Tampilkan postingan dengan label Makalah Gender. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Gender. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Maret 2011

Pembakuan Peran dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia

 

Pengantar:
 
Berangkat dari prinsip yang menantang gagasan konvensional bahwa hukum itu netral, objektif dan bebas nilai, LBH APIK Jakarta  telah melakukan penelitian tentang ‘Pembakuan Peran Gender dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia’. Dengan menggunakan pendekatan hukum kritis,pandangan feminis terhadap hukum, gender dan negara dalam konteks Indonesia, ditemukan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang tidak berkeadilan gender.  Ideologi patriarki (dominasi laki-laki)  faktanya telah mewujud dalam sistem hukum di Indonesia  (baik dari peraturan dan kebijakan yang ada, stuktur dan budaya hukumnya), sehingga senantiasa mengekalkan ketidakadilan terhadap perempuan.
 
Bagaimana pembakuan peran laki-laki dan perempuan dikukuhkan oleh Negara ?
 
Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran laki-laki/ suami dan perempuan/ istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik (domestikasi), yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang  memilah-milah peran perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah dibakukan oleh negara dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru. Kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya hanya menyisakan ketidakadilan pada perempuan. Dengan demikian, melalui hukum, negara melakukan peran gender. Hukum, dengan demikian, dipandang sebagai agen yang menguatkan nilai-nilai jender yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan negara untuk menjaga dan menjamin kepentingannya.
 
Apakah dampak dari pembakuan peran?
 
Upaya domestikasi perempuan secara sistematis oleh negara berdasarkan ideology gender dalam kebijakan-kebijakan negara berdampak lebih jauh pada peminggiran terhadap perempuan, baik secara ekonomis, politik, sosial dan budaya, juga menimbulkan subordinasi, eksploitasi dan privatisasi kekerasan terhadap perempuan.
 
Kebijakan-kebijakan apa sajakah yang membakukan peran jender?
 
Ruang lingkup kebijakan yang dikritisi dalam penelitian adalah kebijakan-kebijakan yang lahir pada era Orde Baru. Dari kebijakan-kebijakan negara seperti :
-     pada masa Revolusi Hijau, yaitu pada Repelita I thn 1969-1974 dimana muncul Kebijakan yang memarginalkan kaum perempuan pedesaan yang awalnya memiliki peran penting sebagai petani kemudian digeser dengan munculnya alat-alat pertanian modern yang diasosiasikan dengan keahlian jenis kelamin laki-laki.
-     Kemudian, kebijakan lain yang juga mempunyai efek pembakuan peran adalah praktek-praktek koersi terhadap perempuan yang diterapkan berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang kependudukan => Kebijakan KB yang dicanangkan sejak thn 1969 hanya diperuntukkan bagi kelompok perempuan
-     Menunjukkan adanya asumsi patriarkal negara mengenai peran laki-laki dan perempuan yang menganggap bahwa urusan domestik  adalah tanggung jawab perempuan. Nampak bahwa negara Orde Baru membatasi ruang lingkup kehidupan perempuan (secara sosial, ekonomi, politik) dan melegitimasi pembakuan peran gender.
 
Lebih rinci, teks-teks kebijakan yang dianalisa :
Ø    GBHN; Sebagai landasan bagi kebijakan-kebijakan lainnya dan pembangunan secara umum.  Sepanjang GBHN 1978 –1998, kata ‘kodrat’ tetap hadir dalam teks. Dengan konsep peran ganda yang dianut negara, dapat disimpulkan bahwa ‘kodrat ‘ dimakni tidak hanya sebatas kemampuan biologis perempuan tetapi juga peran-peran reproduksi sosial. Jadi, dapat dideteksi adanya gagasan-gagasan mengenai pembakuan peran gender dalam GBHN.
 
Ø    Kebijakan tentang Buruh Migran Perempuan
  1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 213/Men/89 tentang biaya Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia dalam Rangka Pengembangan Program Antar Kerja Antar Negara ke Timur Tengah ;
Dalam kebijakan ini diatur perbedaan biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman buruh migran perempuan dengan laki-laki dengan asumsi gender bahwa buruh migran perempuan dianggap membutuhkan pembinaan.
  1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 196/Men/1991 tentang Petunjuk Teknis Pengerahan Tenaga Kerja ke Arab Saudi
Peraturan ini memuat adanya pembedaan usia antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi buruh migran di sector informal.
Ø    Kebijakan tentang Pembantu Rumah Tangga  (Perda No. 6 thn 1993) tentang Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma di DKI Jakarta dan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1099 thn 1994)
Asumsi pemerintah terhadap istilah pramuwisma yang cenderung ditujukan terhadap perempuan menyumbang pada pembakuan peran gender dalam pasal-pasal Perda. Misalnya, pasal tentang perlunya ijin bekerja dari suami bagi perempuan yang sudah bersuami.
Ø      Kebijakan tentang Perkawinan/ Perceraian
UUP
Integrasi konsep pembakuan peran dalam kebijakan tentang perkawinan yaitu melalui UU No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP), terutama nampak dalam khususnya pasal 31, yang menyatakan bahwa “suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.” Selain itu, UUP menganut asas monogamy terbuka, maksudnya bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, terdapat klausula yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang karenanya terbuka kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan poligami. Pengaturan mengenai poligami ini tidak hanya menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan posisi tawar perempuan lebih rendah disbanding laki-laki tetapi juga menunjukkan bahwa negara jelas-jelas telah melegitimasi nilai-nilai jender perempuan yang hidup dalam masyarakat.
 
Dalam Pasal 31 : Kedudukan suami isteri adalah sama, akan tetapi dalam ayat lain ditegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Penegasan ini merupakan pengetatan fungsi-fungsi isteri dan fungsi-fungsi suami secara tegas. Artinya, pasal ini melegitimasi secara eksplisit pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Juga, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi isteri dan isteri wajib  mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.  Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah mutlak terbagi.
PP No. 45/ 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 thn 1983 tentang ijin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil.  (Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksana dari UU Perkawinan yang khusus diberlakukan kepada Pegawai Negeri Sipil dan merupakan penyempurnaan dari PP 10 thn 1983). PP ini lebih menegaskan asas monogamy terbuka. Akan tetapi, secara tidak konsisten PP melarang perempuan PNS menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dengan asumsi akan merusak citranya sebagai PNS dan perempuan.
 

Ø      Kebijakan tentang Kekerasan terhadap Perempuan

-         KUHP berkaitan dengan Penganiayaan terhadap isteri
KUHP tidak mengenal konsep kekerasan berbasis gender, atau tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan karena jenis kelamin perempuan.
-         KUHP berkaitan dengan Perkosaan
Perkosaan terhadap isteri dalam perkawinan (marital rape) tidak dikenal dalam KUHP berarti KUHP mengadopsi pandangan masyarakat bahwa fungsi  isteri adalah melayani suami.
-         UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
UU ini mengadopsi ideology patriarki yang tercermin dalam ketentuan tentang status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran , yaitu megikuti kewarganegaraan ayahnya.

 

Ø      Kebijakan Ketenagakerjaan

 
UU No. 25 thn 1997 tentang Ketenagakerjaan : Memuat ketentuan yang mendiskriminasikan perempuan dengan memuat ketentuan larangan bekerja bagi perempuan pada waktu malam hari.
 
Ø      Peraturan tentang Perpajakan :Keputusan Direktur Jendral Pajak No. 78/ PJ.41/ 1990 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada isteri wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas

Ø      Peraturan tentang Perpajakan:  Keputusan Direktur Jendral Pajak No. 78/ PJ. 41/ 1990 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada isteri Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Usaha dan atau Pekerjaan Bebas
 
Dalam ketentuan perpajakan, isteri yang bekerja atau usaha yang wajib kena pajak bukanlah wajib pajak secara pribadi melainkan sebagai ‘isteri wajib pajak.’ Dampaknya, ada hambatan bagi perempuan menikah yang hendak mengembangkan usahanya karena nomor wajib pajaknya tergantung pada suami sehingga otomatis pengembangan usahanya tergantung pada ijin suami.
 
Penutup
 
Ø      Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara disamping bias gender juga bias kelas menengah serta bertentangan dengan kenyataan sosialnya. Dalam kenyataannya, kaum perempuan tidak lagi hanya sebagai pencari nafkah tetapi juga banyak yang menjadi kepala keluarga.  Akibatnya timbul ketegangan antara nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan dengan kenyataan sosial yang terus berlangsung.
Ø      Melalui hukum, negara melakukan pembakuan peran gender. Beberapa kebijakan mengacu pada peran perempuan dan laki-laki sebagaimana didefinisikan dalam UUP No. 1 thn 1974. Dengan demikian, UUP merupakan kebijakan yang mempunyai signifikansi dalam proses pembakuan peran yang dilakukan negara.
Ø      Perlu dilakukan reformasi terhadap kebijakan-kebijakan dengan mengamati dinamika proses negosiasi antara kelompok-kelompok kepentingan yang terjadi ditingkat negara untuk menentukan sasaran intervensi yang dapat dilakukan baik di tingkat struktur formal (hukum dan negara) dan di tingkat masyarakat untuk mengubah nilai-nilai gender yang dominan.
 

Pemberitaan Sensitif Gender, Sumbangan Besar Mewujudkan Demokrasi

   

Revolusi teknologi ternyata tak banyak dimanfaatkan oleh pekerja media untuk membantu perempuan memperbaiki posisinya. Pencitraan perempuan di berbagai media massa di seluruh dunia masih lebih banyak bersifat stereotip sehingga tidak bisa dikatakan mewakili sesuatu yang lebih benar mengenai perempuan. Sampai Konferensi Dunia IV mengenai perempuan dan pembangunan di Beijing (1995), media dan jaringan alternatif khusus untuk perempuan semakin berkembang dan dimanfaatkan secara efektif oleh organisasi mahasiswa dan kelompok-kelompok perempuan guna memperbaiki kesadaran sosial dan politik di antara perempuan dan anggota masyarakat Dengan demikian, media seharusnya dapat digunakan untuk mentransformasi pencitraan mengenai perempuan.

 

Perjuangan Perombakan Kultur

Upaya menghapuskan kekerasan dalam pemberitaan surat kabar, bukan hal yang mudah karena menyangkut perombakan kultur dan kerangka pikir wartawan dan editor. Apalagi bila bekerja pada wilayah mind set yang melahirkan suatu sikap tertentu, ideologi tertentu yang dipelajari seorang manusia sejak ia bisa berpikir, ditambah oleh pola asuh yang bias gender. Dengan demikian pemberitaan wacana sensitifitas gender saja tidak akan mampu membuat wartawan segera mamiliki kesadaran yang cukup pada inequality yang dialami perempuan. Kerja dalam tim seperti media cetak, membutuhkan toleransi dan penghargaan pada proses. Kemarahan dan ketidaktoleran hanya akan menjadi conter productive dan tidak akan membuat perubahan yang berarti.
Perjuangan untuk mencapai keadilan gender melalui pemberitaan dalam media massa masih membutuhkan waktu teramat panjang. Kekerasan terhadap perempuan dalam media massa tidak bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat, karena struktur dan pemberitaan media massa sebenarnya adalah cermin situasi masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat terlanjur meyakini notion palsu yang mengatakan bahwa secara kodrati perempuan kurang pandai dan secara fisik lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Karena itu, sebagai besar masyarakat masih percaya pada pembagian kerja secara seksual yang mensubordinasikan perempuan, sektor "domestik" yang dikatakan sebagai sektor statis clan consumtif sebagai milik perempuan. Sedangkan sektor "publik" yang dicirikan sebagai sektor dinamis dan memiliki sumber kekuasaan pada perbagai sektor kehidupan yang mengendalikan perubahan sosial sebagai milik laki-laki.
Sejumlah stereotip lantas menempel pada perempuan dan laki-laki berdasarkan peran jenis kelamin itu. Ini diperkuat oleh kekuasaan negara UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang secara eksplisit menetapkan peran-laki-laki dan perempuan, maka dengan mudah ideologi yang diskriminatif ini tersosialisasikan, terinternalisasikan melalui pendidikan di semua lini, keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Wartawan dan struktur keredaksian juga menyerap nilai-nilai tersebut sehingga mudah tergelincir untuk melakukan kekerasan berganda terhadap perempuan korban kekerasan melalui bahasa dan konsep yang dipakai, atau sudut pandang berita yang dipilih, pemilihan gagasan dan keseluruhan gaya pemberitaan.

 

Perspektif Perempuan dalam Media Massa

Seluruh persoalan ini di dalam media massa juga tidak terlepas dari struktur modal yang kapitalistik. Industri media massa akan menempatkan berita-berita yang bersifat maskulin itu sebagai sesuatu yang utama, karena dianggap "menjual". Ciri kapitalistik juga nampak dari dikalahkannya pemuatan berita demi iklan, meski iklan dijadikan alasan utama suatu media massa dapat bertahan.
Penulisan berita dan artikel atau tulisan apapun (juga gambar) yang berperspektif perempuan bukan tidak mengandung kontradiksi. Bahkan mengandung resiko dituduh mengekalkan mitos masochisme perempuan, rasisme, narcisis, memalukan, buruk, efensif, dan menentang konsepsi tentang apa dan bagaimana seharusnya.
Suara perempuan adalah suara yang terbisukan. Sistem politik yang represif telah mengawasi perempuan secara ketat, mengontrol secara dominan, tidak memungkinkan cara berpikir lain daripada yang dikehendaki penguasa, menyudutkan dan menyempitkan dan akhirnya menundukkan. Ini juga dilakukan melalui bahasa, karena membicarakan media massa media yang diekspresikan melalui bahasa tulis dan lisan. Sebagai wacana baru (newspeak), bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi. Ia merupakan kegiatan kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada keadaan sosial tertentu.

 

Posisi Media Massa

Namun perubahan semacam ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada semacam cara pandang, budaya berpikir yang harus dirombak dalam struktur besar keredaksian, serta pembongkaran sikap dan cara pandang personal di kalangan wartawannya. Dalam sebuah diskusi Lembaga Pers Mahasiswa, pada umumnya pekerja media memiliki kesadaran memadai mengenai masalah-masalah HAM. Namun masih perlu perbaikan yang signifikan dalam kognisi, maupun afeksi. Jurnalis harus memanfaatkan semaksimal mungkin informasi, komunikasi, dan pendidikan untuk memajukan perdamaian, HAM, dan demokrasi.
Tetapi apa keterkaitan antar demokrasi dan perempuan? Sejarah bisa menjadi titik tempuh untuk memaparkan pergerakan posisi perempuan mulai dari pemegang peranan yang kuat dalam komunitas sampai terjadinya subordinnasi terhadap mereka. Sejarah kemudian memang memperlihatkan bahwa sejarah perempuan lebih banyak dilekatkan pada subordinasi. Padahal inti demokrasi adalah kesetaraan hak dan kewjiban, dan keadilan yang didasarkan kesetaraan tadi.
Jadi, sehebat apapun posisi seorang pemimpin media berbicara soal demokrasi, tetapi ia meragukan atau bahkan menisbikan persoalan kesetaraan dalam hubungan perempuan-laki-laki, maka ia bukanlah demokrat sejati. Seorang pemimpin di dalam media yang masih mengartikan feminisme sebagai pembalikan perempuan dan laki-laki atau bahkan menuduh feminisme dan gerakan kesetaraan gender sebagai gerakan untuk menindas laki-laki, maka secara tidak sadar dia telah memposisikan dirinya sebagai penindas.
Mengapa? Karena kesadaran ditindas hanya ada pada golongan penindas. Pada banyak kasus, orang tertindas malah tidak merasa ditindas karena manipulasi berbagai nilai yang dikukuhi dalam kehidupan masyarakat atau malah melakukan adjustment terhadap penindasan itu dan kemudian mereplikasikannya kepada pihak lain yang lemah. Karena itulah kesadaran perempuan tentang masalah penindasan ini harus dibongkar. Hanya dengan itu maka seluruh gerakan kesetaraan bisa mencapai tujuannya. Dalam hal ini media sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) berperan sangat besar untuk pergerakan permpuan, namun sebaliknya media bisa digunakan untuk menahan laju pergerakan perempuan, atau bahkan memundurkan kembali. Inilah yang disebut split personaliy dari media: ia bisa menjadi agen pembaharu, tetapi sekaligus menginginkan kemapanan sehingga enggan membongkar situasi status-quo, karena merasa hal-hal itu tidak populer, yang akhirnya mengganggu bisnis media.
Namun bagaimanapun harus diingat, media main steram berurusan dengan pemodal yang lebih mempedulikan kenginan pasar ketimbang perbaikan posisi dan kesejahteraan perempuan dan kelompok masyarakat yang dilemahkan lainnnya. Meski demikian, ketidakpedulian media main stream ini bukan jalan buntu yang tidak bisa ditembus. Selalu ada jalan dengan kecerdasan membungkus isu, sehingga akhirnya secara perlahan tetapi pasti, isu-isu kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang kian membesar dan penting dan harus diterapkan dalam setiap persoalan.

Refleksi Teologi Islam mengenai Kesetaraan Jender


DALAM salah satu bukunya, Hassan Hanafi mengatakan bahwa teologi Islam sangat memprihatinkan, hanya bicara tentang konsep Tuhan dan abai terhadap masalah sosial di hadapannya (Hassan Hanafi, 2003). Celakanya lagi, teologi ini dianggap sudah final oleh umat Islam, tidak boleh diperbarui.
Sejatinya, teologi seharusnya merupakan refleksi kritis agama terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Perjuangan membangun keadilan dan kesetaraan jender, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari bangunan teologis. Seakan beban jender perempuan adalah "kodrat" dari Tuhan. Perempuan masih diposisikan sebagai kelompok lemah yang perlu diajari, dibimbing, dan "diamankan". Semua itu menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang publik, diharuskan tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi di wilayah domestik. Di sini peran teologi Islam diuji.

Teologi dan realitas sosial
Pada awalnya teologi Islam dibangun di atas kepentingan politik. Peristiwa pemberontakan Mu’awiyah terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib dicatat Harun Nasution sebagai awal munculnya perdebatan teologi (Harun Nasution, 1986). Perdebatan tersebut bermuara pada kebutuhan untuk mencari legitimasi politik, terutama Mu’awiyah, setelah ia memperoleh kursi kekhalifahan.
Maka, konsep "fatalisme" atau "predestination" lebih dimotivasi kepentingan status quo ketimbang teologi itu sendiri. Dalam "fatalisme", pemberontakan Mu’awiyah diyakini sebagai takdir. Meski agak berbeda dengan awal kemunculannya, Abu Hasan Al-Asy’ari dipuji Nurcholish Madjid, sebab Asy’ari dianggap sukses menciptakan sebuah konsep teologi yang membuktikan peran besar Tuhan dalam jagat raya (Nurcholish Madjid, 1992). Saat itu, Asy’ari di tengah "keputus-asaan teologis" umat Islam berhadapan dengan Aristotelianisme yang menempatkan Tuhan pada posisi kurang signifikan.
Lantas tokoh-tokoh Mu’tazilah juga dianggap sukses dalam melapangkan pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang menuntut banyak peran akal. Dalam konsep teologinya mereka menerangkan bahwa akal manusia sejalan dengan wahyu. Bahkan, menurut mereka, tanpa wahyu sekalipun manusia mampu mengetahui tentang Tuhan dan kebaikan.
Turunnya wahyu mereka anggap sebagai afirmasi dan konfirmasi atas pengetahuan tersebut. Pandangan serupa ini menjadi landasan teologis dalam mengembangkan filsafat yang saat itu ditentang keras oleh ulama, terutama para ahli fikih (fuqoha)
Dengan demikian, raison d’etre teologi Islam adalah tuntutan "realitas sosial". Teks kitab suci (Al Quran) didialogkan dengan persoalan manusia. Maka, pada masanya, teologi Islam begitu modern dan relevan dengan kebutuhan manusia.
Dewasa ini, teologi Islam berhenti berdialog dengan "realitas sosial". Umat Islam terjebak dengan pendekatan hermeneutika teoretis, yakni memahami teologi untuk teologi itu sendiri. Walhasil, teologi menjadi jauh dari kebutuhan manusia. Wajar jika Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa teologi Islam terlalu berkutat pada persoalan metafisik dan meninggalkan persoalan penting kemanusiaan (Asghar Ali Engineer, 1998).
Sudah saatnya umat Islam mengembangkan pendekatan hermeneutika filosofis, dengan harapan dapat membebaskan teologi Islam dari kebangkrutannya. Dengan pendekatan ini, teologi senantiasa didialogkan dengan realitas sosialnya. Apa yang dilakukan Hanafi adalah salah satu contoh menarik. Hanafi mendialogkan teologi dengan kolonialisme dan orientalisme, akhirnya terciptalah teologi pembebasan (kiri Islam).
Salah satu realitas sosial yang perlu disikapi adalah diskriminasi jender. Teologi yang sejatinya memosisikan perempuan sebagai mitra laki-laki, justru disesaki kepentingan laki-laki. Kata ganti Tuhan dalam Al Quran, misalnya, ialah Huwa, yang berarti Dia (laki-laki).
Hal ini dibenarkan teolog feminis, Anne McGrew Bennet. Menurut dia teologi yang ada selama ini disesaki kepentingan laki-laki. Bennet menyatakan bahwa "revolusi teologis" adalah sebuah keniscayaan jika kita menginginkan pembebasan manusia (Anne McGrew Bennet, 1989).
Jadi, dialog teologi dengan permasalahan-permasalahan perempuan adalah suatu keniscayaan. Hasil dialog semacam ini dapat kita temukan dalam teologi feminis. Di dalamnya, konsep ketuhanan yang metafisik diterjemahkan kepada persoalan pembebasan dan pemberdayaan perempuan. Lebih tepatnya, teologi feminis adalah teologi yang menggali aspek-aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender.
Dalam Al Quran, Tuhan digambarkan memiliki 99 sifat. Oleh Ibnu Arabi, sifat-sifat tersebut dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sifat yang melambangkan keperkasaan (maskulin) dan keindahan (feminin). Sifat feminin inilah yang dieksplorasi oleh teologi feminis.
Dalam pandangan Arabi, meski sifat maskulin dan feminin Tuhan dikatakan sejajar, sebenarnya sifat feminin Tuhan jauh lebih berperan. Proses penciptaan alam semesta secara evolusi, misalnya, merupakan cermin dari sifat feminin-Nya. Arabi menggambarkan adanya reproduksi alam semesta, seperti halnya seorang ibu yang melahirkan.
Kemudian, pemeliharaan alam juga merupakan representasi sifat kasih dan sayang-Nya. Bahkan, sifat perkasa-Nya senantiasa didampingi oleh keluasan kasih sayang-Nya. Maha Pemberi Hukuman diimbangi dengan Maha Pengampun, Maha Pemarah diimbangi dengan Maha Penyayang, dan seterusnya. Dengan demikian aspek feminin-Nya jauh lebih terasa ketimbang aspek maskulin.
Hal inilah yang ingin didekonstruksi dari paradigma pendukung patriarki bahwa feminitas senantiasa merepresentasikan kelemahan, irasional, sensitif, dan tidak bisa tegas sehingga menyebabkan kaum perempuan dianggap tidak layak berperan dalam wilayah publik. Padahal, pandangan seperti itu tidak memiliki legitimasi teologis. Perendahan terhadap kualitas feminin perempuan bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminin Tuhan.
Atas dasar itu, diskriminasi jender sesungguhnya merupakan pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh. Alasannya, relasi jender secara mengesankan telah direpresentasikan oleh Tuhan sendiri. Oleh karena itu, paling tidak, ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap teologi Islam.
Pertama, membongkar mitos tentang teologi yang seolah-oleh terberi (taken for granted). Hal ini diperlukan guna menyadarkan umat bahwa kemunculan teologi Islam tidak berada di ruang hampa, melainkan penuh dengan kepentingan, baik kepentingan status quo maupun pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak ada fanatisme sempit yang mencurigai dialog teologi dan persoalan perempuan sebagai pendangkalan akidah.
Kedua, mengeksplorasi aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender. Ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan dengan sifat maskulin-Nya. Eksplorasi lebih dimaksudkan sebagai pengungkapan bahwa sifat feminin tidak identik dengan kelemahan sebagaimana dianggap oleh pendukung patriarki.
Ketiga, menjadikan teologi tidak sebatas keimanan, melainkan meneruskannya pada aksi. Ukuran kesalehan dalam konteks gagasan ini tidak diukur dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada kesalehan sosial, yakni membela hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan jender

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan


BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa.
Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.

Bias Gender
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias gender.
Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan.
Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.
Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas.
Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya.
Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.

Keterlibatan Semua Pihak
Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.
Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.
Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender. (18)

Membangun Resistensi, Membongkar Stereotipe

   Publik kini bebas memilih dan menikmati tayangan ataupun bacaan di berbagai media. Kebebasan ini bagaikan sebuah representasi hak otonom publik untuk memilih bentuk sajian media yang mereka sukai. Namun dibalik itu, kita lupa dengan terjadinya “penyeragaman” dalam tayangan ataupun bacaan itu sendiri yang berakibat pada memaksa penonton untuk mengikuti apa yang si pembuat media inginkan. Contoh sederhana adalah tayangan iklan. Iklan yang ditayangkan terus menerus berpotensi menggiring penonton untuk “harus” mengikuti standar-standar nilai yang disematkan. Menyaksikan iklan shampo; rambut lurus hitam adalah nilai yang disampaikan penonton bahwa rambut seperti demikian yang ideal bagi perempuan.

Semua ini tentu tidak lepas dari motif-motif politik-ideologis tertentu dibalik penyajian tersebut. Sebagai contoh yang paling mudah, adalah iklan kosmetik dan minyak goreng. Iklan kosmetik mengiklankan tentang kulit putih mulus dan tubuh langsing ideal perempuan. Iklan tentang minyak goreng adalah contoh lain tentang nilai-nilai domestifikasi perempuan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas segala kesehatan suaminya. Bagaimana menganalisa masalah ini? Sebagaimana Sara Mills, titik perhatian utama saya adalah pada wacana feminisme. Alasannya, seperti halnya pendapat Eriyanto (2001) banyak tayangan ataupun bacaan di media yang melibatkan perempuan dan yang terbanyak tentu saja adalah tayangan iklan.

Produksi Kekuasaan

Michel Foucault, adalah salah satu filsuf postmodernis yang menawarkan analisis tentang motif-motif tertentu pada suatu media atau teks. Foucault mengatakannya sebagai “produksi kekuasaan”. Bahwa kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun yang memilikinya) (John Lechte, 2001). Kuasa bukanlah milik raja, boss, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Iklan, adalah salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan. Produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk menghembuskan wacana “langsing”, “kulit putih”, “rambut lurus hitam panjang”, yang mencuat terus menerus sehingga secara tidak sadar masyarakat menganggap tubuh perempuan yang ideal dan normal adalah; langsing, berkulit putih, dan berambut lurus. Disini tengah berlangsung bergulirnya strategi kuasa yang diproduksi terus menerus.

Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Iklan bukan lagi menjadi pelayanan terhadap konsumen, melainkan menormalkan individu agar perilakunya sesuai dengan yang diinginkan si pembuat iklan. Foucault menegaskan persoalan ini sebagai kekuasaan atas kehidupan modern atau kapitalisme, salah satunya yaitu untuk mencapai target penjualan produk (Eriyanto,2001).

Sebagai contoh, iklan Pond’s yang pernah ditayangkan di media televisi jelas menunjukkan bahwa kulit putih lebih baik daripada berkulit gelap. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang fotografer mengambil ancang-ancang membidik dua gadis kembar, yang satu berkulit gelap, yang lain berkulit putih. Fotografer si lelaki tampan itu memilih membidik kameranya kepada si gadis yang berkulit putih. Mengetahui hal itu, gadis berkulit lebih gelap berwajah murung, kemudian berusaha memutihkan kulitnya dengan harapan lelaki itu memperhatikannya.

Iklan yang membenarkan “kulit putih lebih cantik daripada kulit hitam” tidak dibentuk dengan reproduksi kekuasaan represif, melainkan melalui reproduksi kreatif. Melalui iklan, individu didefinisikan, dibentuk, diciptakan, yaitu perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan lelaki normal adalah yang menyukai perempuan berkulit putih.

Atau iklan tentang tubuh ideal perempuan langsing dan tinggi. Perempuan kemudian diatur, digiring untuk menjadi ramping, bahwa tubuh ideal perempuan seperti pada perempuan yang menjadi model iklan Tropicana Slim, atau iklan The Cambridge Diet yang menuliskan kata-kata,”Lost the weight, not the fun …” dengan lingkaran merah besar yang menutupi sebagaian tubuh ramping kurus perempuan bule yang sedang melompat, bertuliskan “Yes! Turunkan berat badan anda hingga 5 kg perminggu!” Kata-kata itu menunjukkan bahwa menjadi kurus adalah kegembiraan dan kepuasan.

Atau pada iklan minyak goreng, terdapat kata-kata,”jangan-jangan kolesterol suamiku tinggi karena aku salah pilih minyak goreng”. Jelas sekali adanya domestifikasi perempuan bahwa istrilah yang harus bertanggungjawab bila suaminya terkena penyakit tertentu. Istri ideal adalah yang terus merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada suami mereka. Masyarakat kemudian menginternalisasi “istri ideal” adalah seperti itu. Iklan itu menunjukkan adanya bias dalam menampilkan perempuan dimana istri cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah.

Langsing putih dan berambut lurus menjadi wacana dominan perempuan ideal di masyarakat kita. Wacana dominan ini menggeser atau memarginalkan wacana lain yaitu bagi perempuan-perempuan yang tidak berkulit putih dan tidak bertubuh langsing. Akibatnya adalah perempuan yang tidak bertubuh langsing dan tidak berkulit putih kehilangan kepercayaan atas tubuhnyadan kehilangan identitas karakter tubuhnya sendiri. Wacana tubuh perempuan yang tidak dominan ini diabaikan (left out).

Berbagai upaya mengimbangi wacana dominan ini seperti yang dilakukan Dewi Huges atau Anita Roddick yang peduli terhadap masyarakat pedalaman dengan melihat kecantikan perempuan Afrika pada akhirnya tidak mampu mengalahkan wacana dominan tadi. Roddick sampai bersusah payah membuat maskot “The Body Shop” serupa boneka Barbie tetapi bertubuh besar, berambut ikal dengan kulitnya yang berwarna. Ia menyebutnya sebagai suatu pencerahan terhadap kapitalisme (Adriana Venny,2000).

Resistensi Perempuan Melalui Media Seni

Sangat memprihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa mencapai wacana dominan tentang tubuh ideal tadi membuat mereka terobsesi dan memaksakan diri dengan berbagai upaya yang bahkan bisa membahayakan mereka. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa menjadi putih hanya dengan kosmetik? Lagipula wacana dominan ini mengandung pelecehan terhadap ras yang berkulit hitam. Masihkah kita perlu membanggakan diri atau bersedih hati karena kulit kita?

Iklan-iklan yang memelihara nilai-nilai seperti itu sesungguhnya menumbuhkan stereotip baru terhadap perempuan, yaitu konsep yang mencakup seks dan gender dimana seks adalah indentifikasi untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (jenis kelamin) yang lebih digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual(Suzanne dan wendi,1997) sedangkan gender menjelaskan adanya pembedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari konstruksi sosial-budaya.(Elaine,1989)

Stereotipe tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender, yaitu suatu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan (distinction) karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya (sex). Misalnya perempuan dijelaskan berkarakter baik bila ia sebagai ibu rumah tangga atau istri yang baik (seperti pada iklan minyak goreng), sedangkan laki-laki berkarakter baik bila ia sebagai individu di atas dunia yang lebih luas (Tierney). Mansour Fakih bahkan lebih jelas mengatakan bahwa stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, yang akibatnya terjadi diskriminasi dan ketidakadilan(Fakih 1997).

Stereotipe: Wacana Dominan, Wacana Oposisi Biner

Stereotipe terhadap perempuan seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Dalam Sorties, Hélén Cixous menulis hirarki oposisi biner yang selalu menempatkan dua hal dalam relasi yang superior-inferior seperti “Activity/passivity, Culture/nature, Head/heart, Intelligible/palpable Man/woman” (Priyatna 2000)

Masyarakat manapun, termasuk Indonesia masih memegang stereotip bahwa laki-laki berada di wilayah kiri (aktif, beradab, rasional, cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan (pasif, dekat dengan alam, emosional, kurang cerdas). Iklan-iklan yang membuat standar tubuh perempuan ideal membuktikan bagaimana laki-laki (lebih banyak dibagian produksi iklan) menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang “perempuan sexy atau cantik”. Model-model perempuan adalah obyek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki-laki adalah penciptanya.
Tidak hanya iklan, stereotip oposisi biner menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan dimana ini terjadi pula dalam media seni. Dalam media ini perempuan adalah obyek yang dikreasikan atau diciptakan oleh keinginan, hasrat dan daya pikir laki-laki, perempuan adalah obyek yang pasif, yang bisa dibentuk sebagaimana yang diinginkan laki-laki. Seperti Basuki Abdullah seorang pelukis terkenal pernah berkata,”Perempuan itu lebih cocok untuk dilukis daripada sebagai pelukis.” Antiphanes seorang dramawan komedi Yunani juga mengatakan,”Perempuan tak akan hidup lagi setelah kematian, kecuali dibangkitkan lawan kesenian oleh pria.” Penyair metafisis Inggris pada sekitar abad 17 bahkan menggambarkan perempuan itu cuma kata-kata (passivity, palpable), sedang perbuatan adalah pria (activity, intelligible).(Swara Harian Kompas, 1999). Atas hal ini, dapat disimpulkan bahwa tampaknya perempuan dalam media ditempatkan sebagai yang abstrak, sedangkan pria itu konkrit. Perempuan yang “dikerjakan” dan lelakilah yang mengerjakan.

Wacana dominan yang berwajah stereotipe ini memagari perempuan sehingga mereka tidak mampu mengekspresikan dirinya. Seperti yang dialami pelukis Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl. Ketika menjadi pelukis, mereka dianggap “sinting” atau aneh oleh masyarakat sekitarnya, karena ada stereotipe dimana ibu rumah tangga seharusnya mengurus rumah tangga, bukannya melukis (Bianpoen,1996).

Kenyataan bahwa perempuan dalam media seni tidak diterima sebagai subyek sebetulnya sudah dialami oleh Kartini dan adiknya, Roekmini. Dalam suratnya, sekitar tahun 1901 bahwa saudara perempuannya yang bernama Roekmini ingin menjadi pelukis di akademi senirupa di Den Haag, tetapi tradisi tidak memberi tempat kepada anak perempuan diluar lingkungan rumah. Adanya stereotipe bahwa perempuan tidak boleh di luar lingkungan rumah mengakibatkan Roekmini tidak pernah mendapat kesempatan belajar seni rupa seperti yang pernah dicita-citakannya (Bianpone,1996).

Begitupula di bidang sastra, Ayu Utami penulis novel Saman sebagai pemenang juara pertama sayembara roman DKJ 1997-1998 sempat dicurigai bahwa itu bukan karyanya, melainkan tulisannya Goenawan Muhammad. Ada faktor ketidakpercayaan masyarakat dengan mempertanyakan bagaimana mungkin perempuan dapat mencapai kesuksesannya di bidang sastra, dan masyarakat lebih percaya bila kesuksesan sebuah karya seni ada di tangan laki-laki (stereotipe). Akibatnya, buah pikiran Ayu Utami dicurigai sebagai buah pikiran laki-laki, yang dianggap lebih mungkin dan masuk akal.

Kecurigaan tersebut bisa kita lihat di beberapa media massa dan gunjingan di sekitar kelompok-kelompok sastra. Seperti dalam surat kabar Suara Pembaharuan, dituliskan judul yang sangat melecehkan,”’Saman”, Puas tapi Minta Tambah”, yang isinya mengasumsikan bahwa fragmen dari novel itu benar-benar mengundang libido pembaca (dalam hal ini berarti libido laki-laki) dengan menempatkan Ayu Utami sebagai obyek berita yang sensual, bukan karya sastranya. (Suara Pembaharuan, 1998)

Membongkar Stereotip Melalui Media Seni

Stereotip memang sangat merugikan perempuan yang tidak hanya dalam iklan tetapi juga masuk ke wilayah seni. Namun, dibandingkan dengan media iklan, media seni ternyata dapat juga menjadi alat untuk mendobrak stereotipe itu sendiri. Dalam media seni kita bisa menemukan semangat kebebasan dibandingkan dengan media iklan.

Hans Georg Gadamer pernah mengatakan bahwa tidak ada aturan-aturan seni yang bersifat universal. Aturan-aturan itu diberikan oleh alam melalui para genius. Seperti apa yang dikatakan Imanuel Kant bahwa “seni murni adalah seni para genius”. Itu berarti bahwa seni tidak dapat diatur oleh adanya stereotipe ataupun konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan. Tidak ada aturan seni yang menempatkan perempuan harus sebagai obyek.

Di ranah seni rupa, Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl akhirnya mengalami kesuksesan terutama karya mereka yang sangat feminis. Dalam Srikandi (1993) Lucia Hartini melukis perempuan yang diletakkan sebagai subyek. Perempuan dalam lukisan itu berani dengan tinju terkepal, otot-otot lengan yang kencang dengan sebelah matanya keluar cahaya tajam yang menembus mata-mata yang sedang mengintip. Dalam lukisannya itu Lucia Hartini telah mendobrak adanya stereotipe dengan menempatkan perempuan sebagai manusia berani dan aktif. Demikian pula Kartika Affandi Koberl dalam karyanya Potret Diri yang lebih menggambarkan integritas perempuan gigih dan kuat dalam menghadapi kesulitan hidup. Garis-garis kuasnya menaruh kontemplasi dan ekspresi perasaan yang sangat kuat.

Di ranah sastra, Ayu Utami yang ditimpa gunjingan sana-sini juga tidak mengurangi kesuksesannya. Di dalam novel-novelnya selalu ia tanamkan tentang karakter perempuan mandiri, yaitu perempuan sebagai subyek yang memandang, dan laki-laki sebagai obyek yang dipandang. Ia juga memberontak terhadap stereotipe keperawanan perempuan. “Dengar kawan-kawan, kataku, jika agama dipakai untuk urusan ini, pada akhirnya yang salah adalah Tuhan. Mendengar itu Yasmin marah sekali, sehingga kami kepingin berkelahi. Laila melerai dengan usul menyisihkan dulu perkara itu, sebab menurut dia musuh kita adalah laki-laki… Apa salah laki-laki? Jawab Laila: sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian … Tiba-tiba aku ingin berteriak, tapi kukatup mulutku rapat-rapat karena aku tak ingin kembali bertengkar. Sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis”. (Utami, 1998)

Ayu Utami juga menggugat stereotipe masyarakat tentang hubungan lelaki dan perempuan. “Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 1998)

Dalam ranah teater atau drama, Bisma Al Huseini dari Mesir melakukan pemberontaknnya lewat media teater. Ia seorang aktris yang mencoba melakukan perlawanan kepada cara pandang masyarakat terhadap perempuan yang selama ini sangat stereotipe. Dialah perempuan yang memimpin teater dimana pada awalnya tidak didukung oleh siapa pun. Tetapi ketika ke Beirut, dia menjadi orang besar yang dihargai oleh orang lain sebagai perempuan perkasa yang memiliki cita-cita mulia. Sejak itu posisinya menguatkan perempuan lain untuk ikut berteater sebagai usaha perlawanan mereka.(Bimo Nugroho, 2001)

Penutup

Bahwa perempuan dalam media bisa menjadi obyek yang dieksploitasi, dibentuk dan diciptakan tubuhnya oleh imajinasi keinginan pria, tetapi di lain hal perempuan dapat menggunakan media itu sendiri sebagai sarana resistensi untuk membongkar stereotip bila perempuan itu sendiri bisa menciptakan apa yang benar-benar ia inginkan atas tubuh, jiwa dan pikirannya sendiri.

Perempuan dan Media Massa (1)


Catatan kecil ini ingin ikut serta merayakan Hari Ibu 22 Desember 2003. Di tengah perdebatan apakah nama Hari Ibu bisa mewakili kepentingan semua perempuan, termasuk juga bagi perempuan yang secara biologis belum menyandang predikat ibu, tulisan ini justru ingin memperbincangkan konstruksi makna ibu dalam media massa kita, dengan mengambil kasus lama yang terjadi di tahun 1997. Hari Ibu 1997 telah “dicemari” dengan ditemukannya banyak mayat calon bayi akibat aborsi ilegal. Sebagai akibatnya, hujatan panjang di media massa pun diarahkan kepada perempuan. Artikel mengenai buruknya perilaku perempuan yang adalah calon ibu marak di koran-koran baik nasional maupun lokal. Dan biasanya, ketika perempuan yang dihujat, maka laki-lakilah yang menjadi penghujatnya, sehingga dari lima artikel yang disoroti dalam tulisan ini, hanya satu yang ditulis oleh perempuan.

Media massa yang mengeksploitasi peristiwa tersebut rasanya telah memojokkan perempuan. Dengan menarik perhatian publik untuk lebih memperhatikan cerita-cerita yang dibangun media yang lebih mengutamakan cerita kehidupan perempuan pelaku aborsi, klinik-klinik aborsi ilegal, dan bahkan yang tidak relevan sama sekali seperti cerita tentang siapa yang menemukan mayat bayi-bayi malang tersebut, dan bukannya mempertanyakan siapa laki-laki yang bertanggung jawab atas keberadaan calon bayi tersebut, media telah dengan sewena-wena membela kepentingan laki-laki. Karena kita hidup dalam budaya yang tidak memungkinkan kita untuk “bergender netral” seperti yang dikatakan oleh feminist Perancis Susan Bordo dalam artikelnya “Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism” (1990), mana ada media yang juga tidak bergender?(2).

Salah satu dari artikel yang menjadi sorotan dalam catatan ini, misalnya mempertanyakan penolakan perempuan untuk menjadi ibu sementara predikat tersebut masih dianggap sakral,
“Kendati bukan perilaku baru, kabar menghebohkan dari Jakarta soal keberanian sejumlah wanita yang menolak menjadi ibu manusia melalui cara-cara yang menyinggung perasaan sosial … apakah sebutan “ibu” tidak lagi sesakral dan seterhormat yang kita ketahui sehingga mesti ditolak?”(3)
Membaca kalimat tersebut, bagaimana perempuan seharusnya bereaksi? Bagi mereka yang memilih untuk tidak menjadi ibu dengan cara tersebut mungkin akan merasa malu karena perbuatannya sudah dipublikasi. Apakah sebagian yang lain yang menilai sucinya posisi ibu akan tersentuh dengan kenyataan bahwa secara biologis sebenarnya mereka mampu menghadirkan sebuah kehidupan baru tetapi lebih memilih untuk tidak melakukannya? Apakah yang lain akan merasa diobjektifikasi, dituduh, maupun dikorbankan? Tentu saja ada banyak alasan bagi perempuan untuk melakukan aborsi, sebagian mungkin merasa bebas untuk memilih melakukannya sedangkan yang lain mungkin tidak punya pilihan lain. Yang pasti, memilih untuk menjadi atau menolak menjadi ibu tidak hanya berurusan dengan fungsi biologis perempuan saja, tetapi juga kewajiban perempuan untuk menjaga nilai-nilai moral yang dianut lingkungan sosialnya.

Apakah catatan ini sudah demikian prejudis mencurigai adanya konspirasi antara laki-laki dan media massa? Jika dilihat dari perilaku media, rasanya tidak berlebihan untuk meragukan sifat pembebasan media yang selama ini didengung-dengungkan, bahkan dikatakan sebagai senjata kelompok marginal untuk mendapatkan posisinya. Apakah ini karena media massa masih belum kuat betul atau cukup dewasa untuk membebaskan dirinya dari pelukan “diskriminasi gender” yang tiada akhir?(4) Atau memang karena mereka sendiri pada dasarnya bersifat diskriminatif terhadap perempuan?

Jika kita menilik figur angka pelaku media massa, ada suatu pembagian yang sangat tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.(5) Ketimpangan jumlah antara jurnalis perempuan dan laki-laki tentu tidak dengan sendirinya menjawab pertanyaan kenapa media kita begitu seksis. Belum tentu jurnalis perempuan sudah memiliki perspektif gender dalam menurunkan tulisan dan menilai permasalah sosial yang dihadapinya.

Ironisnya, jika media massa di satu sisi mempromosikan nilai-nilai “kesejajaran” antara laki-laki dan perempuan, di sisi lain masih juga menjalankan praktek-praktek obsolit. Di satu sisi, sebagai agen dari propaganda adil gender, media massa memberikan aplaus pada slogan “peran ganda perempuan modern”, di sisi lain mereka menuntut perempuan, sebagai “lawan jenisnya”, untuk tetap tinggal “terdomestikasi” dengan meragukan kemampuan mereka untuk berkarya di dunia publik, tentu saja dengan menggunakan perspektif media massa yang maskulin.
“… kesempatan pun tidak banyak buat wanita untuk berperan di luar rumah. Lalu kembali lagi peran rumah tangga ditekankan.” (6)
Secara arogan, media massa, mengaku memiliki hak untuk menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini, media massa telah menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan penindasan laki-laki terhadap perempuan. Secara sinis (atau karena cemburu?) dan dihantui oleh kontra-hegemoni kultural dan material yang dimiliki perempuan, media menganggap bahwa keberhasilan perempuan di ranah publik tidak lebih sekedar cerita sukses negara untuk mengeksploitasi mereka dalam mendorong pembangunan nasional. Seringkali media massa menulis bahwa partisipasi perempuan di dunia publik hanyalah bukti kejahatan kapitalisme yang mendehumanisasi mereka, bahkan membanting nilai kemanusiaan mereka di bawah nilai-nilai produksi dan pasar.(7) Namun, bukankah diskriminasi gender sudah ada bahkan sebelum era modernisme? Model produksi kapitalisme bukankah “hanya” memanfaatkan ketimpangan gender itu yang kemudian, karena reproduksi pola yang terus menerus, semakin mempertajam segregasi ranah publik-domestik.(8) Hal ini tentu bukan hanya hasil patrimoni dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi lebih merupakan transformasi yang muncul karena keterlibatan semua faktor ini yang terus direproduksi karena telah terbukti menguntungkan sebagian pihak yang kebetulan semakin berkuasa. (9)

Pada saat media massa menghujat peran perempuan bekerja, mereka memuja-muja peran ibu sebagai faktor penentu dari masa depan bangsa dengan mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi era tinggal landas. Gagasan bahwa rumah tangga adalah urusan perempuan, walaupun kedengaran tidak sesuai dengan slogan kesejajaran, tentu saja didukung oleh institusi yang bernama negara, karena pembagian posisi peran laki-laki dan perempuan yang jelas dan tertib bisa mendukung suksesnya program-program pemerintah. Tarik ulur antara meraih dunia publik dan mempertahankan dunia domestik, betapapun dikotomi publik-domestik masih bisa diperdebatkan, bisa jadi membingungkan perempuan dalam menentukan posisi mereka. Apakah mereka harus kehilangan hak-hak istimewa (privilege) yang sudah terlegitimasi hanya untuk satu posisi yang tidak jelas jika mereka harus memasuki dunia asing yang dinamakan ranah publik?
“Peradaban milenium ketiga hanya bisa berharap agar kaum wanita memilih untuk tidak gagal menjadi ibu anak-anak zaman."(10)
Karakterisitik media massa yang manipulatif seringkali juga merugikan perempuan jika kasus-kasus yang diangkat melibatkan perempuan. Dalam mengenangkan kasus Marsinah, tahun 1993, masyarakat, terutama “kaum perempuan” dan “kaum buruh” (workers and women)(11), berterimakasih kepada media massa karena mereka telah secara terus menerus melaporkan kasus tersebut dan menarik perhatian internasional terhadap stigma tersebut. Mereka telah membawa nama Marsinah ke posisi terpopuler dan paling banyak dibicarakan hanya setelah kematiannya. Namun penulis berpikir, apa yang terjadi jika Marsinah tidak terbunuh? Atau pertanyaan yang lebih seksis, bagaimana jika Marsinah bukan seorang perempuan melainkan laki-laki? Bukan Marsinah tetapi Marsono? Apa yang sebetulnya menarik perhatian media massa tentang skandal ini? Apakah pembunuhannya, apakah isu gendernya, konflik kelas, atau karena kecurigaan adanya praktek-praktek kekuatan politik di belakang pembunuhan ini?

Media massa telah mengeksploitasi seluruh kehidupan masa lampau Marsinah, mencampuri kehidupan keluarganya, teman-teman, pacar, tetangga, dan meramu serta menyajikan semua ini dengan terminologi-terminologi politik yang susah dipahami. Kita mungkin tidak pernah tahu apakah sikap kritis Marsinah adalah perwujudan dari kesadaran politisnya atau hanyalah pertahanan dirinya menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Media massa menggunakan “kematiannya” dan bukannya kehidupannya yang singkat sebagai bahan berita, karena siapa dia sebelum kematiannya bukanlah “berita yang pantas dipublikasikan”. Reproduksi berita-berita dan spekulasi media massa yang ditampilkan secara berulang-ulang telah menghasilkan versi-versi yang semakin fantastis. Alhasil media massa telah menciptakan skenario mereka sendiri tentang perang gender yang tidak pernah berakhir.

Tidak terelakkan juga analisa politik bahwa pembunuhan Marsinah ini adalah panggung cerita konflik antara laki-laki yang direpresentasikan oleh orang-orang yang berkuasa sebagai “pembunuh” dan perempuan diwakilkan oleh Marsinah sebagai “terbunuh”. Siapakah yang memenangkan kontes ini? Nampaknya justru media massa, peserta kontes yang tidak terdaftar, atau juri, yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk bagaimana cerita harus berakhir. Akhir cerita berubah menjadi kabur dan hanya media massa yang sadar akan substitusi antara apakah yang sesungguhnya (real) dan reproduksi dari yang sesungguhnya (hyper-real). Ketika cerita-cerita tentang buruh perempuan menampilkan nama-nama lain, media massa-lah yang melahirkan “reproduksi” dari sosok Marsinah.
Dalam ketimpangan relasi gender inilah, perempuan ditantang untuk menentukan posisinya, apakah mau secara naive terbawa arus dan mempertahankan “hegemoni kultural” yang terus-menerus dan mendapatkan penghormatan sebagai “ratu rumah tangga”, atau sebaliknya bersikap radikal manghadapi ketidakadilan ini dan dengan sadar menerima label “pemberontak”. Sayangnya, perempuan seringkali menjadi kikuk dan rapuh menghadapi semua tantangan ini. Dengan malu-malu mereka mempertontonkan pencapaian mereka dan menentukan sendiri standar keberhasilannya, meminta-minta pengakuan dari laki-laki, dan pada akhirnya meminta penghargaan dalam bentuk fasilitas untuk menstimulasi keberhasilan yang lebih baik lagi.(12) Secara tidak sadar hal ini mempertahankan “ketergantungan terwariskan” pada perempuan terhadap laki-laki.
“Memperingati hari yang sering disebut hari permuliaan kaum ibu ini, adalah saat yang paling baik untuk berterima kasih atas jasa-jasa ibu dalam melaksanakan tugas kodraatinya, yakni hamil, melahirkan, menyusui. Perwujudan dari rasa terima kasih itu bisa berupa pemberian kesempatan untuk berkarya cipta seperti kaum pria.” (13)
Bukanlah pernghargaan maupun pengakuan yang seharusnya diminta perempuan, melainkan “ruang” yang dapat membantu perempuan menjadi tumbuh, dewasa dan berpikir lebih rasional dengan kesadaran mereka sendiri. “Ruang” dimana mereka bisa belajar memahami pengalaman mereka, tidak hanya pengalaman yang sama melainkan juga yang berbeda-beda dan personal. Namun demikian, justru pembagian “ruang” inilah satu-satunya gagasan yang masih susah untuk diserahkan oleh laki-laki, tidak tanpa dominasi. Sama susahnya untuk merelakan 30% posisi calon legislatif pada perempuan. Hanya melalui kesadaran inilah, apapun yang mereka lakukan, perempuan mampu untuk membebaskan diri mereka dari “alienasi” terhadap tubuh dan kehidupannya sendiri.(14)

Media massa, sebagai penerus aspirasi masyarakat, jika tidak diskriminatif gender sebetulnya adalah alat yang bisa diandalkan bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Apalagi di era reformasi sekarang ini, dimana media massa mempunyai akses bebas terhadap sumber-sumber berita dan kebebasan mengemukakan gagasannya. Harapannya adalah, jika isu yang sama muncul kembali, semoga saja ada lebih banyak suara yang mendukung, atau setidaknya empati terhadap perempuan. Sebab, kasus aborsi tidak bisa dipisahkan juga dari perilaku laki-laki.

Namun, dengan melihat begitu banyaknya kejadian yang menimpa perempuan sepanjang tahun ini saja, enam tahun sejak kasus aborsi masal tersebut meledak, mulai dari kasus TKW sampai dengan pornografi, dan kecenderungan media massa untuk menampilkannya dalam berita dengan bahasa-bahasa dan analisa yang melecehkan dan tidak berpihak pada perempuan, semoga tulisan ini tidak terlalu skeptis dan pesimis dengan menanyakan satu pertanyaan akhir yang belum juga terjawab, yaitu jika “medianya” saja sudah tidak sensitif gender, apakah mungkin “pesannya” menjadi lebih adil terhadap perempuan? Dan satu lagi, bukankah Hari Ibu intinya memperingati semua perempuan, dan bukan hanya yang telah dan bersedia menjadi ibu saja?

Transseksual, Minoritas yang Terlupakan


BENARKAH Mbak Dorce Gamalama melawan kodrat? Pertanyaan ini mungkin timbul dalam hati saat membaca wawancara Kompas dengan artis Dorce (Kompas, 27/7/2003). Pada tanggal yang sama, Suara Pembaruan Minggu mengetengahkan kisah Liz Riley, seorang ayah yang berubah menjadi ibu.
ADA orang yang terlahir lelaki namun sejak kecil merasa dirinya perempuan sehingga mereka hidup layaknya perempuan. Contohnya, dalam wawancara dengan Kompas, Mbak Dorce mengungkapkan bahwa ia sejak kecil merasa dirinya perempuan. Liz Riley terlahir lelaki, bahkan ia sempat kawin dan memiliki anak, namun ia selalu merasa dirinya perempuan, sehingga akhirnya memutuskan untuk hidup sebagai ibu.
Sebaliknya, ada juga orang yang terlahir perempuan tetapi merasa dirinya lelaki sehingga mereka hidup sebagai laki-laki. Contohnya Brandon Teena, yang hidupnya dikisahkan dalam film pemenang Oscar, Boys Don’t Cry. Contoh lainnya Billy Tipton, musisi jazz Amerika, yang dikenal sebagai lelaki ramah, suami dari empat istri, dan ayah bagi sejumlah anak. Namun, ketika ia meninggal, petugas jenazah mendapati ia memiliki alat genital wanita.
Mereka merupakan contoh kaum transseksual. Ada yang disebut male-to-female transsexual (MFT), yaitu transseksual dari lelaki ke perempuan. Sebaliknya, Brandon Teena dan Billy Tipton disebut female-to-male transsexual (FMT), yaitu transseksual dari perempuan ke lelaki.

Hakikat transseksual
Selama ini alat kelamin fisik, berupa alat reproduksi, sering dianggap satu-satunya penentu perilaku jenis seseorang. Padahal, masih ada variabel lain, yaitu identitas jenis kelamin (sex identity) atau identitas jender, yang ditemukan pada tahun 1972 oleh Money dan Erhardt setelah meneliti ratusan individu. Menurut Kessler dan McKeena, dalam Gender: An Ethnomethodological Approach (1978), identitas jenis kelamin adalah perasaan mendalam atau keyakinan dalam batin seseorang yang membuatnya merasa sebagai lelaki atau perempuan. Dengan kata lain, identitas jenis kelamin adalah keyakinan mendalam pada seseorang tentang apakah dia itu pria atau wanita.
Sex identity, yang dapat disebut jenis kelamin jiwa, semata-mata tergantung dari perasaan orang bersangkutan dan tidak selalu sejalan dengan penilaian orang, pakar sekalipun. Jenis kelamin jiwa merupakan variabel mandiri terhadap seks fisik, artinya dapat sejalan atau bertolak belakang dengan kelamin fisik. Jenis kelamin jiwa mulai tertanam pada usia dua tahun, namun biasanya mulai disadari dengan kuat menjelang remaja.
Mayoritas warga memiliki sex identity sesuai dengan jenis kelamin fisiknya. Namun, transseksual memiliki sex identity berbeda dari seks fisiknya. Jadi, MFT bertubuh lelaki tetapi merasa dirinya perempuan. Sebaliknya, FMT bertubuh perempuan namun merasa dirinya lelaki (bukan sekadar tomboi, karena seseorang yang tomboi, sekalipun berperilaku kelaki-lakian, masih tetap merasa perempuan). Karena itulah, MFT berperilaku sebagai perempuan. Masalahnya, masyarakat sering menyalahkan, mengapa orang yang terlahir laki-laki sampai merasa dan berperilaku sebagai perempuan dan sebaliknya pada FMT.
Sebelum sex identity ditemukan, para pakar menganggap transseksual merupakan orang abnormal yang perlu disembuhkan dengan aneka terapi, termasuk kejutan listrik. Namun, kini disadari bahwa sex identity lebih kuat daripada kelamin fisik. Karena itu, jika seorang transseksual diminta menyelaraskan perilaku dengan bentuk fisiknya, yang lebih banyak terjadi bukan perubahan perilaku, melainkan perubahan fisik.
Penyebab transseksual belum dapat ditentukan secara pasti. Sebagian menduga pengaruh hormon dalam kandungan. Misalnya, kekurangan testosteron pada janin dengan kelamin fisik lelaki dapat menyebabkannya memiliki kelamin jiwa perempuan. Sebaliknya, kelebihan testosteron pada janin dengan kelamin fisik perempuan dapat menyebabkannya memiliki seks jiwa lelaki. Namun, sebab sebenarnya masih merupakan misteri.
Variabel yang juga menentukan perilaku adalah orientasi seks, kecenderungan mencari pasangan. Umumnya, transseksual tertarik terhadap lawan jenis sehingga mirip warga masyarakat umumnya. Namun, ada juga transseksual yang tertarik kepada kaum sejenis. Contohnya Julie Peters, politisi Australia, yang terlahir sebagai lelaki tetapi memiliki sex identity perempuan. Setelah usia 40 tahun Julie memutuskan menjalani operasi dan menjadi perempuan. Namun, Julie mengaku tetap tertarik kepada perempuan.

Lorong kegelapan?
Seorang bijak pernah mengatakan, "Apakah gunanya seseorang mendapatkan seluruh dunia tetapi kehilangan dirinya sendiri?" Banyak orang mengamini sabda tersebut, tetapi tidak mau menerima bahwa bagi transseksual, diri sendiri itu adalah jati dirinya sesuai dengan sex identity yang dimiliki. Dengan demikian, transseksual yang terpaksa menutupi atau mengingkari jati dirinya bisa saja kelihatan sukses, tetapi dari hari ke hari ia hidup dalam kehampaan, karena mendapatkan dunia tetapi kehilangan dirinya sendiri.
Sungguh beruntung jika seorang transseksual diterima lingkungannya, baik keluarga, sekolah, pekerjaan, maupun masyarakat. Namun, sebagian besar transseksual masih belum diterima lingkungannya, bahkan oleh keluarganya sendiri. Para transseksual ini terpaksa memilih satu di antara dua pilihan yang sama pahitnya, yaitu terbuang dari lingkungannya atau berpura-pura menutupi jati dirinya.
Pada pilihan kedua, seorang MFT, yang memiliki jati diri perempuan, akan berpura-pura menjadi "lelaki biasa", agar diterima lingkungannya. Namun, ia akan hidup dalam tekanan batin yang luar biasa dan tiada hentinya. Selagi mayoritas warga bangsanya mensyukuri nikmatnya hidup di alam kemerdekaan, banyak transseksual belum dapat merasakan apa makna kemerdekaan itu sesungguhnya. Jutaan transseksual hidup dalam lorong kegelapan, menunggu kapan sinar terang akan muncul pada akhir lorong tersebut.
Masyarakat demokratis mensyaratkan asas pluralisme dan egalitarianisme. Setiap orang, sekalipun berbeda, mendapat perlakuan sederajat, sejauh yang bersangkutan tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Kaum transseksual hanyalah orang yang berbeda, yaitu pada identitas seksualnya. Seyogianya, perbedaan ini tidak dijadikan dasar untuk meminggirkan atau mendiskriminasikan mereka, sebagaimana masyarakat juga tidak boleh mendiskriminasi orang yang berbeda warna kulit, keyakinan, atau status sosialnya.
Di lain pihak, kaum transseksual perlu menghindari perilaku yang menimbulkan citra negatif, seperti berdandan terlalu mencolok, memperlihatkan obsesi berlebihan terhadap lelaki, dan menjadi pekerja seks komersial. Penting sekali agar para transseksual dapat membangun citra yang positif, di antaranya lewat prestasi, seperti telah diperlihatkan Mbak Dorce dan mendiang Billy Tipton.
Semoga seiring dengan meningkatnya pemahaman, masyarakat dapat menerima dengan wajar kaum transseksual, baik yang telah operasi maupun belum, sesuai jati diri yang mereka miliki, agar mereka dapat berdarma bakti secara optimal. Negeri ini sedang dilanda krisis multidimensi dan untuk mengatasinya diperlukan kerja sama seluruh komponen bangsa. Lebih dari itu, Prof Vern Bullough dari California State University, dalam "Transgenderism and the Concept of Gender" (International Journal of Transgenderism, Special Issue, tahun 2000), menyatakan pemahaman terhadap kaum transseksual akan bermanfaat besar untuk memahami konsep jender secara lebih komprehensif, hal yang sangat diperlukan guna membangun masyarakat dunia yang lebih manusiawi.