Tampilkan postingan dengan label Makalah Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Sastra. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Maret 2011

Ustaz, Pastor, dan Guru

 MAKNA kata memang bisa dilihat dari berbagai aspek. Ada makna leksikal, yakni makna kata sebagai lambang benda atau peristiwa. Ada makna gramatikal, yakni makna atas dasar hubungan antarkata serta antara kata dan frasa atau klausa. Di samping itu masih ada makna kontekstual, makna konotatif, makna emotif, makna kognitif, makna intensif, makna ekstensif, makna denotatif, makna lokusif, makna luas, makna khusus, dan lain-lain. Dulu makna kata ini oleh para guru kita disebut sebagai arti kiasan dan arti sebenarnya.
Makna kata inilah yang menjadi acuan Ayatrohaédi ketika menulis Ustaz di Kampung Maling di rubrik ini, 5 Maret 2005: "Itu yang kemudian membedakan ustaz, juga pastor dan pendeta (Protestan), dari guru yang berubah menjadi ’pekerjaan umum’." Mang Ayat benar. Makna leksikal ustaz, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah ’guru agama atau guru besar’, memang telah tenggelam oleh makna gramatikal sekaligus kontekstualnya sebagai simbol kebaikan dan kesucian. Status ustaz kini berada di deretan kiai, pendeta, dan pastor yang berbeda dengan guru agama di sekolah umum.
Namun, makna leksikal pastor dan pendeta tetap berbeda dengan ustaz maupun kiai. Dalam agama Islam, siapa saja asal bukan perempuan bisa menjadi imam untuk memimpin salat berjamaah. Dalam agama Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan, dan Katolik tidak semua orang bisa berfungsi sebagai "imam" untuk memimpin ibadah. Itu tugas pendeta dan pastor. Makna leksikal ustaz, pendeta, dan pastor sebaiknya jangan dikacaukan oleh makna gramatikal dan kontekstualnya. Selain karena menyangkut agama yang berlainan dan perbedaan pokok profesi itu, pergeseran makna kontekstual ustaz hanya sebatas sebagai simbol kebaikan. Makna leksikalnya tetap: guru agama. Bukan pemimpin dalam struktur keagamaan permanen.
Makna leksikal pendeta (Hindu, Buddha, Konghocu, dan Protestan) serta pastor (Katolik) terutama adalah sebagai pemimpin agama dan imam permanen, yang jelas beda dengan profesi ustaz. Untuk bisa menjadi imam, pendeta dan pastor harus menempuh jenjang pendidikan tertentu. Untuk menjadi ustaz dan kiai yang merupakan profesi permanen, seseorang memang tetap memerlukan jenjang pendidikan khusus dan pengakuan umat. Namun, untuk menjadi imam dalam salat berjamaah, Islam tidak menuntut adanya status permanen yang diraih melalui pendidikan khusus.
Meskipun sama-sama memiliki persamaan makna leksikal sebagai pemimpin keagamaan dan imam permanen, pendeta dan pastor juga punya perbedaan makna leksikal yang prinsipiil. Pendeta bisa berumah tangga (menikah dan punya anak), sementara pastor tidak menikah. Karena itu, pendeta bisa hidup normal sebagai anggota masyarakat biasa, sementara pastor adalah anggota tarekat yang mutlak hidup di biara, kecuali pastor praja (diosesan) yang bukan anggota tarekat (langsung di bawah keuskupan) sehingga boleh hidup di luar biara. Meskipun begitu, mereka juga tetap tidak menikah.
Status pendeta dan pastor sebagai pemimpin keagamaan permanen sebenarnya sama dengan imam masjid, bukan imam dalam salat berjamaah meski dalam hal ini pun tetap ada perbedaan antara pendeta dan imam masjid dengan pastor. Sebagai anggota tarekat, pastor bisa pindah (dimutasikan) ke mana pun bahkan sampai ke luar negeri, sesuai dengan keputusan pemimpin tarekat. Imam masjid tidak lazim dimutasikan. Ini disebabkan oleh struktur kerucut agama Katolik yang masif dengan Paus dan Vatikan sebagai negara berdaulat merupakan puncaknya. Sementara Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan, dan Islam tidak memiliki struktur kerucut yang masif demikian sehingga relatif lebih "demokratis".
Meskipun makna leksikal guru dalam KBBI adalah ’orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar’, makna gramatikal, kontekstual, dan konotatifnya tetap beragam. Ketika menteri, BJ Habibie menyebut Soeharto sebagai "guru besar". Maknanya pasti bukan makna leksikal sebab Soeharto tak pernah kuliah, apalagi mengajar di universitas. Kalau Nurcholish Madjid disebut sebagai "guru bangsa", maknanya bukan Cak Nur bermata pencaharian mengajar bangsa ini. Bahkan, makna maling dalam Ustaz di Kampung Maling pasti bukan leksikal, melainkan gramatikal, kontekstual, atau konotatif.

Memahami Dusta dan Kebenaran dalam Sastra

Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa selain sebagai dunia rekaan (bukan nyata) dan sebagai dunia refleksi, sastra ternyata juga bisa dikatakan sebagai sebuah dusta. Sastra adalah dusta di dalam dirinya. Dikatakan demikian, lantaran sastra dapat menjadi 'kebenaran' melalui 'pembenaran-pembenaran' yang terjadi secara individual.

Di antara kebenaran dan dusta itu tak ada satu pun prosedur yang memungkinkannya menjadi 'kebenaran' atau 'dusta' massal atau kolektif. Semua bisa terjadi dalam dunia kemungkinan, sebagaimana semua pihak dapat menerima atau menolaknya melalui standar pribadi yang dimilikinya.

Simpulannya, dusta dan kebenaran dalam sastra memang tak terbatas, keduanya sedemikian rupa bias bercampur bagai molekul yang saling melarut. Ketika sastra diminta atau dipaksa mendesakkan dunia rekaannya pada pihak lain, ia berhenti menjadi seni. Mungkin ia berubah menjadi slogan, propaganda, agama, sains, atau ideologi. Dan sastra, tak berdaya untuk itu.

Bahkan dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Radhar Panca Dahana menulis, bahwa jika hal di atas terjadi, maka sastra akan bernasib seperti kotak mainan anak, ia akan tergeletak di pojok, di atas lemari baju, atau teronggok di balik etalase barang elektronik; lusuh dan berdebu, terlupakan, tak terbeli. Begitu lemahkah sastra? Demikian kira-kira Radhar kembali bertanya. Sebuah pertanyaan yang kembali membutuhkan jawaban idealistis, mitologis, romantis atau kadang-kadang terlalu dramatis.

Seandainya pertanyaan itu tidak bergema dan bergayut sekalipun, pertanyaan atas posisi sastra akan senantiasa ada, tak pernah berhenti, tak pernah tuntas, dan tak pernah ada simpulan, penyelesaian, atau batasan-batasan definitifnya. Semua sekadar catatan bahwa manusia memang menjalani sebuah proses untuk menemukan dirinya sendiri, menyempurnakan pemahaman-pemahaman atas dunia, menempatkan posisi yang labil di dalamnya.

Sastra dan pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa berulang dan tujuan sebenarnya adalah untuk menemukan manusia yang ternyata selalu hilang (dalam setiap perubahan zamannya). Semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.
***

Dunia imajinasi yang ditata dalam karya sastra adalah semesta yang menghimpunnya tak hanya 'kesadaran akal' namun juga 'kesadaran batin' dan 'kesadaran badan'. Dunia empirik yang ada padanya tak dapat dijelaskan oleh kategori sehari-hari yang kita pahami, sebagaimana pengalaman batin dan badan takkan pernah mampu kita jelaskan secara menyeluruh. Karakter inilah yang membedakan karya sastra dari produk laboratorium, karya jurnalistik, telaah sejarah, atau penyusunan biografi.

Karena itu, seorang pembaca hendaknya memiliki ancang-ancang sendiri untuk menghadapi karya sastra, karena sekali lagi --semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.

Dan kiranya, pemikiran tentang rekonstruksi manusia serta efek-efek yang ditimbulkannya itu --serta gagasan menarik dari Radhar Panca Dahana tentang kebenaran dan dusta dalam sastra-- akan menjadi menarik apabila lebih dikaji dalam suatu objek kajian.

Barangkali juga merupakan sebuah objek kajian yang menggelitik, bila kita melirik kembali rekonstruksi sebuah naskah sejarah menjadi karya sastra, misalnya --naskah Perang Bubat. Naskah sejarah Perang Bubat merupakan satu contoh bentuk naskah sejarah yang bisa kita lihat, telah banyak mengalami rekonstruksi dari pengarang dalam wilayah kultur berbeda, antara pengarang berasal dari kultur sosial Jawa dan Sunda masih merupakan satu kajian yang tak pernah selesai.

Naskah Perang Bubat sebagai bentuk naskah sejarah ini jelas menjadi naskah karya sastra manakala di dalamnya telah terjadi rekonstruksi oleh pengarang melalui wacana dialog tokoh-tokohnya yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam bentuk naskah-naskah lain, semisal dalam naskah Ken Arok - Ken Dedes-nya Pramoedya. Namun, rekonstruksi seperti itu jelas berbeda dengan rekonstruksi naskah yang berbau sejarah seperti Rumah Kaca, Bumi Manusia, atau lain-lainnya yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah karya sastra.

Rekonstruksi naskah Perang Bubat menjadi menarik karena di dalamnya melibatkan berbagai aspek emosi atas pembelaan terhadap sebuah ras, kesukuan dalam dua kultur: Sunda dan Jawa. Dan sebagaimana kita maklumi juga, bahwa dua kubu suku ini telah mengalami 'keretakan' secara latar sosialnya --karena persoalan yang pernah ditimbulkan dalam Perang Bubat itu sendiri sebagai sejarah.

Dengan demikian hadir berbagai persoalan khususnya yang menyangkut posisi sebuah karya sastra itu sendiri di tengah rekonstruksi yang demikian, juga tanggung jawab seorang pengarang, dan kesiapan seorang pembaca, apakah masih menganggap naskah seperti itu sebagai karya sastra manakala di dalamnya terjalin rangkaian dialog antartokohnya sebagai hasil rekonstruksi pengarang, serta posisi 'dusta' dan 'kebenaran' yang bukan lagi bergerak dalam batas-batas realitas antara sesuatu yang bersifat empiris dan imajis, melainkan sudah melibatkan aspek-aspek subjektivitas pengarang dengan segala bentuk konsekuensinya.

Di sinilah kita mulai memahami, bahwa karya sastra bisa menjadi dusta dan kebenaran. Di sini pula kita mulai memahami bahwa 'dusta' yang sesungguhnya adalah 'dusta' hasil rekonstruksi seorang pengarang dari naskah sejarah ke karya sastra, walau sekali lagi --secara garis besar cerita-- tidak beranjak dari kebenaran peristiwa sejarah itu sendiri.

Rekonstruksi naskah sejarah ke sastra dipandang sebagai sebuah 'dusta', manakala aspek-aspek individualisme, bahkan --komunalisme-- telah berlaku di dalamnya. Di situ kita memahami bagaimana posisi 'kebenaran' naskah sebagai sejarah yang diyakini kebenarannya, dan bagaimana posisi 'dusta' dalam naskah sejarah itu sendiri yang telah mengalami rekonstruksi. Sebuah 'dusta' yang sesungguhnya berada di luar keberadaan sebuah karya sastra karena terkait dengan latar belakang pengarang. Dan seorang pembaca, kiranya perlu untuk tahu keberadaan posisinya, bukan hanya berpegangan pada aspek-aspek individual atau komunal. Sebuah kajian yang tentunya memerlukan ruang tersendiri sebagai satu penelitian yang belum tuntas.

'Menonton'' Naskah Lakon Mencari Ruang

 Sangatlah menggembirakan mendengar kabar terbitnya buku kumpulan drama Mas Ruscita Dewi berjudul ''Rumah Bunga''. Di tengah sepinya minat terhadap naskah drama atau naskah lakon, tentu saja penerbitan buku kumpulan drama ini pantas diacungi jempol. Sebab, dalam hitungan kapital, buku sastra yang diminati saat ini berkisar pada prosa -- cerpen dan novel, sedikit puisi, dan minus drama.
TIDAKLAH berlebihan dikatakan, kreator dan publik sastra saat ini ibarat ''menonton'' naskah lakon mencari ruang. Menonton memang belum berarti pasif, bahkan dalam konsepsi teater, menonton adalah aktivitas ''bersaksi'' yang membutuhkan konsentrasi dan energi luar biasa. Namun dalam konteks naskah drama, menonton di sini berarti pasif, tanpa greget dan minat. Begitu pula dengan ruang, tidak sebatas ruang pertunjukan tempat di mana naskah lakon diusung, namun mencakup ruang-ruang lain, semacam wilayah publikasi tempat kreator bisa menyosialisasikan karyanya, dan publik bisa mengaksesnya. Ruang ini pun ternyata telah hilang.

KEBERADAAN naskah drama, sesungguhnya tidak dapat diabaikan dari jagad teater tanah air. Apabila dirujuk pengertian teater modern dan teater tradisional di Indonesia, salah satu unsur pembeda yang utama adalah ada atau tidaknya naskah yang dimainkan. Jamak diketahui bahwa teater tradisional menjumpai publiknya berdasarkan cerita yang berkembang di tengah masyarakat (sastra lisan), kemudian dimainkan dengan tingkat spontanitas dan improvisasi yang tinggi. Sebaliknya, teater modern -- meminjam ungkapan Goenawan Mohamad (1981) -- memiliki ''kerangka situasi'' berupa naskah drama yang menempatkan kerja artistik dan produksi teater tidak sekadar improvisasi.
Akan tetapi, pentingnya naskah lakon sebagai bagian dari teater Indonesia kurang disadari. Naskah seolah-olah hanya bagian dari sastra an-sich, sementara di dunia sastra sendiri naskah identik dengan teater. Akibatnya, sedikit sekali sastrawan yang bergiat di lapangan penulisan naskah, mungkin karena menganggap naskah lakon lebih merupakan wilayah teater. Sebaliknya, tidak banyak pula teaterawan yang menulis naskah sendiri, karena kentalnya anggapan bahwa penulisan, termasuk naskah drama, lebih merupakan wilayah sastra. Silang-sengkarut ini pernah diakui N. Riantiarno, dalam sebuah diskusi di Yogyakarta (2003).
Oleh karena itu tidak perlu heran, dibandingkan puisi, cerpen dan novel, genre sastra lakon di tanah air relatif ketinggalan. Secara kuantitatif misalnya, buku "Horison Sastra Indonesia" terbitan Majalah Sastra Horison (2001) yang terdiri dari ''empat kitab'' mencatat 110 orang penyair, 82 novelis, 71 cerpenis dan hanya 27 orang saja dramawan. Dalam hal ini, pernyataan Boen Sri Omariati (1971; dua dasawarsa lalu!) masih berlaku, yakni tentang sastra (di) Indonesia yang baru menghasilkan penyair, novelis dan cerpenis, belum ada dramaturgi.
Selain itu, kecenderungan kelompok teater di Indonesia yang lebih memilih naskah asing (terjemahan, saduran) daripada naskah asli secara tidak langsung ikut memunculkan krisis naskah drama Indonesia. Hal ini pernah dibicarakan dalam diskusi tentang ''naskah pribumi'' yang diadakan Yayasan Senthong Seni Bangunjiwa Yogyakarta, bulan April 2002 yang menghadirkan Heru Kesawa Murti, Hanindawan dan Dra. Yudiaryani, MA, sebagai pembicara. Dalam diskusi tersebut terungkap antara lain bahwa dramawan kita belum sepenuhnya bebas dari rasa phobi yakni menganggap naskah asing lebih ''agung'' daripada ''naskah pribumi'', di samping faktor lain seperti kurangnya media publikasi bagi naskah drama serta mulai renggangnya ''tegur-sapa'' antara sastra dan teater.
Situasi ironis seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila disadari hubungan yang signifikan di antara keduanya. Dalam kerangka yang lebih luas, hubungan teater dan sastra terkukuhkan oleh istilah drama. Henry Guntur Tarigan (1984), merujuk buku "Webster's New Collegiate Dictionary" menyatakan bahwa drama merupakan karangan berbentuk prosa atau puisi yang direncanakan bagi pertunjukan teater; suatu lakon. Dalam konteks ini, drama memiliki pengertian sebagai theatre atau performance. Selain itu, ada pula naskah yang ditulis sebagai bahan bacaan, bukan untuk produksi panggung. Drama jenis ini dikenal dengan sebutan textplay atau repertoir atau closet drama. Apapun istilahnya, yang jelas sastra dan teater memiliki hubungan yang erat, terlebih pada drama sebagai theatre atau performance.
Tidaklah berlebihan ungkapan Hasanuddin WS (1996) bahwa drama merupakan karya dalam dua dimensi, yaitu sebagai genre sastra dan sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan. Kemudian Boen Sri Oemarjati (1971) menyatakan pula bahwa sejarah drama di Indonesia tidak bisa lepas dari pembicaraan sejarah kesusastraan Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada sejumlah karya dan sosok sastrawan/dramawan di Indonesia, selain dikenal sebagai seorang sastrawan, tidak jarang mereka adalah juga seorang dramawan atau sebaliknya. Nama-nama seperti Putu Wijaya, N. Riantiarno, Arifin C. Noer, Wisran Hadi, Saini KM, WS Rendra, Mohamad Diponegoro dan lain-lain, merupakan sastrawan dan sekaligus dramawan, tidak saja karena mereka pendekar di dunia sastra, serta memiliki grup teater yang aktif, akan tetapi juga dikarenakan karya-karya drama mereka memiliki orientasi panggung yang kuat.
Merujuk pada dua jenis pengertian drama di atas, maka karya-karya mereka tersebut tidak hanya berhenti sebagai closet drama tetapi juga sebagai performance. Ini bukan berarti, naskah-naskah jenis textplay seperti yang ditulis Nasiah Djamin, Kirdjomuljo, B. Soelarto, Sitor Situmorang, Ali Audah, Motinggo Busje, Iwan Simatupang, Bakti Soemanto dan lain-lain tidak memberi sumbangan bagi hubungan sastra dan teater tetapi keadaan ini semestinya lebih memicu munculnya variasi hubungan yang lebih memperkaya keberadaan naskah drama Indonesia.
Akan tetapi kini, naskah sebagai ''kerangka situasi'' boleh dikatakan tanpa situasi; tidak ada upaya untuk mengkondisikan iklim kreatif ke arah lahirnya naskah drama kita.

IRONISNYA, semua itu terjadi justru di tengah maraknya dunia sastra Indonesia, baik penciptaan maupun publikasi. Puisi, cerpen dan novel, terus lahir dan berkompetisi, sedang naskah drama seperti tidak ikut ambil bagian. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya media publikasi yang mau menampung karya drama, sebagaimana pada genre sastra yang lain. Selain itu, kreator yang tertarik menekuni penulisan naskah relatif sedikit, termasuk faktor publik Indonesia yang tidak terbiasa membaca naskah drama.

Ada memang lomba naskah drama seperti dilakukan Dewan Kesenian Jakarta, namun kalah pamor dibanding prosa. Indikasinya antara lain, pemenang naskah rata-rata kreator ''tua'' dan nyaris itu-itu saja orangnya, berbeda dengan prosa yang memunculkan nama-nama baru dari kalangan muda. Artinya, tidak terjadi proses regenerasi pada penulisan naskah lakon. Kemudian novel yang menang pastilah diterbitkan menjadi buku, sedang naskah lakon silakan dimakan ngengat atau tergeletak di rak berdebu.
Dalam konteks ruang ini pula, menarik melihat situasi zaman. Apabila dilihat sekilas, pada zaman tersebut mestinya naskah drama mengalami krisis pertumbuhan atau bahkan mungkin mati. Hal ini terkait dengan refresifnya pemerintahan fasis Jepang terhadap perkumpulan, event dan aktivitas seni-budayanya. Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Menurut Boen Sri Omerjati, zaman Jepang (1926-1942) memang refresif, tetapi pertumbuhan naskah drama Indonesia justru tercatat paling subur. Salah satu faktornya adalah keberadaan para kreator yang tidak mudah menyerah, sebaliknya mampu memanfaatkan setiap peluang dan ruang yang ada.
Padahal awalnya, penulisan naskah pada zaman Jepang dimaksudkan sebagai upaya sensor karena setiap kelompok teater yang akan pentas harus menyerahkan naskahnya terlebih dahulu kepada pihak berwenang. Lewat cara inilah sensor dengan mudah dilakukan. Tapi situasi refresif disikapi oleh kreator Indonesia, salah satunya dengan strategi menulis lakon yang menggambarkan suasana perjuangan bangsa Asia khususnya dalam menghadapi perang dunia kedua. Jepang tidak mungkin menyensor karena cocok dengan semangat ''Asia Timur Raya'' yang dikobarkannya. Namun di balik itu, semangat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dikobarkan pula, sekaligus ratusan naskah drama tercipta. Inilah yang dilakukan oleh Rustam Effendi, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, El-Hakim, Usmar Ismail, Idrus dan lain-lain. Mengapa sekarang, di tengah semaraknya sastra Indonesia dan adanya kebebasan berekspresi, naskah drama malah terlupakan?
Padahal pula, sastra Indonesia dewasa ini, memiliki ''keunikan'' tersendiri, khususnya dalam publikasi. Salah satu yang menarik adalah keberadaan ''sastra koran''. Seorang peneliti sastra Indonesia dari Jerman, Katrin Bandel (2003) mengatakan, di Barat tidak dikenal istilah ''sastra koran'', akan tetapi Indonesia mengenalnya. Hal ini mestinya dapat dibaca sebagai peluang positif ke arah penulisan kreatif, setidaknya sebagai bahan perbandingan yang dapat memotivasi penulisan naskah drama.
Sebagaimana diketahui, sastra koran terbukti mampu melahirkan banyak karya sastra, seperti puisi, cerpen dan novel, tapi, sekali lagi, tidak naskah drama. Dari media publikasi misalnya, hampir setiap koran (khususnya edisi Minggu) memuat puisi, cerpen dan novel (cerita bersambung), sedangkan rubrik naskah drama sama sekali tidak ada. Begitu pula majalah dan jurnal sastra yang terbit di Indonesia, seperti Horison dan Kalam, memang sesekali memuat naskah drama Indonesia, namun itu sangat jarang terjadi. Ketika media sastra memasuki babak baru dengan maraknya penerbitan buku (sastra), khususnya prosa yang konon cukup laku di pasaran, naskah drama tetap tak punya ruang sosialisasi. Sesekali naskah drama memang terbit juga sebagai buku, sebagaimana dilakukan Penerbit Angkasa (Bandung) dan Yayasan Untuk Indonesia (Yogyakarta), tetapi tidak sebanding dengan buku cerpen dan novel.
Dalam hal ini alasan pasar sering menjebak bahkan sudah menjadi sangat klise, padahal apa pun alasannya, ketiadaan media sosialisasi bagi naskah drama berarti adalah kemunduran. Menurut Jakob Sumardjo (1992), kuatnya tradisi teater tradisional Indonesia yang tidak mengenal naskah drama menjadi salah satu penyebab kurang dikenalnya drama sebagai teks (sastra), kecuali sebatas pertunjukan semata. Akibatnya, minat masyarakat untuk membaca naskah drama sangatlah kurang sehingga penerbit mesti berpikir tiga kali sebelum menerbitkan buku drama, bahkan redaktur majalah atau surat kabar juga ikut demikian.
Situasi ini justru berbeda jauh dengan zaman Pujangga Baru sampai tahun 1960-an ketika naskah drama memiliki media sosialisasi yang setara dengan genre sastra lainnya. Berbagai majalah menyediakan ruang yang luas untuk itu, bahkan jika perlu sebuah edisi semuanya berisi naskah drama. Majalah Budaya, Siasat, Indonesia, Seni, Aneka, Teruna Bakti dan Minggu Pagi merupakan sederet majalah yang memiliki rubrik khusus untuk naskah drama. Pada tahun 1980-an, Harian Kompas pernah memuat drama ''Panembahan Reso'' karya Rendra sebagai cerita bersambung, tapi sayang tidak dilanjutkan dengan naskah lakon lainnya.
Tentu saja kelangkaan atau ketiadaan ruang publikasi secara tidak langsung mengurangi minat orang pada naskah drama (kreator, publik, peneliti, dan sebagainya). Memang hal ini tidak berarti kiamat. Sebagai karya dua dimensi (sastra dan teater), naskah drama memang tidak mutlak hidup dari ruang publikasi sastra semata, karena naskah drama, khususnya yang bersifat performance, bisa hidup di panggung teater. Panggung inilah yang akan mengusung sebuah naskah kepada audiensnya. Akan tetapi siapa yang dapat menjamin sebuah naskah akan lahir di tengah iklim kreatif yang kurang sehat dan tak adil? Ini tantangan bagi kita semua.

Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?


SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.
Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.
Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang seronok.
Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-siswa di sekolah di segala penjuru dunia.
Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas masyarakat.
Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos ’batas-batas’ kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.
Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.
Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.
Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.
Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.
Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita. Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.
Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat dikompromikan. *

Sastra yang Tidur dalam Kulkas

”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek Dagang’”(Media, 02/02/03). Kalau sajak Afrizal yang prose-poem itu tidak malu-malu bicara soal ”isu lama untuk pusat baru”, yaitu persoalan ”apakah sastra harus dengan teguh mengemban komitmen sosialnya atau, sebaliknya, tetap bertengger di menara gading”, dan telah melakukan pilihannya, maka esai Suryadi dengan tegas menolak memilih satu di antara keduanya tapi menawarkan sebuah pilihan baru yaitu sastra sebagai ”merek dagang”.
 

Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra!
 

Apa yang saya pahami dalam esai Suryadi tersebut adalah keyakinannya yang kuat bahwa sastra Indonesia tidak ”bergengsi”, kalau pun ada maka rendah, di ”mata pembacanya”. Saya berusaha mencari apa alasan Suryadi untuk membuat pernyataannya itu tapi saya gagal menemukannya dalam esainya. Apa yang saya temukan justru ”laporan” atas apa yang dikatakan oleh dua orang penulis Perancis, yang menurut Suryadi merupakan ”teori sastra terkini”, tentang fungsi sosiologis sastra di sebuah masyarakat kapitalis seperti Perancis, yaitu sastra sebagai simbol status sosial. Saya membaca Sartre, maka saya ada dalam kelas sosial tertentu, begitu mungkin penjelasan gampangannya. Lantas di manakah relevansi kutipan di-luar-konteks dari Pierre Bourdieu dan sebagainya itu dengan rendahnya gengsi sastra Indonesia di mata pembacanya? Atau, sudah tepatkah gambaran pembaca sastra yang dimaksudkan oleh Bourdieu dengan realitas pembaca Indonesia? Mungkin sebuah pertanyaan ekstrem bisa dilontarkan: adakah pembaca sastra Indonesia, paling tidak dalam pengertian yang dimaksudkan Bourdieu di atas, yakni pembaca yang membaca sastra supaya mereka dianggap ”berbudaya tinggi dan bukan dari golongan orang biasa”?
 

Suryadi juga menyatakan bahwa ”analisis” seni yang sudah berhasil meningkatkan gengsi karya di mata penikmatnya di Indonesia ”sudah dirasakan dalam bidang seni rupa”, tapi sekali lagi dia ”lupa” untuk membuktikan yang ”sudah dirasakannya” itu kepada kita pembaca esainya itu! Apakah yang dia maksud besarnya jumlah kolektor atau luasnya pemahaman orang Indonesia atas karya seni rupa Indonesia?! Peristiwa ”amnesia tekstual” yang dominan mewarnai esai Suryadi tersebut merupakan cacat-cacat pemikiran yang sangat mengganggu pembacaan saya atas esainya itu dan menimbulkan kecurigaan besar atas pemahamannya tentang topik yang sedang dia bicarakan. Perhatikan saja ”salah cetak” yang terjadi atas nama ”Macbeth” dan ”Chairil Anwar” yang menjadi ”Machbeth” dan ”Khairil Anwar” itu!
 

Apa yang sering terjadi di kalangan cerdik-pandai Indonesia dalam peristiwa euforia keterpesonaan mereka pada pembacaan mereka atas teori-teori ”terkini” dari dunia pemikiran Barat adalah konteks dari penciptaan teks-teks yang mereka baca itu. Secara tak sadar mereka take for granted yakin bahwa teori-teori ”terkini” yang mereka baca itu tercipta dengan realitas Indonesia sebagai salah satu faktor penulisannya! Betapa arifnya seorang Jean-François Lyotard yang memperingati pembacanya bahwa ”kondisi pascamodern” yang dia maksudkan dalam bukunya yang berjudul The Postmodern Condition adalah sebuah kondisi sosial seperti yang bisa ditemukan di negeri-negeri industri-kapitalis maju, Perancis misalnya. Makanya seorang pembaca Indonesia mesti lebih bijaksana lagi dibanding Lyotard sendiri dalam ”membaca” bukunya itu, bukan?
 

Sebuah pernyataan lain yang dibuat oleh Suryadi menunjukkan betapa jauhnya dia berada dari dunia kangouw sastra Indonesia, yaitu bahwa bagi dia ”Jika seorang Ayu Utami atau Dewi Lestari menjadi fenomenal karena ‘faktor X’, maka itu sah-sah saja”! ”Faktor X” apakah yang membuat kedua novelis di atas menjadi ”fenomenal”? Novel mereka sebagai novelkah yang membuat keduanya ”fenomenal”? Kritik sastrakah? Pembacakah? Atau sesuatu yang non-sastra tapi sangat mempengaruhi resepsi sebuah karya sastra, seperti politik sastra dalam bentuk karnaval puja-puji sangat tendensius oleh komunitas sastra ”bermedia massa” di mana sang novelis menjadi anggotanya? Tidak akan adakah pengaruh terjadi pada resepsi pembaca oleh gemuruhnya ekspose yang dilakukan pada seorang novelis di media massa sementara analisis kritis atas karyanya hampir nol sama sekali? Kalau bagi Suryadi yang seorang ”pengajar bahasa dan budaya” itu politik sastra semacam yang di atas itu ”sah-sah saja” dalam membuat sebuah karya sastra atau seorang sastrawan menjadi ”fenomenal”, ”fenomenal” yang macam apa ini? Apa ”fenomenal” 15-minute fame ala MTV! Atau ”fenomenal” Kahlil Gibran yang belum tertandingi dalam sejarah buku di negeri ini!
 

Kalau asersi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”... bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!
 

Apa yang dipertanyakan oleh Oyos Saroso HN dalam esainya ”Ketika Sastra Menjadi Nonsens” (Media, 12/01/03), yang menjadi pemicu polemik ini, adalah sebuah pertanyaan ”sastra yang tidak nonsens”. Apakah warna dominan sastra kontemporer Indonesia adalah sastra yang cuma sibuk dengan ”bentuk dan cenderung mengabaikan isi dan ideologi”, sebuah warna yang diidentifikasi kalangan sastrawan muda Indonesia pada sebuah komunitas sastra bermedia-massa di Jakarta? Nur Zain Hae bisa saja mengolok-olok pertanyaan Oyos ini dengan sebuah sikap pseudo-heroik bahwa ”daripada terus menggerutu dan cemburu, lebih baik kita bergabung untuk membuat komunitas dan ‘laboratorium’ lain, majalah atau jurnal sastra yang berbeda, menulis karya sastra dan merancang diskusi yang lebih bermutu” (Media, 19/01/03), tapi ejekannya itu cuma menunjukkan betapa naif dan sederhananya dia memandang sebuah persoalan yang dianggap serius oleh banyak sastrawan muda Indonesia. Dan betapa tidak sensitifnya! Kalau seorang sastrawan Indonesia sudah tidak boleh lagi mengeluarkan ”protes” atas apa yang dia rasakan sebagai kondisi yang mengancam kelangsungan kehidupannya sebagai seorang sastrawan oleh sesama sastrawan, apa bedanya kita dengan rezim diktator militer Orde Baru yang haus darah itu!
 

Politik sastra sama kejamnya dengan politik praktis di negeri realis-magis ini. Kepentingan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok yang happily ever after telah diutamakan dengan pengorbanan kepentingan dan kelangsungan hidup kelompok lain. Survival of the fittest bukan cuma ideologi politik praktis di negeri ini, tapi juga dianut oleh para politikus sastra Indonesia. Mungkin para politikus sastra ini sedikit berbeda dari kawannya di dunia politik praktis, yakni mereka tidak sadar-sadar betul bahwa ”kewajaran” yang mereka lakukan ternyata merupakan sesuatu yang sangat negatif bagi sastrawan lain. Mungkin merupakan sesuatu yang ”wajar” bahwa seorang novelis yang baru menerbitkan satu novel berhasil memenangkan hadiah Prince Claus Award karena mereka klaim melakukan pembaharuan dan yang semacamnya itu dalam sastra kontemporer Indonesia. Mungkin sesuatu yang ”wajar” pula bahwa seorang ”penyair” yang selebriti media massa mewakili ”penyair Indonesia” dalam sebuah program baca-puisi internasional. Mungkin ”wajar” juga bahwa seorang sastrawan bisa menjadi seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa nasionalnya walau dia tidak mengenal dunia sastra berbahasa nasionalnya itu, dia adalah sang mesias yang tidak terlahir dari tradisi rahim sastra nasionalnya sendiri. Mungkin juga ”wajar” bagi seorang cerpenis yang bisa menerbitkan buku kumpulan cerpennya hanya setahun dua tahun sejak dia mulai mempublikasikan cerpennya lalu diklaim sebagai ”monalisa” sastra Indonesia juga.
 

Tapi saya setuju dengan Oyos Saroso HN. Saya tidak menganggap ”kewajaran” di atas adalah ”wajar”. Saya tidak bisa menerima ”faktor X” sebagai yang ”sah-sah saja” dalam resepsi sebuah karya sastra seperti yang diyakini seorang pengajar bahasa dan budaya saya di negeri Belanda sana. Dan saya lebih tidak bisa menerima lagi tuduhan asal-asalan Nur Zain Hae yang, bagi saya, terkesan oportunistik itu.
 

Saya setuju dengan Oyos dalam konteks absennya tradisi kritik sastra di sastra Indonesia telah menyebabkan politik sastra menjadi paus sastra kontemporer Indonesia. Karena ideologi politik sastra yang menjadi kekuasaan hegemonik adalah ideologi formalisme sastra, maka ideologi lain pasti akan tersingkirkan kalau tidak terbunuh. Oyos sudah menunjukkan dengan telak contoh dari ideologi formalisme ini dalam puisi Sitok Srengenge yang cuma ”mengejar rima dan membangun metafora” belaka. Saya akan menambahkan dengan mayoritas cerpen yang muncul tiap Minggu di Koran Tempo, yang bagi saya merupakan sisi ekstrem lain dari cerpen-cerpen realis di Kompas. Kekuasaan hegemonik juga melakukan pilihan-pilihan atas apa yang mesti diselamatkan dari ideologi lain. Kenapa mengklaim para penyair Lekra di Belanda sebagai ”penyair eksil” walau karya mereka tidak ada bedanya dengan apa yang ditulis oleh banyak penyair di dalam Indonesia? Kenapa mereka mesti ”diselamatkan” sementara yang di Indonesia tidak? Dan dari para penyair domestik yang menulis tentang ”penindasan dan kezaliman kekuasaan” dalam bahasa yang juga tidak ”miskin” dan tidak ”kering”, kenapa hanya Wiji Thukul yang dipilih untuk dirayakan? Juga apakah ”riset penulisan” dan ”rajin membaca” merupakan faktor-faktor penentu bagi lahirnya ”karya besar”?! Antologi pertanyaan aneh seperti ini mungkin tak perlu lagi dibuat andai kritik sastra hadir sebagai polisi lalulintas sastra Indonesia.
 

Perbedaan ideologi, tentu saja, adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam kehidupan manusia, apalagi dalam kehidupan politik. Perbedaan ideologi membuat kehidupan tidak lagi dibayang-bayangi oleh momok The Big Brother Orwellian, yang seperti malaekat elmaut terus-menerus menuntut kematian mereka yang tidak patuh. Malah perbedaan ideologi mesti diharuskan dalam kehidupan! Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel, begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.

Bahasa dan Sastra Sebagai Identiti Bangsa Dalam Proses Globalisasi

 
 Pendahuluan
Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia.
Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).
Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?

Mitos Tentang Globalisasi
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global." Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.
Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.
"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.

Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.
Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

Politik Bahasan dan Politik Sastra
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.

Dukun dan Dokter dalam Sastra Indonesia ("Literature and Medicine" - Sebuah Studi)


SEKILAS pandang, sastra tampaknya tidak ada hubungannya dengan pengobatan atau dengan penyakit, dan bidang kedokteran (medicine) dan sastra (literature) jarang dihubungkan satu sama lain. Tetapi, paling tidak, dalam tradisi Barat, hubungan antarkedua bidang itu sebetulnya cukup erat. Beragam ide dan spekulasi seputar hubungan seni dengan penyakit dan pengobatan dapat kita temukan dalam pemikiran Barat sejak zaman Aristoteles; misalnya bahwa "jenius" atau bakat seni yang luar biasa merupakan sejenis kelainan jiwa (penyakit), bahwa pengalaman sakit dan penderitaan berguna atau perlu bagi seorang sastrawan (misalnya dalam pemikiran Goethe, juga Nietzsche), atau bahwa seni mempunyai potensi untuk menyembuhkan orang yang sakit.
PENGOBATAN sendiri dipahami sebagai sebuah "seni" (the art of healing), dan hanya sejak makin majunya kedokteran biomedis/Barat sebagai sebuah "ilmu", maka mulai dibedakan antara "ilmu pengobatan" (the science of healing) dan "seni pengobatan". Di samping itu, keadaan sakit sebagai salah satu pengalaman manusia yang paling hakiki sudah dari dulu merupakan motif yang banyak dapat ditemukan dalam karya sastra, dan karena itu juga sangat layak dan perlu diteliti dalam kritik sastra.
Di Indonesia pun hubungan antara sastra dan pengobatan sebetulnya cukup erat walaupun tentu saja bentuk hubungan itu tidak sama dengan yang terdapat dalam tradisi Barat. Sayang sekali belum ada studi tentang sejarah hubungan antara seni dan pengobatan di Indonesia, sehingga ide-ide yang ada atau pernah ada tentang hubungan itu sulit kita nilai secara menyeluruh. Di sini saya hanya ingin menyebut salah satu contoh yang bagi saya tampak cukup menonjol, yaitu mantra: bukankah mantra sekaligus merupakan sebuah karya sastra tradisional dan sebuah sarana pengobatan?
Kalau dalam dunia kedokteran Barat zaman sekarang kedekatan dunia sastra dengan dunia kedokteran yang paling menonjol adalah di bidang psikologi/psikoterapi, di Indonesia bukan orang yang punya gangguan jiwa saja yang diobati dengan kata-kata. Kepercayaan pada mantra adalah kepercayaan pada kekuatan kata: kata dapat membentuk realitas, antara lain dapat menyembuhkan dan juga menyakiti orang.
Studi literature and medicine merupakan sebuah bidang penelitian interdisipliner yang cukup banyak diminati, dan bahkan sejak tahun 1982 ada sebuah majalah khusus bernama Literature and Medicine diterbitkan oleh Universitas Johns Hopkins, Baltimore, Amerika Serikat. Studi dalam bidang ini mulai dilakukan dengan serius pada akhir tahun 70-an, dengan studi awal yang penting antara lain esai panjang Susan Sontag, Illness as Metaphor (1978), dan kumpulan artikel "Medicine and Literature" yang dieditori oleh Enid Rhodes Peschel (1980).
Studi semacam itu dilakukan bukan hanya oleh kritikus sastra, tetapi juga oleh ahli di bidang kedokteran atau di bidang sejarah sains. Yang banyak dibahas adalah karya sastra (umumnya fiksi) dengan tokoh-tokoh dokter dan/atau orang sakit, antara yang sering diteliti misalnya novel The Magic Mountain Thomas Mann dan cerpen Tolstoy, The Death of Ivan Ilych. Di samping itu ada penelitian tentang sastrawan yang sekaligus dokter (misalnya penyair Amerika, William Carlos Williams), tentang "pathography" (tulisan otobiografis tentang pengalaman sakit), tentang guna ilmu sastra bagi dokter/calon dokter (di Amerika Serikat, literature and medicine merupakan bagian dari kurikulum di fakultas kedokteran), dan lain-lain.
Dalam kritik sastra Indonesia belum banyak studi tentang motif penyakit dan pengobatan dilakukan, tapi walaupun demikian, terdapat juga beberapa tulisan singkat mengenainya (sayang sekali semuanya bukan dalam bahasa Indonesia!). Dua peneliti Belanda, de Josselin de Jong dan Jordaan, meneliti motif penyakit dalam teks-teks klasik dan menginterpretasikan bahwa dalam teks-teks tersebut menggambarkan seorang raja sebagai orang yang kena penyakit merupakan sebuah bentuk kritik politik (1985 dan 1986). Dalam sebuah artikel di jurnal RIMA (Australia), Helen Pausacker dan Charles A Coppel membahas hubungan antara cinta, penyakit, dan citra perempuan dalam novel-novel Melayu Pasar karya para pengarang Tionghoa Peranakan (2001). Peneliti Jerman, Helga Blazy, dalam bukunya tentang citra anak- anak dalam sastra Indonesia membicarakan "anak yang sakit" dalam satu bab tersendiri (1990). Dan CW Watson, seorang ahli sastra dan budaya Indonesia dari Belanda, membicarakan motif dukun dan ilmu hitam dalam sastra Indonesia dalam sebuah buku tentang "witchcraft and sorcery" di Asia Tenggara (1993).
Sebuah ciri penting situasi pengobatan di Indonesia adalah terdapatnya pluralisme sistem pengobatan di mana berbagai cara pengobatan yang berbeda-beda hadir berdampingan. Yang paling dominan di antaranya adalah pengobatan asli Indonesia (yaitu sistem pengobatan etnis tiap daerah yang pada umumnya termasuk humoral medicine dan memiliki elemen-elemen magis) dan pengobatan biomedis/Barat. Pluralisme ini membawa berbagai macam persoalan, terutama karena sistem kesehatan yang resmi (puskesmas, rumah sakit, pendidikan kedokteran di universitas, dan sebagainya) hampir seutuhnya berpegang pada sistem biomedis, sedangkan sistem pengobatan yang paling dikenal dalam masyarakat tetaplah pengobatan asli Indonesia (tradisional). Untuk sebuah studi motif pengobatan/penyakit dalam sastra Indonesia tentu keadaan yang penuh konflik ini sangat menarik. Adakah wujud konflik antarsistem-sistem pengobatan itu terdapat dalam sastra, dan bagaimana bentuknya?
Yang ingin saya lakukan di sini adalah sebuah perbandingan antara citra pengobatan tradisional (atau citra dukun) dan citra pengobatan biomedis (atau citra dokter). Studi perbandingan seperti ini belum banyak dikerjakan. Sampai sekarang kebanyakan tulisan dalam bidang literature and medicine merupakan studi tentang karya sastra Eropa dan Amerika Serikat yang hampir selalu berfokus pada sistem pengobatan biomedis yang dominan di Barat. Memang ada beberapa studi yang bersangkutan dengan sistem pengobatan nonbiomedis, tetapi konflik antardua sistem yang berbeda jarang dijadikan fokus, begitu juga dalam artikel-artikel tentang motif penyakit dalam sastra Indonesia yang saya sebut di atas.
Sebuah pengecualian yang menarik adalah artikel Barbara Corrado Pope (Literature and Medicine, Vol 8, 1989) tentang novel Lourdes karya sastrawan Perancis Émile Zola (1894) yang mengisahkan tentang Lourdes, sebuah tempat di Perancis, di mana banyak orang sakit pergi berziarah dengan harapan akan disembuhkan secara ajaib. Novel ini bertemakan konflik antardua jenis pengobatan yang berbeda, yaitu pengobatan yang bercorak religius dan ilmu kedokteran.
Pada zaman Zola menulis novelnya itu terdapat perdebatan yang cukup sengit antara gereja Katolik (yang meyakini terjadinya keajaiban-keajaiban berupa penyembuhan spontan berkat campur tangan Yang Maha Kuasa di Lourdes) dengan dokter dan ilmuwan (yang tidak percaya akan adanya keajaiban semacam itu dan mengemukakan penjelasan alternatif tentang penyembuhan yang terjadi di Lourdes). Dalam konteks itu Zola dengan tegas menyatakan pendapatnya melalui novelnya bahwa "keajaiban" yang terjadi di Lourdes sebetulnya dapat dijelaskan secara medis sebagai sesuatu yang alami dan tidak ada ajaibnya. Tidak mengherankan kalau novelnya itu kemudian menimbulkan protes dari pihak gereja.
Lourdes merupakan salah satu contoh karya sastra yang digunakan untuk menyatakan pandangan tertentu tentang wacana kedokteran pada zamannya. Dengan memilih tempat berziarah Lourdes sebagai tema novelnya, sepertinya pengarang tidak bisa tidak mengutarakan pendapatnya dalam debat antara gereja dan ilmuwan yang sedang berlangsung pada masa itu. Kita sulit membayangkan bagaimana novel itu akan bisa ditulis tanpa adanya keputusan yang tegas (dari pengarangnya) apakah "keajaiban" mesti dipandang sebagai sesuatu yang nyata atau sebagai ilusi.

Supernatural
Situasi di Indonesia bisa dikatakan agak mirip dengan apa yang dilukiskan Zola dalam Lourdes, dalam arti bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat kepercayaan tradisional pada hal-hal "gaib" atau "supernatural" yang tidak diakui secara "ilmiah". Dalam sistem pengobatan asli Indonesia, penyakit biasanya diklasifikasikan sebagai penyakit yang "biasa" (alami) dan "luar biasa" (disebabkan oleh kekuatan gaib), sedangkan ilmu kedokteran biomedis tidak mengenal penyakit yang "luar biasa" seperti itu. Lalu apakah dalam karya sastra Indonesia kita menemukan pernyataan pendapat pengarang yang tegas seperti dalam Lourdes tentang apakah kekuatan-kekuatan gaib yang dipercayai dan digunakan dalam pengobatan tradisional di Indonesia itu benar-benar nyata atau hanya tahayul belaka?
Ketegasan seperti itu ternyata jarang kita temukan dalam karya sastra Indonesia. Dukun cukup sering terdapat sebagai tokoh yang biasanya dihubungkan dengan dunia kampung/desa, dengan orang tua atau orang kuno dan dengan pandangan hidup tradisional. Tetapi, kalau kita mengamati cerita mengenainya-terutama cerita yang berhubungan dengan hal-hal magis-dengan teliti, kita sering tidak menemukan jawaban yang tegas apakah kekuatan atau kejadian gaib itu dipandang sebagai sesuatu yang nyata atau tidak. Contoh yang mungkin paling menonjol adalah novel Ni Rawit, Ceti Penjual Orang karya AA Pandji Tisna (1935).
Walaupun balian (dukun), guna-guna, dan sejenisnya merupakan tema yang amat penting dalam novel itu dan dibicarakan dengan sangat rinci, pengarang dengan sangat lihai berhasil menghindar dari pernyataan sikap yang tegas mengenai ilmu perdukunan itu sendiri. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa tokoh Ida Wayan berkonsultasi kepada seorang dukun dengan maksud untuk memikat gadis Dayu Kenderan yang dipujanya. Lalu kita mendapat informasi yang terperinci tentang cara pembuatan guna-guna untuk mencapai tujuan itu.
Penilaian moral atas perbuatannya itu pun cukup jelas dalam novel tersebut: memakai guna-guna bukan cara yang terpuji, dan Ida Wayan akhirnya menyesalinya. Tetapi, apakah guna-guna itu mempunyai kekuatan yang nyata? Tampaknya semua tokoh meyakini hal itu, tetapi pandangan narator/pengarang tentang hal tersebut sama sekali tidak jelas. Berkali-kali plot seperti dengan sengaja dibelokkan hingga tidak pernah terjadi situasi di mana akan terbukti apakah guna-guna itu akan mampu membuat Kenderan terpikat atau tidak.
Setiap kali Ida Wayan mencoba menggunakan guna-guna yang diperolehnya dari dukun, selalu saja ada halangan: dua kali guna-guna yang disembunyikan dekat pintu pagar tembok pekarangan rumah Kenderan ditemukan orang sebelum sempat dilalui Kenderan; mantra yang dimaksudkan untuk membuat Kenderan terpikat terhalang digunakan; ilmu sesirep yang dipakai dengan tujuan membuat penghuni rumah Kenderan tertidur pulas dan tidak menyadari ada orang memasuki pekarangannya ternyata mubazir karena rumah telah kosong pada saat itu.
Tampak dengan jelas bahwa walaupun ilmu gaib dilukiskan secara rinci dan cukup panjang lebar dalam novel Ni Rawit, pertanyaan apakah ilmu gaib itu nyata atau ilusi tidak terjawab, atau lebih tepat: sengaja tidak dijawab.
Mengapa Zola secara tegas menyatakan pendapatnya tentang "keajaiban" dengan novelnya, Lourdes, sedangkan Pandji Tisna tampak dengan sengaja menghindari pernyataan pendapat seperti itu?
Ternyata, situasi di Indonesia pada saat Pandji Tisna menulis Ni Rawit cukup jauh berbeda dari situasi di Perancis pada masa Zola menulis Lourdes walaupun secara selintas pandang terkesan mirip. Kedua kekuatan yang bertentangan pada akhir abad ke-19 di Perancis (gereja dan sains) sama-sama besar meski dalam perkembangannya kemudian gereja bisa dikatakan kalah. Pertentangan itu berlangsung secara terbuka, dan dalam suasana seperti itu pernyataan sikap secara tegas seperti yang dilakukan dalam Lourdes merupakan hal yang wajar.
Di Indonesia, perdukunan dan kedokteran Barat tidak pernah menjadi dua kekuatan oposisi yang berhadapan secara frontal seperti itu. Pengobatan biomedis masuk ke Indonesia sebagai bagian dari budaya kolonial, dan itu berarti pengobatan tersebut dari awal sudah dipresentasikan sebagai yang paling baik, yang paling benar, yang "modern". Kalau dalam kasus Lourdes sulit dibayangkan bagaimana Zola mesti menulis novel seperti itu tanpa mengutarakan pendapatnya tentang debat yang sedang berlangsung, maka pada novel Ni Rawit justru sebaliknya: sikap menghindar dari pernyataan tegas tentang ilmu gaib terasa wajar dan masuk akal karena keputusan untuk melukiskan ilmu gaib sebagai tahayul ataupun sebagai kekuatan yang nyata masing-masing terlalu berisiko.
Seandainya dilukiskan sebagai kekuatan nyata, mana mungkin novel itu akan diterbitkan Balai Pustaka! Dan tentu pengarang akan kelihatan "kuno", ketinggalan zaman. Tetapi, seandainya dilukiskan sebagai tahayul, plot cerita akan menjadi kacau: semua tokoh, termasuk tokoh yang baik, akan terlihat "kuno", "kampungan" dan bahkan "bodoh" karena mempercayai sesuatu yang tidak nyata. Padahal, tokoh-tokoh itu berasal dari lapisan atas masyarakat Bali pada zaman itu, yaitu kaum Brahmana yang merupakan elite intelektual tradisional. Bukankah akan terkesan sebagai penghinaan pada masyarakat Bali seandainya pengarang mengambil jarak dari tokoh-tokoh itu dan menampilkan mereka sebagai "orang kampung" yang percaya pada tahayul!
Ambiguitas khas masyarakat pascakolonial semacam ini terdapat dalam kebanyakan karya sastra Indonesia yang menceritakan tokoh dukun walaupun, seperti sudah dikatakan di atas, Ni Rawit merupakan contoh yang agak menonjol. Bentuk ketidaktegasan tentang nyata atau tidak nyatanya ilmu/kejadian gaib sangat bervariasi: misalnya dalam novel Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922) konsultasi beberapa tokoh dengan seorang dukun dilukiskan secara mendetail, tetapi kemudian cerita itu seperti tidak ada kelanjutannya, tidak diceritakan hasil usaha mereka untuk mencelakakan seorang tokoh yang tidak mereka sukai dengan ilmu hitam.
Sedangkan dalam Para Priyayi (Umar Kayam, 1992) yang digunakan adalah cara bernarasi: pengalaman Lantip menyaksikan "kesaktian" seorang dukun diceritakan oleh Noegroho dengan mengambil jarak, dalam arti Noegroho mengatakan Lantip yakin akan apa yang dilihatnya, tetapi dia sendiri tidak percaya.
Walaupun dalam banyak karya sastra Indonesia tampak sekali ada keraguan dalam menulis tentang dukun dan tentang kekuatan atau pengalaman gaib, keraguan itu hampir tidak pernah dibicarakan secara eksplisit. Biasanya fokus diletakkan pada elemen cerita yang lain. Yang sering ditekankan adalah penilaian moral tentang perdukunan, terutama bentuk-bentuknya yang dianggap "dosa", seperti guna-guna, jimat, sihir, dan sebagainya.
Wak Katok dalam novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis (1975), misalnya, merupakan tokoh dukun palsu yang jahat. Buyung, tokoh pemuda yang cerdas dan baik, yang pada mulanya sangat percaya dan tertarik pada "ilmu" Wak Katok, mengalami "pendewasaan" yang cukup dahsyat dan akhirnya dia bukan saja menyadari bahwa "ilmu" Wak Katok itu palsu, tetapi juga bahwa "ilmu" seperti itu sebetulnya tidak perlu dan tidak baik.
Persoalan apakah "ilmu" seperti itu sebetulnya selalu palsu dan mustahil dimiliki manusia, atau apakah hanya Wak Katok saja yang "ilmu"-nya palsu, tapi dukun lain mungkin saja betul-betul memiliki kekuatan gaib, tidak dibahas dan menjadi tidak begitu penting. Pesan yang penting adalah bahwa manusia sebaiknya berusaha dengan "jujur" saja tanpa menggunakan bermacam-macam ilmu gaib, jimat, dan sebagainya, dan bahwa kepercayaan pada kekuatan gaib yang ada dalam masyarakat sebetulnya kurang menguntungkan karena dengan mudah dapat disalahgunakan oleh "pemimpin" semacam Wak Katok.
Ringkasnya, tokoh dukun pada umumnya tokoh yang jahat atau paling tidak agak mencurigakan. Berbagai bentuk "ilmu" yang dipraktikkannya digambarkan sebagai sesuatu yang tidak baik atau "dosa", dan usahanya untuk mengobati orang sakit biasanya kurang efektif. Walaupun begitu, tentang nyata atau tidaknya kekuatan gaib yang dapat digunakan dukun atau yang terdapat pada alam atau benda-benda tertentu sering tidak ada sikap pengarang yang tegas.

Tokoh dokter
Lalu bagaimana dengan tokoh dokter? Kalau tokoh dukun kebanyakan negatif, sebaliknya dokter hampir selalu tokoh yang positif. Dokter sering digambarkan sebagai manusia yang penuh kasih sayang, ramah, dan baik. Hanya saja, kalau kita mencari informasi tentang ilmu pengobatan biomedis yang dipraktikkan tokoh-tokoh dokter tersebut, kita mesti kecewa: informasi semacam itu biasanya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Kutipan dari novel Karena Mentua (Nur Sutan Iskandar, 1932) berikut ini hanya salah satu contoh untuk sebuah kekhasan yang sering kita jumpai pada deskripsi konsultasi dengan dokter dalam sastra Indonesia:
"Dukun telah banyak turun naik rumah. Kata mereka itu, Ramalah sakit karena dimantrakan oleh bekas suaminya. Mantra pembalik pun dibacakan. Biasanya-kata dukun- karena mantra itu Ramalah mesti sembuh, dan Marah Adil sakit keras atau mati. Akan tetapi karena lama-kelamaan Mak Guna terpaksa meminta pertolongan kepada dokter. Meskipun agak lama akan sembuh, tetapi dari sehari ke sehari perempuan yang malang itu berangsur-angsur baik pula" (hlm 217).
Konsultasi dengan dukun dilukiskan dengan cukup rinci: kita diberi tahu tentang diagnosis menurut dukun itu dan tentang tindakan medisnya. Anehnya, pada deskripsi konsultasi dengan dokter, informasi yang seperti itu sama sekali tidak diberikan. Sakit apakah Ramalah menurut diagnosis dokter? Dan dengan cara apa dokter mengobatinya? Satu-satunya yang kita ketahui hanyalah bahwa dengan pertolongan dokter ternyata akhirnya Ramalah berhasil disembuhkan!
Yang kita temukan dalam penggambaran tokoh dokter dan pengobatan biomedis justru sebaliknya daripada yang kita lihat di atas dalam penggambaran dukun. Tindakan dukun biasanya diceritakan dengan cukup rinci, tetapi sering digambarkan sebagai tidak efektif atau tidak jelas keampuhannya. Tindakan dokter biasanya digambarkan efektif-kecuali kalau memang "ajal" si sakit sudah sampai hingga siapa pun tak dapat mengubahnya-tetapi informasi mengenainya sangat sedikit.
Apa yang menyebabkan absennya informasi tentang pengobatan dan ilmu biomedis dalam deskripsi interaksi pasien dengan dokter tersebut? Kekurangan informasi itu sebetulnya tidak terlalu mengherankan kalau kita memperhatikan situasi pengobatan biomedis di Indonesia. Dibandingkan dengan dokter di Barat, dokter di Indonesia pada umumnya bisa dikatakan sangat "pendiam": kalau pasien tidak bertanya, dokter jarang memberikan keterangan tentang diagnosisnya. Biasanya informasi yang diberikan kepada pasien hanyalah keterangan seperlunya tentang pengobatan (dosis obat dan sebagainya). Sayang sekali, keadaan yang jelas kurang baik dan merugikan pasien ini hanya sekali-sekali dikritik dalam karya sastra, sebaliknya biasanya karya sastra malah ikut dalam "konspirasi rahasia" semacam itu.
Mari kita kembali kepada perbandingan dengan novel Lourdes. Dalam menulis novel ini, Zola dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada zamannya, terutama oleh tulisan-tulisan JM Charcot, seorang ahli penyakit saraf yang bisa disebut pendahulu Sigmund Freud. Teori Charcot tentang penyakit "histeris" (sekarang lebih umum disebut psikosomatis) digunakannya untuk memahami apa yang terjadi dalam kasus-kasus "penyembuhan ajaib" di Lourdes.
Apa yang dilakukan Zola itu sebetulnya mewakili apa yang terjadi dalam masyarakat Eropa pada umumnya pada zaman tersebut: Peran ilmu pengetahuan dan pandangan hidup yang rasionalis dan sekuler makin besar, sedangkan kepercayaan pada "keajaiban", pada "yang gaib" (dan juga pada agama) makin terdesak dan menghilang. Ini merupakan sebuah proses yang panjang, di mana dengan makin majunya ilmu pengetahuan, kepercayaan pada hal-hal yang gaib, agama, dan berbagai kepercayaan tradisional yang lain makin dinilai "tidak masuk akal" karena tidak dapat dibuktikan secara "ilmiah". Sebagai akibatnya, ilmu pengetahuan menjadi begitu penting di Eropa (atau di dunia Barat pada umumnya) hingga menyerupai semacam "agama" baru.
Di Indonesia, seperti juga di negeri jajahan yang lain, "agama" baru itu diperkenalkan oleh penjajah, dan tentu karena itu dengan sendirinya tidak ada proses "penyadaran" atau rasionalisasi seperti yang terjadi di dunia Barat. Ilmu Barat begitu saja dihadirkan sebagai "yang modern" atau "yang unggul", tetapi berbagai macam bentuk ilmu dan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya tentu tidak menghilang begitu saja.
Sebuah analisis yang tajam dan humoris atas keadaan ini bisa kita temukan dalam cerpen Idrus, Jalan Lain ke Roma (1948). Pada waktu orangtua tokoh utama memberikan nama padanya, mereka awalnya ingin menanyakan dukun apa nama yang baik bagi anak mereka itu. "Tapi, ini segera dibuangnya jauh-jauh. Mereka merasa hina berhubungan dengan dukun, karena di sekolah HIS dulu mereka belajar, bahwa dukun pembohong, tidak pintar, dan harus dijauhi, jika hendak selamat" (hlm 153). Pendidikan Barat membuat kedua orangtua merasa curiga pada dukun, tetapi pendidikan itu sendiri bukannya membuat mereka "menyadari" di mana letak "kekurangan" kepercayaan pada dukun tersebut, hanya membuat mereka mengikuti kata-kata guru tanpa mempertanyakannya.
Cara mereka kemudian mencari nama untuk anaknya pun sebetulnya sangat dekat dengan kepercayaan tradisional. Sang ayah bermimpi, lalu mimpi itu oleh istrinya diartikan sebagai "bisikan Tuhan". Di samping itu, sang ibu berharap nama yang diberikan akan mempengaruhi sifat anak itu. Jadi, apa yang biasanya dilakukan oleh dukun, yaitu mencari "wahyu" tentang nama yang tepat dan memilih nama yang akan punya pengaruh baik terhadap sifat dan keselamatan si anak, di sini dilakukan oleh kedua orangtua itu sendiri. Hanya saja, proses pemberian nama sedikit "dibaratkan": sang ayah bermimpi tentang Kota New York, dan kata Belanda openhartig (jujur) berdengking di telinganya, maka nama yang diberikan pada anak mereka: "Open".
Dengan ironis Idrus melukiskan sebuah kecenderungan dalam masyarakat Indonesia, yang masih juga terdapat sampai sekarang: hal-hal yang terkesan "kuno" dan "kampungan" (di sini dukun) ditolak, digantikan dengan "yang Barat" atau "yang modern", tetapi "yang Barat" itu sebetulnya cuma terkesan Barat, "modern" permukaannya saja, sedang intinya tetap "tradisional".
Sayang sekali karya yang begitu segar dan kritis seperti cerpen Idrus tersebut tidak begitu sering ditemukan dalam sastra Indonesia. Idrus dengan tajam menyoroti inti persoalan masyarakat pascakolonial seperti Indonesia, tetapi kesadarannya itu bisa dikatakan merupakan pengecualian, mungkin karena teori pascakolonial pun belum begitu dikenal di sini.
Tidak selalu yang "kuno" dan "kampungan" itu begitu buruk atau bodoh sama sekali. Bukankah ide yang ada di balik mantra bahwa realitas merupakan sesuatu yang (dapat) dibentuk oleh kata, ternyata telah kita "temukan" kembali pada zaman pascamodern ini?
Pluralisme sistem pengobatan di Indonesia di mana sistem biomedis menjadi sistem yang dominan, tetapi umumnya tidak dipahami dengan baik dan pengobatan asli Indonesia dikenal dan digunakan secara luas, tetapi kurang diakui dan dihargai tentu bukan sebuah realitas yang hadir begitu saja dengan sendirinya, tapi diciptakan mulai dari pendidikan Belanda pada zaman kolonial sampai sekarang. Penjajahan bukan hanya terjadi lewat kekerasan fisik, tetapi terutama sekali lewat sihir kata-kata (tekstualitas): misalnya lewat bacaan yang diedarkan kaum penjajah (antara lain buku-buku terbitan Balai Pustaka), iklan, pendidikan formal seperti yang digambarkan Idrus. Dan dalam wacana pengobatan tampaknya mantra yang digunakan penjajah cukup ampuh, paling tidak dalam membentuk nilai-nilai dalam masyarakat.