Tampilkan postingan dengan label Makalah Manajemen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Manajemen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Maret 2011

Corporate Inertia

Dalam berbagai kesempatan, saya sering menggambarkan transformasi suatu organisasi itu seperti kita mengayuh sebuah sepeda tua. Kalau kita mengayuh sepeda, awalnya pasti akan terasa berat. Sekayuh-dua kayuh, satu putaran roda, dua putaran, tiga putaran, makin lama kayuhan kita menjadi makin ringan seiring makin lajunya gerak sepeda. Dan akhirnya, jika si sepeda sudah mencapai kecepatan puncaknya, kayuhan itu menjadi demikian ringannya seperti mengayuh udara hampa.
Transformasi kira-kira berlangsung seperti itu. Awalnya memang amat berat dan sulit, tetapi begitu bergulir sepertinya semuanya menjadi gampang. Bahkan, kita akan menghadapi suatu kondisi point of no return, yaitu transformasi organisasi bergulir dan melaju tak mengenal berhenti.
Kalau demikian adanya, tantangan terberat sebuah proyek transformasi berada di awal ketika kita memulainya. Mengapa demikian? Sebab, biasanya, pada saat-saat awal ini status quo sistem dan paradigma lama sudah begitu mengeras sehingga sulit dicairkan dan secara psikologis orang-orang merasa berada dalam comfort zone sehingga mereka umumnya memiliki sense of crisis  yang rendah. Kalau sudah begini, biasanya penolakan (denial) dan resistensi (resistance) dari orang-orang di dalam organisasi untuk berubah menjadi sangat tinggi.
Celakanya, proses awal transformasi ini adalah momentum yang sangat penting dan kritikal bagi bergulirnya proses transformasi berikutnya. Begitu gagal di awal, jangan harap kondisi point of no return yang saya uraikan di depan bisa berlangsung. Proyek transformasi yang digulirkan akan berjalan merayap, terkatung-katung, moral dan energi orang-orang di dalam organisasi akan melempem, dan kondisi terjeleknya adalah organisasi akan set back, kembali ke status quo awal. Itu artinya transformasi jalan di tempat.
Inertia
Selama beberapa bulan terakhir, saya sedang melakukan riset menelusuri proses transformasi bisnis dan organisasi di Bank BNI. Dari telusuran tersebut, kebetulan tantangan kondisi serupa dihadapi bank ini. Sudah 60 tahun Bank BNI menikmati privilege sebagai bank besar yang dibanggakan negeri ini. Kalau kita tengok sejarah, bank ini bahkan pernah menjadi bank sentral. Setelah beralih fungsi menjadi bank komersial dan akhirnya bank umum, peran BNI dari era ke era selalu menonjol. Sebelum era Paket Kebijakan Oktober 1988, BNI adalah pemain utama dalam industri perbankan nasional. Sedemikian kuatnya BNI sehingga  tak pernah risau dengan keberadaan para pesaing. Sebabnya jelas, dari sisi kapabilitas dan pengalaman, BNI waktu itu jauh lebih unggul karena telah begitu lama tahu seluk-beluk perbankan dan mendapat kepercayaan besar dari masyarakat. 
Saya menyebut BNI waktu itu dihinggapi “penyakit” corporate inertia. Kemasyhuran dan kesuksesan yang diperoleh menjadikannya “lembam” (inert). BNI sulit sekali melupakan kesuksesan masa lampau. Ketika keran regulasi dibuka, ketika pesaing mulai berebut masuk, ketika nasabah sudah makin canggih, ketika lanskap industri perbankan beranjak dari tenang setenang “kanal” menjadi demikian ganas seganas “samudra”, seluruh jajaran BNI masih terbuai oleh indahnya kisah-kisah kesuksesan masa lalu. Mereka telanjur hanyut dalam zona kenyamanan (comfort zone). Mereka telanjur terjebak dalam complacency trap. Mereka telanjur sulit berubah.
John Kotter, seorang pakar transformasi organisasi dari Harvard Business School, mengatakan bahwa organisasi yang terkena penyakit “mematikan” ini memiliki beberapa ciri berikut. Orang-orang di dalam organisasi tidak melihat sedikit pun adanya tekanan dan ancaman yang datang, sehingga tak ada sense of urgency, tak ada sense of crisis. Everything is fine. Tak ada tanda-tanda PHK. Tak ada tanda-tanda kebangkrutan. So what gitu loh! Ngapain harus berubah? 
Penyakit corporate inertia itu terus saja berlangsung sampai akhirnya prahara pun datang. “BNI kebobolan Rp1,7 triliun!!!” Begitu kira-kira headline koran-koran nasional pada medio Desember 2003. Kasus fraud ini menyentak kalangan dunia perbankan waktu itu karena telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar. Buntut dari peristiwa ini, manajemen BNI pun dirombak total. Manajemen lama digantikan oleh manajemen baru di bawah kepemimpinan Sigit Pramono.
Strategic Reason
Kasus fraud ini sesungguhnya bukanlah peristiwa istimewa karena peristiwa semacam sudah sering terjadi sebelumnya. Ingat, misalnya, kasus Bank Duta dan Bapindo. Namun, manajemen baru BNI melihatnya secara lain. Mereka melihat kasus ini merupakan titik nadir dari kumulasi memburuknya kinerja bank ini selama bertahun-tahun sebelumnya sebagai dampak dari adanya complacency trap. Manajemen melihat kasus ini merupakan puncak dari mengganasnya penyakit corporate inertia yang tak bisa ditolerir lagi.
Bagi manajemen baru, kasus LC Rp1,7 triliun merupakan tip of the iceberg dari sekian banyak persoalan mendasar yang dihadapi BNI. Di luar kasus tersebut, sesungguhnya BNI menghadapi beragam persoalan yang selama ini tidak dirasakan dan tak dipedulikan. Beberapa persoalan itu, di antaranya, adalah menurunnya produktivitas kerja, pengelolaan risiko yang kurang prudent, menurunnya kualitas layanan, kurangnya daya dukung teknologi dan infrastruktur, dan, terakhir, yang amat mendesak untuk dituntaskan adalah persoalan melapuknya budaya kerja karyawan. 
Bertolak dari situ,  manajemen baru kemudian menjadikan peristiwa ini sebagai momentum untuk turnaround, titik awal untuk melakukan transformasi secara menyeluruh. Kalau digambarkan sebagai gelas yang setengahnya terisi air, manajemen baru melihat kasus ini secara lebih optimistis, dengan menganggapnya sebagai gelas yang setengah penuh, bukan gelas yang setengah kosong.
Oleh karena itu, Sigit Pramono, dalam sebuah wawancara dengan penulis, mengatakan bahwa kasus fraud ini adalah masalah yang sangat fatal bagi BNI, tetapi sekaligus juga berkah. Mengapa berkah? Sebab, kalau tak ada peristiwa ini, barangkali BNI akan terus saja tertidur pulas di dalam complacency trap, terus tenggelam dalam lingkaran kemunduran (vicious circle) yang kian dalam, dan terus hanyut dalam kemalasan struktural untuk berubah.
Peristiwa ini justru krusial bagi manajemen baru karena bisa menjadi strategic reason bagi BNI untuk memulai langkah-langkah turnaround.

CEO dan SEO

Anda tentu tahu apa itu CEO, CIO, CFO, atau CMO, jabatan idaman banyak eksekutif. Cuma, apakah Anda tahu apa itu SEO? Pada era global ini, seorang CEO harus menerapkan SEO.
Mengapa SEO?
SEO adalah search engine optimization. Ia merupakan keahlian advertising untuk mengoptimalisasi halaman-halaman web guna membantu penjualan.  Visibilitas SEO meningkat karena adanya direktori bisnis di internet. Maka, SEO akan menjadi komoditas penting dan dapat menghasilkan revenue dalam waktu yang sangat singkat (short-term).
Penerapan SEO memiliki tingkat return on investment (ROI) yang baik. Ia juga salah satu taktik untuk memenangkan bisnis lokal lewat media global (think local, go global).
Sebagai taktik pemasaran strategis, SEO banyak diterapkan pebisnis berbasis web maupun promosi online. Siapa yang sudah terkoneksi ke internet dan tak menggunakan situs pencari untuk mencari informasi? Penggunaan situs pencari merupakan aktivitas tersibuk setelah e-mail dan browsing. Alangkah sedapnya jika produk Anda muncul di halaman pertama setelah calon pelanggan mengaisnya lewat situs pencari.
Memang, bisnis yang dapat dilihat lewat kotak berukuran 15—21 inci sangat miniatur jika dibandingkan dengan standar perkantoran modern secara fisik. Namun, ukuran bukan intinya. Sebab, kotak kecil itu dapat menjadi jendela peluang yang belum pernah para pebisnis bayangkan sebelumnya.
Salah satu karakteristik ekonomi online adalah fakta bahwa internet telah menjadi ruang bersama oleh lebih dari 1/4 populasi planet bumi. Ini sekaligus memungkinkan terciptanya lingkungan yang berisi informasi yang dapat dikirim transbenua.
Berbisnis di era ekonomi internet, ilustrasinya begini. Internet adalah marketplace, ruang di mana kita bisa berbisnis. Forum online-nya bak ruang pamer, mirip dengan berkumpulnya para pedagang di mal-mal. Walau bisnis dotcom sempat crash, kini pemenangnya terus bertambah dan internet menjadi salah satu sektor yang paling cepat perkembangannya. Ia menjadi jalur utama para pengusaha muda untuk go global dan bahkan get local sales.
Namun, seiring perkembangan dotcom, internet sebagai marketplace pun menjadi makin rumit. Mereka yang berhasil adalah yang memiliki spesialisasi, keunikan mikro (niche), dan menerapkan strategi outsourcing.
Lihat saja kasus perusahaan-perusahaan web design yang sukses di Tanah Air. Mereka lebih baik berpaling ke pihak ketiga untuk menyediakan shopping cart yang dapat dikustomisasi untuk kliennya ketimbang harus mengembangkannya sendiri. Waktu yang ada lebih baik mereka gunakan untuk melakukan pemasaran. Pihak ketiga ini bisa perusahaan atau individu yang dapat memberikan jasa SEO kepada vendor pertama. Jasa SEO ini makin berkembang di Indonesia, khususnya untuk CEO yang masih berusia 30-an tahun. Jadi,  antara perusahaan web design dan penyedia aplikasi web atau perusahaan yang menyediakan jasa SEO sama-sama mendapatkan manfaat dari hubungan resiprokal yang baik serta bertahan sekarang dan di masa depan.
SEO, Sales Tool Online No. 1
Perusahaan apa saja yang berhasil meningkatkan penjualan dengan bujet iklan yang minim?
FoxElectricSupply.com
Ini adalah supermarket penyedia peralatan listrik yang memiliki tujuh gerai di AS—tiga di Pennsylvania dan empat di New Jersey. Dengan strategi SEO, supermarket ini berhasil menaikkan penjualan online-nya. Supermarket ini memiliki lebih dari 11.000 produk. Setelah eksekutifnya, Bruce Fox dan Jonathan Fox, menerapkan taktik gerilya online dengan SEO, penjualan online-nya naik hingga lebih dari 300% per hari. Ini karena semula hanya 100 produk yang diindeks Google, tetapi setelah menerapkan SEO menjadi seluruh produk yang diindeks. Jadi, 400% penjualan per bulan dapat diraih hanya lewat situs web-nya, belum termasuk penjualan di gerai-gerai.
Salvatore-Espresso.com
Ini perusahaan penjual mesin dan aksesori mesin pembuat kopi espresso/cappuccino di California. Membidik para pelanggan yang ingin membeli mesin-mesin espresso, Salvatore-Espresso.com menjadi salah satu pemain dengan bujet promosi yang minim. Strategi SEO-nya adalah dengan membidik satu atau dua kata yang mewakili mesin-mesin yang mereka jual, seperti espresso grinders, espresso machines, espresso catering carts, cappuccino machines, dan sejenisnya. Frase kompetitif ini menempatkan mereka dalam kelompok 10 besar di halaman pertama dari direktori bisnis atau situs pencari utama dunia.
MediaRecover.com
Mereka menerapkan strategi SEO dalam membantu menjual software recovery untuk data multimedia yang rusak. Data itu bisa disimpan di kamera digital dan hard disk, SmartMedia, CompactFlash, Memory Stick, MicroDrive, PCMCIA, PC Card, MultiMediaCard, Secure Digital Memory Card, zip disk, floppy disk, hard drives, dan media penyimpan lain. Perangkat lunak ini sanggup memulihkan file-file yang terhapus secara tidak disengaja atau sengaja. Peningkatan penjualan MediaRecover karena mereka mampu memilih kata atau frase yang mewakili produk mereka dan memiliki probabilitas sangat tinggi pada waktu dicari oleh calon pembeli, seperti digital photo recovery, photo recovery, image recovery, image recovery software.
Mengapa CEO Indonesia Harus Melakukan SEO?
Siapa dan perusahaan apa saja di Tanah Air yang mendapatkan keuntungan finansial karena memastikan produknya muncul di halaman pertama dari situs pencari?
Sebenarnya ada banyak kisah sukses dari individu atau korporasi, yang saya kenal secara pribadi, karena memanfaatkan media global untuk menjaring pelanggan lokal. Saya tidak bisa menyebutkan satu per satu karena terkait masalah publisitas.
Menurut ActivMedia Research, jika produk Anda ditaruh di web perusahaan dan muncul secara alami (Lihat kolom saya tentang organic listing advertising di majalah ini), itu telah menjadi metode promosi No. 1 yang digunakan oleh web e-commerce. Namun, menurut saya, situs pencari adalah wiraniaga No. 1 pada era ekonomi internet, baik untuk 2005 maupun tahun-tahun mendatang.

Kalau suatu situs web korporat belum bisa membantu menuai penjualan dan membangun online identity, maka banyak faktor teknis dan strategis yang terkait, terlepas dari mitos yang salah kaprah berkenaan implementasi SEO dan strategi online secara keseluruhan. Namun, satu hal, apakah Anda menyangsikan efektivitas Yellow Pages? Banyak perusahaan berani membelanjakan uangnya agar perusahaan atau produk mereka di-listing di situ. Jika Anda setuju dengan efektivitas Yellow Pages, yang tebal dan sulit dibawa ke mana-mana, Anda mestinya setuju: CEO Indonesia harus menerapkan  taktik gerilya SEO menjelang akhir 2005.

Inspirasi Peter Drucker

“There is no new economy. The internet greatly extends the old economy,”  ujar Peter Drucker. Hal ini diucapkan Drucker pada saat para venture capitalist sedang menciptakan hype dan janji-janji baru bahwa new economy adalah bisnis internet. Saat itu prediksi-prediksi yang tak masuk akal sedang menjejali para pebisnis yang sedang terkagum-kagum pada keajaiban yang dijanjikan bisnis dotcom. Namun, Peter Drucker-lah, pakar manajemen kelahiran 1909, yang berhasil memberikan penjelasan yang lebih memadai tentang the new way of doing business.
Hebatnya, Drucker telah berpikir tentang dahsyatnya teknologi komputer akan mengubah dunia bisnis secara radikal sejak tahun 1950-an. Bayangkan, bos Microsoft Bill Gates—yang secara riil banyak mengubah cara berbisnis dengan teknologi komputernya—saja baru dilahirkan pada tahun 1955. Bahkan, pada saat itu juga Drucker telah melahirkan istilah “knowledge worker”. Tak heran kalau dia sempat dijuluki  “Pakar bisnis yang pendapatnya tetap segar dan mampu mendahului zamannya”.
Yang istimewa, Drucker mampu memahami dunia bisnis tanpa pernah sekali pun dia terlibat dalam dunia bisnis itu sendiri. Walaupun cukup banyak perusahaan yang pernah mencoba mengontraknya, Drucker dengan halus menolak, untuk mempertahankan objektivitas dan  kredibilitasnya. Ketidakmauannya terlibat secara langsung ke dalam dunia bisnis inilah yang menyebabkan pada akhirnya Drucker berkembang menjadi guru manajemen kelas dunia.
Pemahaman manajemen Drucker sendiri dimulai pada saat cara kerja di perusahaan masih ditandai  oleh mandor-mandor yang galak versus serikat buruh yang kuat. Di mana saat itu banyak perusahaan AS yang mencoba meningkatkan produktivitas dengan cara menakut-nakuti dan mengintimidasi. Di era “kegelapan manajemen” inilah Drucker mulai memetakan pentingnya manajer, bagaimana memotivasi orang, dan, ujung-ujungnya, bagaimana meningkatkan value perusahaan.
Perubahan terbesar Drucker terjadi pada tahun 1942, ketika ia—yang saat itu menjabat sebagai profesor politik dan filosofi di Bennington College di Vermont—mengeluarkan buku The Future of Industrial Man. Saat itu bukunya banyak dikritik karena dianggap mencampuradukkan masalah ekonomi dengan social science. Untungnya bos General Motors (GM), Alfred P. Sloan, tertarik dengan buku Drucker. Lebih dari itu, Sloan malah kemudian mengundang Drucker untuk mempelajari GM dari sisi dalam GM itu sendiri. Hasilnya adalah sebuah buku legendaris, Concept of Corporation (1946), yang edisi aslinya tetap dicetak sampai tahun 1993. Buku ini juga membuka pasar baru bagi dunia perbukuan, yakni buku-buku yang khusus membahas bisnis, yang sebelumnya tak mendapat tempat di toko buku.
Apa yang relevan bagi dunia bisnis masa kini tentang pemikiran Drucker? “Dunia bisnis pada dasarnya tidak eksis untuk ‘membuat dan menjual benda’, tetapi untuk ‘memenuhi kebutuhan manusia’”. Banyak perusahaan besar yang tetap berjalan hingga sekarang yang memegang teguh prinsip ini. Sebuah prinsip dasar yang kelihatannya gampang, tetapi akan cukup susah membayangkan bahwa dari prinsip yang penuh penghayatan inilah lahir CSR (Corporate Social Responsibility) yang justru “banyak membuang uang” untuk kepentingan perusahaan jangka panjang.
Lebih dari itu, Drucker juga masih mengajarkan bagaimana meningkatkan produktivitas bagi knowledge worker. Inilah cara-cara baru berbisnis di mana “Anda tidak lagi memegang komando seperti seorang jenderal, tetapi harus bekerja melalui aliansi, partnership, kontrak, dan outsourcing”. Bagi seorang penulis seperti saya, barangkali mudah untuk memahaminya. Namun, percayalah, bagi praktisi eksekutif di lapangan, tanpa pelatihan yang memadai, akan susah menjalankan prinsip-prinsip ini pada anak buah Anda.
Tak heran, di tengah banyaknya praktek the new way of doing business akibat revolusi informasi ini, banyak pebisnis yang cemas melihat situasi chaos ini.  Padahal, seperti berkali-kali diucapkan oleh Andy Groove, chairman Intel, kecemasan ini bersifat global. Jadi, justru di sini banyak peluang bagi para pemain baru yang berani. Tidak percaya? Ikut saja e-auction di BUMN yang sekarang banyak ditawarkan. Kalau Anda berani menawarkan harga bersaing, perusahaan-perusahaan raksasa asal AS pun bisa Anda kalahkan. Sebab, “kebutuhan manusia”  di BUMN sekarang adalah dianggap bersih.

R e s p e k

Beberapa waktu yang lalu Saya menjadi pembicara seminar bersama-sama dengan Robby Djohan dan Jalaludin Rahmat. Keduanya adalah orang-orang hebat yang sangat jarang Saya temui. Karya-karya mereka dalam masyarakat luar biasa, murid mereka bertebaran di mana-mana dan jadi semua dan omongan mereka bernas-berisi, maka Saya bukan cuma sekedar bicara, melainkan sekaligus belajar. Pak Robby adalah staf pengajar di UI, dan kalau beliau mengajar, seisi kelas dibuatnya melek sepanjang waktu. Demikian pula dengan Kang Jalal yang sehari-hari mengajar di Unpad. Wajar kalau mereka disegani, sebab mereka bukanlah dosen biasa yang hanya mengambil teori dari buku. Mereka mengambil ilmu dari buku sekaligus dari pengalaman mereka sendiri.
Yang kita bicarakan adalah soal kepemimpinan. Maklum, ada demikian banyak orang yang sudah merasa menjadi pemimpin kala sebuah tanda jabatan disematkan di dadanya, dan ia dilantik oleh pejabat di atasnya. Sementara itu sehari-hari, ia hanya memimpin dengan sebuah buku, yaitu buku peraturan. Ia hanya mau tanda tangan dan menyetujui kegiatan kalau “rule” nya ada di buku. Kata orang ia adalah orang yang jujur dan taat perintah. Praktis hampir tak pernah ada kesalahan yang ditimpakan kepadanya, karena ia adalah orang yang benar-benar taat aturan.
Mereka jumlahnya cukup banyak, dan tentu saja benar bahwa mereka adalah pemimpin, namun yang membedakan mereka dengan yang lain tentu adalah tipenya, sebab untuk menjadi pemimpin dibutuhkan lebih dari sekedar aturan, melainkan juga terobosan dan respek. Sebuah organisasi bisa saja tertib dan teratur, tetapi bisa saja ia mati karena peraturan terlambat merespons perubahan, dan peraturan yang ada bukan lagi diadakan untuk manusia, melainkan manusia untuk peraturan. Lama-lama pemimpin ini akan menjadi tampak seperti orang-orang parisi yang membuat seakan-akan agama diadakan untuk Tuhan, bukan untuk manusia.
Supaya tidak membingungkan, John Maxwell membuat peringkat yang disebut pemimpin. Orang yang dibicarakan di atas benar adalah pemimpin, tetapi baru sekedar pemimpin di atas kertas, yaitu pemimpin level satu. Pemimpin yang sempurna adalah pemimpin level 5, yang disebut Kang Jalal dan Robby Djohan sebagai Spiritual Leader, yaitu pemimpin yang dituruti, karena direspeki. Dengan demikian ada 5P-nya pemimpin yang akan Saya bahas di sini, yaitu Position, Permission, Production, People Development, dan Personhood. Masing-masing “P” tersebut akan berpasangan dengan produknya, yang disebut Maxwell sebagai 5R, yaitu Rights, Relationships, Results, Reproduction dan Respect.
Pada pemimpin level 1, seseorang dituruti semata-mata karena posisinya. Ia duduk di sana karena ia memegang hak tertulis (rights). Orang-orang mengikutinya, karena suatu keharusan. Celakanya, semakin lama ia berada di posisi itu akan semakin mundur organisasi. Organisasi akan ditinggalkan oleh karyawan-karyawan kelas satunya yang menyukai terobosan dan laku di pasar. Sementara itu morale kerja merosot drastis dan image sebagai organisasi yang disegani tak lagi terdengar, malah sebaliknya.
Pemimpin ini sebaiknya segera memperbaiki diri. Ia bisa menapak naik ke level dua, yang disebut permission (sedikit di atas otoritas). Ia tidak melulu mengacu pada peraturan tertulis, melainkan mulai menghargai orang-orang yang melakukan terobosan sebagai warna yang harus diterima. Orang-orang pun senang dan menerima kepemimpinannya bukan lagi semata-mata karena rights, melainkan relationship. Mereka mengikuti karena mereka menghendakinya. Tetapi kalau cuma sekedar relationship saja, dan orang-orang merasa senang maka ia bisa menjadi pemimpin yang populis, yang anak-anak buahnya tidak terpacu untuk maju.
Oleh karena itu, idealnya seorang pemimpin naik lagi ke level tiga, yaitu maju dengan kompetensi dan memberi hasil yang dapat dilihat secara kasat mata. “P” ketiga ini disebut Production, dan orang-orang di bawahnya mau mengikuti kepemimpinannya karena Results, yaitu hasil nyata yang tampak pada kesejahteraan mereka dan kemajuan organisasi. Pemimpin pun senang karena pekerjaannya dengan mudah diselesaikan oleh orang-orang yang dedikatif, bekerja karena momentum. Biasanya level tiga ini berdampingan atau tipis sekali batasnya untuk melompat ke level empat. Ini hanya soal kemauan berbagi saja dan relatif tidak sulit karena hasilnya ada dan bukti-buktinya jelas. “P” ke 4 ini disebut People Development dan hasilnya diberi nama Reproduction. Pemimpin level 4 adalah pemimpin langka yang bukan cuma sekedar memikirkan nasibnya sendiri, melainkan juga nasib organisasi. Ia tidak rela sepeninggalnya ia dari organisasi, lembaga itu mengalami kemunduran, maka kalau ia tak bisa memilih sendiri pengganti-penggantinya, ia akan memperkuat manajer-manajer di bawahnya agar siapapun yang menjadi pemimpin organisasi akan terus bergerak maju ke depan. Tentu saja tidak mudah mendeteksi pemimpin tipe ini selain dari apa yang ia lakukan untuk mengembangkan calon-calon pemimpin. Biasanya kita baru bisa menyebut Anda berada pada level empat kalau Anda sudah pensiun, sudah tidak duduk di sana lagi. Pada waktu Anda meninggalkan kursi Anda, maka baru bisa kita lihat apakah orang-orang yang dihasilkan benar-benar mampu meneruskan kemajuan atau malah mundur.
Tentu saja maju-mundurnya organisasi paska kepemimpinan Anda sangat ditentukan oleh pemimpin berikutnya, tetapi kita dapat membedakan dengan jelas siapa yang membuat ia maju atau mundur.
Baik Robby Djohan maupun Kang Jalal sama-sama mengakui sedikit sekali di antara kita yang benar-benar menduduki kepemimpinan level 5. Kepemimpinan ini oleh Jim Collins disebut sebagai pemimpin dengan professional will dan strategic humility. Kang Jalal menyebutnya sebagai Spiritual Leader yang tampak dari perilaku-perilakunya yang merupakan cerminan dari pergulatan batin dalam jiwanya (inner voice). Orang-orang seperti ini tidak mencerminkan kebengisan, melainkan ketulusan hati. Ia bisa saja mengalami benturan-benturan, tetapi semua itu bukanlah kehendaknya pribadi. Orang yang baik hati seperti Gandhi saja toh ternyata juga dicaci maki dan dibunuh, tetapi satu hal yang jelas, ia diikuti oleh banyak orang karena dirinya dan apa yang ia suarakan. Mereka patuh karena respek. Mereka tahu persis bahwa bahaya terbesar akan terjadi kala mereka mulai populis, yaitu ingin disukai semua orang ketimbang direspeki. Selamat memimpin!

Menyangkal Realita Baru

Saya mohon maaf harus absen mengisi kolom ini beberapa kali. Sejak buku Change beredar, Saya terpaksa harus mempertanggungjawabkan pemikiran-pemikiran Saya kepada publik. Banyak kisah nyata tentang perubahan yang Saya temui dan tentu saja ribuan curhat dari mereka yang rela dicaci-maki demi perubahan. Menjadi Change Maker memang tidak mudah. Surat kaleng, SMS palsu, fitnah, sampai upaya-upaya fisik yang mematikan kerap harus dihadapi. Kepada kelompok ini, Saya hanya bisa mengatakan, Gandhi saja yang wajahnya begitu baik dan perilakunya menyejukkan, mereka bunuh, apalagi Anda yang bukan siapa-siapa.
Persoalan terbesar manusia di era yang berubah ini sebenarnya hanya satu, yaitu tidak berani menerima realita-realita baru. Sebagian besar karyawan, eksekutif dan birokrat yang Saya temui masih terbelenggu pada kisah sukses di masa lalu. Mereka berpikir solusi yang mereka temukan di masa lalu itulah solusi yang sesungguhnya. Buktinya ada, yaitu bonus dan kesejahteraan. Makan siang disediakan dan karyawan bisa bergantian memainkan alat musik. Mengapa kita tidak pakai cara yang sama untuk mengatasi masalah hari ini? Seperti menemui jalan buntu, banyak orang yang tiba-tiba mulai menggunakan kata “Dulu ......” ketika memulai pembicaraannya untuk mengacu ke masa lalu.
Sinar terang yang menyinari suatu usaha bisa berarti manfaat, tapi juga bisa menjadi mudharat. IBM contohnya, sukses dengan komputer mainframe di tahun 70’an membuatnya menyangkal realita baru pasar PC. Motorola bahkan lebih gawat lagi. Setelah sukses dengan celluler analog, ia menyangkal kehadiran digital handphone dengan melakukan investasi-investasi baru pada bidang analog. Xerox juga sempat terengap-engap saat menyangkal kenyataan munculnya pasar personal-copier yang dirilis Minolta, Canon dan Ricoh. Ensiklopedia Britanica juga menyangkal realita baru membaca buku pintar yang diputar oleh Microsoft (Encarta).
Di Indonesia sendiri ada ribuan pelaku usaha yang juga menyangkal realita-realita baru. Teman-teman di perkebunan teh tengah menyangkal kenyataan bahwa masyarakat dunia sudah mulai minum teh tanpa daun teh sama sekali. Sekarang ini, pergulatan terbesar justru tengah dihadapi universitas-universitas negeri. Ada demikian banyak realita-realita baru yang bermunculan dan mereka terus berdebat dengan menggunakan ukuran-ukuran lama untuk menilai hari esok. Mereka menggunakan pengalaman-pengalaman lamanya kala bersekolah yang penuh dengan kesulitan untuk dibingkaikan pada generasi baru yang bergerak dengan cara yang berbeda. Padahal kepada mereka, Albert Einstein pernah menyatakan, “the measure of intelligence is the ability to change” (ukuran kecerdasan Anda adalah kemampuan Anda untuk berubah, menerima kenyataan baru).
Sulit dibayangkan dewasa ini masih ada banyak orang yang hidup di jaman kemarin dan dibiarkan terus mengepalai kegiatan untuk membawa organisasi ke masa lalu, tetapi semua ini juga terjadi karena organisasi dibiarkan dikuasai oleh kalangan “pedalaman” yang sepanjang hari menghabiskan waktunya di dalam kantor tanpa berinteraksi dengan dunia luar sama sekali. Dalam setiap institusi kita dengan mudah membedakan, mana kalangan “pedalaman” dan mana yang “pesisir”. Kalangan pesisir selalu berinteraksi dengan dunia luar, tetapi ia banyak membawa hal-hal baru. Ia lebih mudah menerima fakta-fakta baru. Sebaliknya kalangan pedalaman cenderung memelihara tradisi. Seorang usahawan senior membisiki Saya, sekarang ini, katanya, “tradition is a number one killer!”. Saya pikir ini ada betulnya.

Mendifinisikan Kembali “Value”

Saya sering tidak bisa menjawab pertanyaan wartawan tentang “kehebatan” strategi merek-merek yang sedang popular seperti Mie Sedaap, Lion Air atau Bread Talk. Tidak seperti pengamat lain yang ringan pujian, saya mungkin termasuk pengamat yang penuh kehati-hatian dalam berkomentar. Bukannya apa-apa, mereka masih terlalu dini untuk diberi pujian. Dibanyak Negara, termasuk di sini, lebih dari 60% produk baru hanya bisa bertahan maksimal dua tahun. Dan dalam tempo lima tahun, 80% akan hilang. Mudah-mudahan mereka masuk yang sisanya, yaitu 20% yang bisa lanjut.
Tapi melihat angka itu pun kita masih harus lebih berhati-hati. Pengalaman menunjukkan, 20% yang mampu bertahan bukanlah pelaku usaha yang melakukan “sprint” diputaran pertama lomba lari marathon. Sprinter yang lari melesat diputaran pertama biasanya menarik perhatian, tetapi nafasnya segera habis begitu memasuki putaran-putaran berikutnya. Untuk lari kencang ia membutuhkan dopping yang kuat. Tapi lama-lama doppingnya tidak bisa bekerja lagi dan tubuhnya akan loyo, lalu jatuh.
Kita sudah sering menyaksikan tontonan-tontonan hebat yang tidak “happy ending” Beberapa tahun lalu, publik dikejutkan oleh geliat produk shampoo “Beauty”. Setelah mengobrak-abrik pasar dan mendapat pujian, Beauty hilang tak tentu rimbanya. Konon, persoalan intern menghentikan laju langkah mereka. Kita sering juga pernah melihat keelokkan manuver Sempati Air yang memberikan banyak “Value” kepada customer-nya. Sempati bahkan begitu berani memberi kompensasi berupa denda diri (berupa Voucher) terhadap setiap keterlambatan yang terjadi. Langkah Sempati terpaksa berhenti sebelum go public dengan meninggalkan banyak hutang kala itu. Belakangan ini sejumlah Airlines baru melakukan kesalahan yang sama, grounded justru pada saat memperoleh kontrak-kontrak besar seperti pengangkutan jemaah haji. Di media cetak kita juga pernah menyaksikan gemerlapnya produk-produk terbitan Ika Muda Group (misalnya majalah Mode dan Prospek). Setelah melakukan pembajakan “crew” secara besar-besaran dan melohok pasar secara agresif, mereka pun segera kehabisan nafas dan hilang lagi. Semoga kesalahan-kesalahan ini tidak dialami oleh merek-merek populer yang baru.

Lantas apa biang keladi kegagalan itu semua?
Saya menduga, umumnya pemasar-pemasar baru itu tidak kenal betul marketing strategy yang benar. Barangkali mereka cuma baca berita di Koran, bahwa popularitas merek adalah fungsi dari “value”. Produk-produk diterima oleh pasar karena “value”. Tapi tak banyak yang tahu bahwa value berdimensi sangat luas. Yang mereka baca dari kasus-kasus yang diulas wartawan dan para pengamat adalah celebrity CEO yang mengelola celebrity (popular) brand, yang mengedepankan semata-mata customer value. Bahkan saya mendengar ada product manager yang berani membuang cuma-cuma Rp. 80 sampai 150 miliar untuk merebut customer pesaing-pesaingnya. Mereka sudah tak ubahnya seperti politisi yang baru kenal pemasaran yang “membeli” suara lewat operasi subuh. Maka ketika pemungutan suara harus diulang, tak ada satupun yang kembali.
“Creating Customer Value” pada dasarnya adalah pendekatan pemasaran yang marak pada tahun 90’an. Pendekatan ini lahir sebagai kelanjutan dari kepercayaan bahwa customer adalah raja, dan pesaing adalah “penjahat”. Secara terselubung, nuansa teori PIMS yang mengedepankan pentingnya penguasaan market share sangat dominan dirasakan. Dengan berbagai penelitian, ditemukanlah teknik-teknik seperti experiential marketing, emotional marketing dan sebagainya. Intinya, pemasar didorong memberikan “Value” yang sebesar-besarnya kepada pelanggannya.
Di akhir periode, para pemegang saham tentu akan mendatangi Anda dan bertanya, “where is the beef” (mana untungnya?). Harap diingat “creating customer value” adalah cost dan untuk itu anda harus bijak memainkannya. Kalau karir pemasaran Anda dimulai dari dunia sales, Anda tentu akan banyak mengalami kesulitan memahami ini. Saya banyak menemukan kasus eksekutif yang tidak mampu menghitung HPP (harga pokok penjualan) bahkan menjual produknya di bawah HPP demi mencetak sales dan customer value. Kalau anda menggunakan emotional marketing dan experiential marketing, maka anda tak boleh main di pasar bawah. Consumer harus dipaksa membayar “value” itu, bukan menjadi beban perusahaan.
Dalam, teori-teori pemasaran yang baru, objektif pemasaran memang sudah mulai berubah, dari creating customer value menjadi creating shareholder/ stakeholder value. Value ini tentu saja tidak harus diberikan dan difokuskan semata-mata pada customer, melainkan juga producer, shareholders dan society. Setidaknya ada tiga komponen (driver) yang turut menciptakan Value, yaitu Marketing (khususnya strong brand, customer loyalty, dan differensiasi), organisasi (strong culture, skills, leadership dan proses belajar) serta finance (investasi, pengendalian resiko, cash flow dsb). Maka strategi pemasaran tidak lagi difokuskan pada peningkatan pangsa pasar (penguasaan pasar), melainkan peningkatan dan pengelolaan marketing assets, khususnya intangibles. Pemasaran memang sedang mengalami reorientasi dari semata-mata pemasaran munuju general management.
Dalam hal ini strategic management menjadi penting sekali. Kalau Anda bisa menaikkan customer value maka janganlah bermain diharga murah. Kalau anda bermain diharga murah, yakinlah bahwa Anda bisa bekerja dengan cost structure yang rendah. Kalau anda terus memotong harga, bersiap-siaplah menghadapi reaksi keras dari lawan-lawan anda. Kemampuan berhitung dan berkelana ke seluruh lini manajemen mutlak dibutuhkan. Kalau semua value itu diberikan kepada orang lain, maka perusahaan anda dapat apa? Itulah yang membuat saya berhati-hati menilai Mie Sedaap, Lion Air ataupun Bread Talk. Mudah-mudahan saja mereka panjang usia, berlimpah rezeki dan terus mampu membagi-bagi value dengan benar.