuh tidak dapat diidentifikasi dan dikalkulasi serta tidak dapat dituntut pertanggungjawaban, tidak sebagaimana dalam Perang Dingin dengan aktor-aktor yang jelas. Selanjutnya, secara psikologis ia menimbulkan pengalaman traumatis yang mengarah ke masa depan. Pengalaman traumatis ini melukai masa depan sebanyak ia melukai masa kini.
Ketiga, lingkaran setan penindasan. Ini menggambarkan cara bagaimana (dengan mengumumkan perang melawan terorisme) koalisi negara-negara Barat membangkitkan perang melawan dirinya sendiri. Ketiga teror otoimun yang didedahkan Derrida ini tidak dapat dibedakan. Ketiganya saling mengandaikan dan menentukan satu sama lain. Derrida telah memperlihatkan elemen-elemen destruktif globalisasi yang telah mengaburkan batas-batas kategori: teror, teritori, dan terorisme.
Derrida dan Habermas berikhtiar memperlihatkan bahwa terorisme merupakan konsep yang sulit ditangkap dan dipahami karena sifatnya yang sangat kompleks. Terorisme ditandai dengan kekaburan konseptual dan tanpa referensi. Media Barat secara serampangan menggunakan terminologi terorisme seakan-akan sudah jelas dengan sendirinya. Melalui media-media global, Amerika Serikat dan sekutunya memaklumatkan perang melawan terorisme, sebuah maklumat yang ditolak oleh Habermas dan Derrida. Habermas menganggap perang melawan terorisme merupakan kekeliruan besar, baik secara normatif maupun pragmatis. Secara normatif, maklumat itu menaikkan penjahat ke status musuh dalam perang, padahal musuh tersebut belum teridentifikasi. Secara pragmatis, perang tidak dapat dilancarkan terhadap jaringan yang tidak sepenuhnya memiliki identitas gamblang.
Terorisme seperti hantu yang menebar ke seluruh dunia. Seturut dengan Habermas, Derrida melihat maklumat perang terhadap terorisme adalah ungkapan yang paling kacau dan lucu. Maklumat itu justru membangkitkan kembali, dalam jangka pendek maupun panjang, motif-motif kejahatan yang ingin diberantasnya. Bukan berarti keduanya sepakat terhadap tindakan teroris, bagaimanapun tindakan tersebut tak dapat dibenarkan atas nama Tuhan sekalipun karena telah menghilangkan hak hidup sebagian orang. Keduanya sedang melakukan otokritik terhadap demokrasi Barat.

Menuju demokrasi radikal
Di hari-hari ini wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan sejak Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang kompleks. Dalam masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi radikal dengan merevisi kosmopolitanisme Kant, bahkan melampauinya. Habermas memodifikasi konsep Kant tentang ruang publik secara substansial. Immanuel Kant masih menganggap komunikasi terjadi dalam ruang publik soliter, sementara Habermas menekankan komunikasi dalam ruang publik secara keseluruhan. Komunikasi tidak bisa dijamin berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant karena praksis kehidupan sehari- hari kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu kenyataan bahwa kita memiliki latar keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan yang saling mengandaikan.
Alih-alih mengafirmasi kosmopolitanisme Kant, Derrida meletakkan cita-cita demokrasi di luar kosmopolitanisme atau kewarganegaraan dunia, melampaui kekuasaan tertinggi politik, ekonomi, dan hukum. Derrida mengajukan suatu demokrasi radikal, yaitu demokrasi mendatang: sebuah demokrasi yang belum eksis saat ini, tidak dapat dipresentasikan, bukan ide regulatif dalam pengertian Kant. Namun, demokrasi ini menyambut baik kemungkinan untuk digugat, untuk menggugat diri sendiri, mengkritik dan ikhtiar untuk terus-menerus memperbaiki diri.
Demokrasi Barat dalam arti ini merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus sampai pada batas-batasnya sendiri. Derrida dan Habermas telah meretas jalan dengan mengevaluasi secara menyeluruh prinsip-prinsip yang mendasari Pencerahan Barat. Keduanya bertolak dari ikhtiar untuk menyegarkan kembali kosmopolitanisme Kant.
Habermas melihat Pencerahan sebagai masa lalu yang harus direkonstruksi pada konteks hari ini, sementara Derrida secara radikal mendesak Pencerahan menuju perbatasannya, suatu keterarahan kepada masa depan melalui manifestasinya yang terkini. Pencerahan itu ada di masa depan, tetapi tidak dapat diprediksi dan diidentifikasi. Ia merupakan proses yang tak pernah sudah.
I have had occasion to say that deconstruction is a project in favour of the Enlightenment (Les Lumières), and that one must not confuse the Enlightenment of the eighteenth century with the Enlightenment of tomorrow, kata Derrida suatu hari.

Neoliberalisme

Neoliberalisme itu istilah licin yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi pasar sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal. Mengapa istilah itu berawalan neo?
Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem daripada seabad lalu.
Reinkarnasi liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk lebih ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded liberalism. Embedded liberalism merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem.
Dari hal kecil itu tampak, betapa sulitnya menunjuk persis arti neoliberalisme. Selain itu, neoliberalisme merupakan istilah yang lebih terpahami dalam konteks intelektual Eropa (istilah liberal punya arti lain di AS). Dalam perjalanan sejarah yang tumpang tindih, neoliberalisme banyak dikaitkan visi ekonomi kelompok seperti Mont Pelerin Society dan ekonom mazhab Chicago, seperti Milton Friedman, Gary Becker, dan George Stigler. Namun, neoliberalisme bukan sekadar ekonomi. Ia visi tentang manusia dan masyarakat, dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Mungkin dua lapis definisi yang saling terkait dapat membantu memahami jantung filsafat ekonomi neoliberalisme.

Visi antropologis
Lain dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Tak ada yang aneh pada reduksi itu. Penciutan pengandaian itu tidak dengan sendirinya keliru. Keketatan berpikir dalam kinerja tiap ilmu biasanya melibatkan penciutan, seperti geografi berangkat dari pengandaian manusia sebagai makhluk ruang; ilmu hukum dari premis manusia sebagai makhluk tata aturan.
Apakah visi antropologis yang telah diciutkan demi keketatan proses berpikir suatu bidang ilmu mengungkapkan seluruh dimensi manusia, tentu soal lain. Dari keragaman bidang akademis pun dari matematika hingga sastra, dari antropologi sampai teknologi sudah pasti penciutan asumsi bukan seluruh fakta dimensi manusia. Manusia pasti homo oeconomicus, tetapi homo oeconomicus pastilah bukan keseluruhan manusia.
Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia. Pada gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Inilah aspek yang mungkin paling tegas membedakan ekonomi neoliberal dari ekonomi liberal klasik. Tak ada yang lebih eksplisit dalam proyek perentangan ini daripada Gary Becker dalam The Economic Approach to Human Behavior (1976): pendekatan ekonomi menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia.
Bagaimana mungkin sebuah visi, yang karena tuntutan bidang ilmu berdiri di atas penciutan asumsi, menjadi dominan? Tak ada teori yang berjalan sendiri.

Virtualisasi ekonomi
Dalam stagnasi ekonomi negara-negara maju pada dasawarsa 1970-an, dan dalam revolusi teknologi informasi sejak awal dekade 1980-an, kecenderungan itu mengalami evolusi lanjut dan menghasilkan ciri utama neoliberalisme. Perspektif oeconomicus bukan hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi lain hidup manusia, bahkan dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarki prioritas: prioritas sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi.
Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dan semacamnya. Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam ekonomi, dengan prioritas yang pertama. Dalam bahasa sederhana, proses ekonomi bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.
Ada anggapan, maraknya transaksi produk-produk finansial akan mengalir langsung ke investasi di sektor riil (dalam bentuk pabrik atau sepatu), yang diharapkan menyediakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Ekonom Gérard Duménil dan Dominique Lévy punya temuan penting dengan data statistik menawan. Dalam karya baru, Capital Resurgent (2004), mereka menemukan tetesan itu amat minim, di AS maupun di Perancis. Simpulnya, finance finances itself, but does not finance investment. Pokok ini sentral karena kritik atas neoliberalisme biasanya dianggap sikap anti-investasi, antipertumbuhan, antiekonomi pasar, dan semacamnya.
Dalam fakta, visi neoliberal yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah amat diciutkan itu tentu penuh kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi neoliberal tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)? Itulah mengapa tak sedikit ahli menyimpulkan, neoliberalisme merupakan cara para tuan besar modal merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode setelah PD II sampai dasawarsa 1970-an.

Filsafat Politik, Politik Harian, dan Demokrasi

BULAN Februari 2002 bukan bulan yang baik bagi Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair. Usai sidang parlemen, dia menjadi bahan olok-olok para anggota parlemen.Blair menjadi bulan-bulanan karena ketidakmampuannya merumuskan secara singkat dan sederhana filsafat politik yang mendasari politik hariannya. Sandungan tersebut datang dari anggota parlemen asal partainya sendiri-yang kebetulan bekas pengajar filsafat di universitas. Insiden tersebut menyimpan satu pertanyaan. Apakah politik harian membutuhkan inspirasi filsafat politik. Gus Dur pernah menjadi bulan-bulanan saat memberi sedikit abstraksi filosofis-juridis di sidang parlemen. Wacana akademis! Begitu olok-olok sebagian anggota parlemen waktu itu. Dasar berpikir sebagian anggota parlemen waktu itu jelas. Politik harian tidak membutuhkan filsafat politik. Politik harian membutuhkan retorika, bukan logika. Raison d’etre-nya adalah pragmatisme. Politik praktis, begitu orang awam menyebutnya.

Benarkah tesis yang mengatakan bahwa politik harian tidak membutuhkan filsafat? Leo Strauss, filsuf politik asal Chicago, tidak sependapat. Dia menyuarakan pentingnya pencerahan filosofis atas politik. Para filsuf harus turun gunung mewejangi para politisi harian. Hanya dengan itu politik harian bisa berbobot. Tidak semata karnaval kebodohan dan kemunafikan yang memuakkan.
Filsuf ideal Straussian mesti bekerja sebagai bejana pikiran bagi para politisi harian. Membantu merumuskan kebijakan-kebijakan politik berbasiskan argumentasi filosofis yang kuat. Tidak sekadar mengikuti common sense yang dangkal tak berdasar. Singkat cerita, politik harian harus tunduk pada filsafat politik. Namun, tidak semua filsuf sepakat dengan Strauss. Jonathan Wolff, seorang filsuf politik lainnya, menolak keterjalinan antara filsafat politik dan politik harian. Filsafat politik, menurut Wolff, bukanlah "hakim epistemik" bagi kebijakan politik. Ia ini dipaksakan, sebentuk otoritarianisme kognitif menyembul. Dan ini tidak kondusif bagi perkembangan atmosfer demokrasi.
Kalau filsafat politik tidak boleh turun tangan pada persoalan politik harian, lalu apa tugas praksis para filsuf? Apakah mereka cukup berpikir di menara gading, tidak menyentuh kehidupan sehari-hari? Atau mengelus dada saja bila melihat kekacauan berpikir para politisi harian? Sikap-sikap seperti itu juga bukan sesuatu yang positif.

PARA filsuf politik kontemporer mengambil sikap moderat. Filsafat politik bukan lagi "hakim epistemik" bagi politik harian. Perannya sekarang adalah pengatur lalu lintas yang merumuskan rambu-rambu bagi percaturan politik yang fair.Ini tidak boleh diserahkan pada para politisi harian. Karena begitu diserahkan, rambu-rambu yang dibuat semata-mata melayani kepentingan the ruling party or parties. Inilah yang mendasari protes partai-partai gurem terhadap aturan main pemilu yang disusun parlemen sekarang.
Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa fairness dalam proses-proses politik. Tak adanya pembatasan dan pengawasan terhadap dana kampanye membuat partai-partai miskin jadi lemah posisinya dalam merebut hati publik. Hanya partai-partai kaya mampu membiayai reklame-reklame prime time di stasiun-stasiun TV raksasa. Kesempatan menjadi tidak setara untuk menjual dagangan politik antarpartai. Demokrasi memberikan keleluasaan bagi berbagai ideologi untuk hidup dan berkembang. Pada masyarakat tertutup-otoritarian, hanya satu ideologi yang berhak hidup; yang lain harus tunduk dan turut. Hal seperti itu tidak berlaku pada masyarakat terbuka-demokratis.
Dalam masyarakat terbuka menuntut kosongnya percaturan politik dari apa yang disebut Rawls "kebenaran metafisik". Sebentuk kebenaran yang mengabsolutisir dirinya dan menutup pintu komunikasi dan toleransi. Perdebatan ideologis yang paling tajam, menurut Rawls, adalah soal keadilan. Karena itu, filsafat politik Rawls mencoba merumuskan satu prosedur yang fair guna menentukan prinsip keadilan yang bisa diterima semua pihak. Prinsip keadilan yang bisa diterima baik oleh sayap kiri, kiri-tengah, maupun kanan.
Pluralisme bentuk kebenaran dalam masyarakat terbuka-demokratis juga menggelitik filsuf politik lainnya bernama Habermas. Filsuf politik ini memformulasikan apa yang disebutnya sebagai etika diskursus. Etika diskursus adalah prosedur yang fair bagi pertarungan epistemik-etik berbagai bentuk kebenaran demi mencapai konsensus.
Sama seperti Rawls, Habermas juga berbicara dalam bingkai demokrasi. Bingkai yang tidak boleh dimuati satu pun kebenaran absolut. Konkretnya begini. Satu kebijakan publik, misalnya, tak hanya diambil berdasarkan satu dasar ideologis. Namun, harus berdasarkan konsensus pihak-pihak ideologis yang berkepentingan.
Pengurangan subsidi BBM sangat brilian dari sudut pandang ideologi neo-liberalisme. Efisiensi ekonomi menuntut absennya campur tangan kekuasaan. Namun, ada prioritas nilai yang harus dipertimbangkan; misalnya, apakah efisiensi mesti mengorbankan kualitas hidup sebagian besar masyarakat; haruskah kalkulasi ekonomi meminggirkan hak sosial-ekonomi warga negara; atau benarkah ada dampak langsung efisiensi perusahaan pada turunnya angka pengangguran. Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya kurang diperhatikan para pengambil kebijakan.
Nyata sekali terlihat bagaimana kebijakan pengurangan subsidi BBM sangat mono-dimensional. Pihak-pihak yang berkepentingan tidak pernah dilibatkan. Atau, kalau dilibatkan, hanya satu pihak dan itu pun belum tentu representatif. Ini artinya ada sesuatu yang unfair dalam percaturan politik di republik ini. Dengan kata lain, filsafat politik masih dibutuhkan.

SELAIN merumuskan prosedur yang fair, filsafat politik juga berjasa memberi perspektif baru atas kenyataan politik. Filsafat politik Foucault, misalnya, memberi kita perspektif baru tentang kekuasaan yang berbeda dengan teoretisasi filosofis sebelumnya. Foucault menggugat teoretisasi klasik yang memandang kekuasaan sebagai hasil dari kontrak sosial dari individu-individu yang berkumpul dan berkonsensus. Kekuasaan yang selalu disangkut-pautkan dengan negara sebagai makro-politik.
Sebaliknya, ia memandang bahwa kekuasaan dalam realitas jauh dari bentukan individu, tetapi malah membentuk individu. Menjadikan individu sebagai tubuh-tubuh politik yang senantiasa melakukan swa-pengawasan atas dirinya. Kekuasaan macam ini memanifestasikan dirinya bukan hanya dalam negara, tetapi juga menyelusup masuk dalam jejaring mikro-mikro politik, mulai dari keluarga sampai penjara.
Ini adalah epistemologi baru (bahasanya Herry Priyono) dalam mempersoalkan kodrat kekuasaan. Kalau kekuasaan tidak lagi bersemayam di negara, maka target kontrol demokratis harus berubah. Lembaga ekonomi, spiritual, sains, sampai pedagogi. Semuanya itu adalah lembaga politis par excellence. Dan semua bentuk lembaga yang mengepung individu secara politis, mestilah akuntabel.

Uraian ini menyisakan pertanyaan sekaligus gugatan. Bagaimana nasib filsafat politik di republik ini. Karena kayaknya, kecenderungan skolastikal masih cukup dominan di kalangan akademisi filsafat. Kerja filosofis sekadar membolak-balik traktat tanpa mampu mengaitkannya dengan isu-isu keseharian. Sedangkan demokrasi di republik ini masih compang-camping.
Politik harian, menurut hemat saya, masih membutuhkan masukan prosedural dari para filsuf politik. Demokratisasi berjalan di tempat tanpa terobosan-terobosan teoretisasi baru filsafat politik.
Politisi boleh mengatakan: "filsafat adalah filsafat sementara politik adalah politik". Itu benar. Namun, kekeraskepalaan keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Keduanya harus menemukan titik temu. Para filsuf republik, mulailah bekerja!