Tampilkan postingan dengan label Maklah Psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maklah Psikologi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Maret 2011

Abusive Relationships


 
Selama usia pernikahan saya yang sudah 10 tahun ini, saya tidak pernah sekali pun merasakan kebahagiaan meski sudah dikaruniai seorang anak. Memang, sejak awal bukan keinginan saya untuk menikah dengan suami saya yang sekarang karena “disodorkan” orang tua tanpa bisa memilih atau pun menolak. Dan, selama ini saya sekedar menjalankan peran sebagai istri dan ibu dari anak saya. Namun batin saya tersiksa karena sikapnya tidak hanya kasar di mulut, tetapi juga kasar di perilaku.....Coba saja, selalu ada yang salah di matanya....dan kata-katanya terdengar menyakitkan...tidak habis-habisnya celaan, omelan, gerutuan, bahkan caci-maki yang tidak pernah absen mendarat di telinga saya. Memang, dia tidak pernah memukul saya dan anak saya...tapi kalau sudah marah, lantas membanting barang-barang, memukul meja-banting pintu dan melakukan tindakan lain yang bikin hati saya dan anak ketakutan setengah mati. Pernah dia mengancam mau membunuh saya hanya karena saya terlambat pulang ke rumah sehabis ke rumah teman. Saya dan anak sangat ketakutan kalau dia ada di rumah......Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan karena saya merasa tidak berdaya....secara finansial saya sangat bergantung padanya karena terus terang saja,.....suami saya adalah satu-satunya penopang rumah tangga kami selama ini.....karena dia lah maka anak saya bisa bersekolah di sekolah yang bermutu, dan kehidupan materi kami terbilang sangat baik.....Tapi toh ternyata semua itu tidak membuat saya bahagia..........apa gunanya harta benda...jika saya selamanya hidup dalam ketakutan.......
Kasus diatas mungkin merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang seringkali dialami oleh pasangan suami istri. Masalah yang terjadi diatas sebenarnya bukanlah fenomena yang baru karena sudah terjadi sejak berabad-abad lalu. Apa yang dialami oleh si Ibu dan anaknya dalam kasus diatas merupakan gambaran dari suatu istilah yang disebut "Abusive Relationships". Abusive Relationships yang dialami oleh seseorang dapat berupa hilangnya kehangatan hubungan emosional, kecemburuan, pelecehan seksual sampai pada penyiksaan secara verbal terhadap pasangan. 
Di Indonesia, kasus penyiksaan terhadap pasangan belumlah terlalu diekspose untuk mendapatkan tidak hanya perhatian tapi juga perlindungan dan penanganan seperti di luar negeri. Faktor keengganan untuk menceritakan keadaan “dalam negeri” berperan menghambat penyelidikan atau bantuan yang dapat diberikan karena malu jika kekurangan sendiri sampai diketahui orang lain. Dan, memang hukum di Indonesia pun masih dapat dikatakan belum menjamin perlindungan bagi para korban penyiksaan pasangan sehingga mereka yang jadi korban khawatir jika kasusnya ini diketahui pihak berwajib malah jiwa mereka semakin terancam. Dampak dari persoalan penyiksaan ini tidak hanya dialami oleh pasangan, tetapi terutama oleh anak-anak, apalagi jika mereka selalu disuguhi “tontonan menyeramkan dan menegangkan” setiap melihat orang tuanya bertikai . Dampak tersebut akan membekas dan bisa menjadi trauma yang berkepanjangan dan akhirnya mempengaruhi hidup, karir dan perkawinan mereka di masa mendatang. Persoalan ini pula lah yang sebenarnya menstimulasi terjadinya perselingkuhan dari pihak yang satu karena dirinya merasa membutuhkan seseorang yang benar-benar memberikan cinta kasih dan perhatian. Akibatnya, persoalan rumah tangga akan semakin kacau balau dan sulit diselesaikan karena seiring dengan munculnya problem-problem tambahan yang semestinya tidak ada.

Seputar Abusive Relationships
Abusive relationships adalah bentuk hubungan yang sering diwarnai kecemburuan, tidak ada kehangatan emosional, kurangnya kualitas hubungan yang erat, pelecehan seksual, ketidaksetiaan, penyiksaan secara verbal, ancaman, dusta, pengingkaran janji, serta permainan kekuasaan (dari berbagai sumber).
Menurut para ahli dan psikolog, penyiksaan tersebut tidaklah selalu berbentuk fisik, namun bisa secara emosional. Sering orang tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan atau pun menjadi korban penyiksaan secara verbal ini karena menurut mereka hal itu biasa terjadi, normal atau karena “sudah wataknya” atau “sudah adatnya” atau pun mengingat latar belakang suku tertentu pasangan. Padahal, semakin seseorang itu tidak sadar, maka akan semakin sulit pulihnya kembali karena penyiksaan emosional (yang dilakukan secara verbal) yang berlangsung lama dan intensif akan menimbulkan persoalan kritis menyangkut self-esteem, rasa percaya diri dan sense of identity-nya. Lama kelamaan kekuatan psikisnya melemah sampai akhirnya dirinya yang jadi korban sudah hilang keberanian untuk keluar dari situasi tersebut. Makin lama ia akan semakin tergantung pada pihak yang dominan meski membuatnya menderita. Tapi ia merasa tidak punya pilihan lain dalam hidup. Apalagi, jika sang korban sejak awal memang mempunyai locus of control yang lemah, maka jika dihadapkan pada persoalan ini, ia hanya menyerah pada “nasib”. Malah sang korban bisa timbul pemikiran bahwa seburuk apapun perkawinan atau pun pasangannya, paling tidak ia bisa mendapatkan tempat tinggal, serta dipenuhi kebutuhan sandang pangannya, karena dia berpikir di luar sana belum tentu ia mendapatkan hal-hal yang ia butuhkan selama ini. Alhasil, pihak yang mendominasi akan semakin menjadi-jadi sikap dan perilakunya, karena melihat pasangannya semakin tidak berdaya, lemah dan mudah dihancurkan. Bagaikan melihat musuh yang sudah kalah, maka agresivitasnya makin menjadi.

Sikap Ganda yang Membingungkan
Hal yang membuat sang korban bingung untuk memutuskan atau menyelesaikan persoalan ini adalah karena sikap pasangannya yang membingungkan. Kadang pasangannya bisa sangat manis, perhatian, murah hati, memperlihatkan sikap yang tidak ingin ditinggal karena sangat membutuhkan kehadiran istri/suami (pihak korban), mereka berjanji untuk bersikap baik dan tidak lagi marah-marah, membelikan barang kesukaan pasangan yang mahal-mahal. Namun di lain waktu kebiasaan buruk itu akan kembali berulang. Bahkan bisa semakin menjadi jika ia mulai mencium adanya ancaman atau kemungkinan pasangannya akan meninggalkan dia atau melakukan tindakan yang menentangnya.

Asal Usul Perilaku Abusive
Pada kasus penyiksaan terhadap pasangan, sudah pasti hal itu dilandasi oleh masalah psikologis yang cukup berat  yang dialami oleh kedua pasangan (bukan salah satu, atau yang menjadi pelaku). Menurut penelitian para psikoanalis, mereka berpandangan bahwa para abuser (pelaku) sebenarnya pernah menjadi korban di masa lalu, di mana mereka juga mengalami perlakuan sama atau lebih parah yang diterimanya dari orang tua atau siapapun yang berperan dalam hidup mereka saat itu. Demikian juga pihak korban, pada umumnya mereka juga mempunyai masa lalu yang traumatis sehingga melahirkan sikap ketergantungan yang kronis. Hal ini lah yang menjelaskan mengapa seseorang selalu mengalami masalah yang sama meski sudah berulang kali menikah dan cerai dan menikah lagi  (lihat Karakteristik Kepribadian Abuser & Pasangannya).
Menjadi abuser atau pun korban sebenarnya bukanlah keinginan mereka, namun mereka seakan tidak mampu mengendalikan diri untuk tidak bersikap seperti itu karena dilandasi oleh trauma masa lalu yang berkaitan dengan masalah emosional, fisik ataupun seksual.  Menurut para ahli, pelakunya adalah orang yang hidupnya dipenuhi oleh rasa malu, rendah diri dan kekaburan identitas yang kronis. Oleh sebab itu, ia mencari pasangan yang sekiranya bisa diperlakukan dan memperlakukannya sedemikian rupa sehingga harga diri dan identitasnya terangkat. Di mata pasangannya lah ia merasa dirinya seseorang yang berkuasa atau sangat berharga dan sangat dibutuhkan. Oleh karena itu pula ia amat sangat tergantung dan membutuhkan pasangan, sehingga merasa amat marah dan terancam jika pasangan mulai menunjukkan tanda-tanda ingin meninggalkannya.

Bagaimana Penanganannya?
Untuk menghentikan pola seperti ini dibutuhkan penanganan yang serius karena sikap abusive ataupun being abused itu sendiri sering disertai oleh ketergantungan terhadap sesuatu, entah itu seksual, drugs, hormat, ketenaran, kekuasaan, pengakuan, kasih sayang dan perhatian, pekerjaan, uang atau pun hal-hal lainnya. Jadi, yang bersangkutan harus diterapi secara khusus untuk membersihkan diri dari segala ketergantungan dan berusaha menerima diri apa adanya serta memulihkan – mengembangkan jati diri sejati yang dimilikinya.
Proses terapi yang dilakukan juga bermaksud untuk menyadarkan sang abuser atau pun korban akan asal muasal perilakunya itu tanpa mempersalahkan keadaan atau pun orang lain. Dengan demikian, terapi bertujuan untuk sedikit demi sedikit menghilangkan akar pahit masa lalu yang terus menerus disimpan namun kemudian meracuni setiap hubungan yang terjalin. Terapi tersebut juga bertujuan untuk membuat subyeknya bisa merubah cara berpikir dan persepsinya terhadap orang ataupun situasi yang dijumpai, agar mereka tidak menjadi manipulatif (secara tidak sadar) karena ingin selalu diutamakan. Mereka perlu merubah sikap yang selalu menuntut kasih sayang dan perhatian yang tidak pernah mencapai kepuasan, dengan sikap kebalikan, yaitu memberi cinta kasih dan perhatian secara dewasa. Untuk bisa mencapai ke arah sana diperlukan pemulihan diri terlebih dahulu untuk bisa merasa percaya pada diri sendiri, bahwa segala sesuatu, kebahagiaan maupun kesusahan, keberhasilan maupun kegagalan merupakan tanggung jawab diri sendiri, dan tidak tergantung pada orang lain.
Namun yang paling penting adalah kesadaran bahwa dirinya ingin berubah dan ingin merubah pola interaksi yang selama ini membelenggu dan membatasi munculnya hubungan sejati yang dilandasi oleh rasa cinta dan kepercayaan.  
Kerja sama dan kepedulian kedua belah pihak terhadap jalannya proses terapi itu sendiri akan sangat mendukung keberhasilan program. Tidak atau sangat sulit merubah suatu hubungan jika hanya dilakukan oleh salah satu pihak, karena dalam setiap keberhasilan hubungan membutuhkan kejujuran, keterbukaan dan kemauan keduabelah pihak untuk sama-sama menjalani dan menyelesaikan persoalan itu. Namun, jika ternyata pihak abuser (yang melakukan penyiksaan) itu tidak punya keinginan untuk berubah, maka cara yang bisa dilakukan pihak korban adalah menjauh darinya dan segera mencari pertolongan dan perlindungan yang menjamin keselamatan diri.

Membaca Pesan Politis Teror Bom Bali II

Terorisme dalam bentuk apa pun selalu berkaitan dengan rasa takut yang ekstrem dalam masyarakat karena coraknya yang ekstranormal: melebihi batas-batas pelanggaran yang dapat diterima secara sosial.
Rasa takut itu akan bergejolak pada masyarakat yang memiliki rentang mulai dari berpihak, netral, sampai menentang terorisme. Para teroris memilih bermain pada lapangan yang paling menakutkan manusia: kematian.
Meski terorisme itu sendiri bisa dilakukan dalam banyak cara, tragedi bom Bali II kian mengonotasikan terorisme dengan peledakan bom. Berbagai asumsi yang dikembangkan sering kali bermuara pada anggapan bahwa kelompok teroris ingin menunjukkan protes, perjuangan ideologi, dan eksistensi kelompok.
Pertanyaannya: mengapa terorisme menarik dijadikan instrumen perjuangan ideologi? Mengapa mereka memilih strategi perlawanan dengan bom? Dan, yang sering kali terlupakan, mengapa mereka mampu merekrut pengikut-pengikut loyal yang notabene adalah kaum muda? Pertanyaan-pertanyaan ini menarik dilihat dengan kacamata psikologi politik.

Rasionalitas terorisme
Tindakan teroris bukanlah tindakan irasional, melainkan rasional. Kerasionalan kelompok ini terlihat jelas dalam idealisme yang diperjuangkan. Saking rasionalnya, pemerintah menyerukan pencarian otak di balik serangan, bukan binatang di balik serangan. Aksi mereka memang sangat emosional, tetapi itu perlu dilihat sebagai frustrasi yang muncul dalam idealisme mereka.
Dalam setiap aksinya, kelompok teroris selalu mempropagandakan perjuangan yang belum selesai atau aspirasi yang belum tersalurkan. Penyaluran itu dapat dipetakan dalam dua wilayah: nasional dan internasional. Isu terorisme internasional yang dikumandangkan Amerika Serikat telah menjadi bagian dari sikap masyarakat internasional terhadap terorisme.
Karena itu, kelompok teroris pun bermain pada tataran yang sama. Sasaran utama mereka adalah memengaruhi kebijakan-kebijakan politis yang berskala internasional. Aksinya adalah membom Bali sebagai daerah pariwisata yang ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.

Terorisme sebagai kelompok
Terorisme dapat dilakukan individu atau kelompok. Jika terorisme dilakukan kelompok, tidak perlu disangsikan bahwa tindakan mereka dilakukan secara purposif dan sistematis. Sebagai kelompok, terorisme mensyaratkan adanya sistem organisatoris dan hierarkis yang memiliki pemimpin dan yang terpenting adalah pengikut.
Pemimpin kelompok teroris sangat bervariasi, mulai dari sangat ekstrover sampai pada sangat neurotis. Pemimpin yang ekstrover biasanya lebih tenang menjalankan aksinya karena toleransinya yang lebih tinggi terhadap ketegangan. Pemimpin tipe ini adalah pencari stres yang menjadikan kemarahan pemerintah dan publik sebagai sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, perangkat secanggih apa pun bukanlah jaminan untuk meniadakan kegiatan mereka.
Lebih penting daripada itu adalah kenyataan bahwa pemimpin organisasi hanya bisa menjalankan idealismenya lewat ketersediaan dana dan perekrutan tenaga kerja yang andal. Pengikut terorisme dapat dibagi menjadi dua kelompok: pengikut aktif dan pengikut pasif.
Pengikut aktif bertugas dalam propaganda, hubungan publik, pemalsuan identitas, dan logistik; sementara pengikut pasif berada di luar kelompok dan berperan dalam perekrutan anggota. Karena itu, jalurnya menjadi tak sesempit yang kita duga.
Dalam kelompok mana saja, selalu ada upaya untuk menciptakan kohesi, kepercayaan, dan konfirmitas kelompok. Khusus pada kelompok teroris, pelaksanaannya bisa dengan menyuarakan perasaan senasib dan solidaritas kematian anggota kelompok.
Perasaan senasib berpengaruh besar bagi kepercayaan dalam kelompok; sementara kematian anggota dapat memperkuat kohesi kelompok karena reaksi emosional terhadap anggota yang hilang. Lebih jauh, rasa kehilangan ini akan meningkatkan konformitas kelompok. Dalam psikologi, ini disebut introyeksi terhadap obyek yang hilang.

Efek krisis perkembangan
Setiap psikolog akan sepakat bahwa tidak ada kepribadian teroris karena terorisme itu hanyalah instrumen untuk mencapai tujuan ideologis. Peran psikologi hanya berkutat pada kajian alasan-alasan psikologis yang mendorong seseorang ke arah terorisme.
Cermatilah pelaku-pelaku bom bunuh diri itu! Mereka adalah pemuda-pemuda yang masih remaja atau dewasa awal. Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka memisahkan diri dari masyarakat dan masuk ke dalam subkultur radikal seperti itu?
Teori psikososial Erikson dapat membantu kita memahami perilaku ”gila” ini. Pencarian jati diri adalah permasalahan sentral dalam hidup manusia. Mencari jati diri berarti berusaha menemukan diri (siapa sih aku ini?).
Menurut Erikson, perkembangan jati diri manusia berjalan melalui delapan tahap yang meliputi: kepercayaan lawan ketidakpercayaan (0-1 tahun), otonomi lawan keraguan (2-3 tahun), inisiatif lawan rasa bersalah (4-5 tahun), kerajinan lawan rasa rendah diri (6-11 tahun), identitas lawan kebingungan peran (masa remaja), keintiman lawan isolasi (masa dewasa awal), generativitas lawan stagnasi (masa dewasa madya), integritas lawan keputusasaan (lanjut usia).
Istilah lawan menunjukkan bahwa setiap perkembangan selalu disertai krisis yang harus dihadapi. Ketika menjalani tahap tertentu, setiap orang akan mengalami konflik yang, jika tidak diselesaikan, akan menghambat perkembangannya.
Bentuk ekstrem kegagalan dalam membentuk jati diri adalah munculnya jati diri negatif, yaitu gambaran diri yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diajarkan masyarakat. Dengan menerima jati diri negatif, seseorang berani melakukan apa yang dilarang masyarakat.
Namun, bagaimana dengan rasa bersalah mereka? Sebenarnya mereka menyadari sepenuh hati penyimpangan itu, tetapi mereka memilih merepresinya atau menekannya ke alam bawah sadar. Kesadaran akan penyimpangan itu terobati tatkala mereka bisa menemukan orang-orang lain yang senasib.
Setelah melebur dalam kebersamaan, ideologi kelompok bisa disuntikkan kepada mereka. Jadi, para teroris bukanlah robot-robot yang tidak berperikemanusiaan, melainkan manusia yang merepresi perikemanusiaannya.

Produk keluarga
Tampaknya kajian biografis para teroris di Indonesia perlu dilakukan untuk memahami dinamika psikologis yang melatarbelakangi tindakan mereka. Mereka sudah menampilkan diri sebagai pemuda-pemuda yang nekat dan tidak lagi mencintai kehidupan sehingga apa yang oleh Freud disebut thanatos (dorongan untuk mati) menjadi dominan.
Para teroris bukanlah produk agama, melainkan produk keluarga. Semua agama mengajarkan kebaikan. Lalu, dari mana datangnya? Schmidtchen berpendapat banyak teroris berasal dari keluarga-keluarga yang menekankan pencapaian prestasi yang gemilang bagi anak-anaknya.
Jika jati diri positif mustahil dicapai, anak-anak lebih suka diberi label ”buruk”. Jika toh keluarga masih bisa menekan dan menyudutkannya, anak akan memilih untuk menjadi yang terburuk. Dengan begitu, dia tinggal menunggu jemputan orang lain yang senasib dengannya untuk menjadi bagian dalam subkultur radikal.
Akhirnya, sambil menantikan hasil kerja intelijen dalam mengungkap pelaku terorisme, kita secara aktif dapat mengupayakan pencegahan. Efek psikologis yang sekarang muncul bukan hanya bahaya fisik yang menakutkan, tetapi juga bahaya dari gambaran mental yang dibuat masyarakat tentang terorisme.
Inilah dampak psikologis jangka panjang yang parah bagi masyarakat sekaligus menjadi kesenangan bagi kelompok teroris. Betapa tidak, masyarakat kita mulai mengidap kecemasan, disorientasi hidup, dan ketidakberdayaan yang tercermin dalam kondisi paranoid tatkala bepergian. Sudahkah masyarakat kita berkembang menjadi insane society atau mungkin society yang semakin insane? Mari membendungnya dengan mempropagandakan gerakan kembali pada cinta dan perhatian pada anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga.

Perilaku Kekerasan pada Anak: Apakah hukuman saja cukup?

Akhir-akhir ini media dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak-anak. Dalam berbagai berita dikesankan bahwa seolah-olah kekerasan seperti itu meningkat drastis aknir-akhir ini. Ini tentu tidak benar, kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi di komunitas kita. Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan dan kejenuhan pemirsa terhadap berbagai berita politk dan social yang mengisi wahana informasi publik.
Apakah, pemberitaan itu juga mencerminkan perhatian publik yang makin serius dengan persoalan ini? Hal ini susah diukur, karena sejak lama kita telah disuguhi dengan berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang tingkat kesadisannya bervariasi, tetapi komunitas terpelajar dan pengembang kebijakan “tenang-tenang” saja, seperti menderita sindroma ketakberdayaan.

Diberlakukannya UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak seolah menjadi antiklimaks dari banyak aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan tingkat kejadian kekerasan pada anak. UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai efek deteren karena belum banyak dikenal oleh aparat maupun masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan tetap berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena sikon hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.
Untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan sekaligus. Di Malaysia, misalnya selain UU perlindungan anak dan KDRT yang telah ada, dengan segera pemerintah kerajaan membuat sebuah sistem deteksi dini, rujukan, penanganan terpadu untuk menanggapi masalah kekerasaan. Di Malaysia sejak awal tahu 90-an telah dibentuk SCAN TEAM ( Suspected Child Abuse and Neglect Team ) yang keberadaannya diakui oleh seluruh jajaran pemerintahan sampai pada tingkat RT dan anggota teamnya terdiri dari relawan masyarakat dan pegawai kerajaan, serta anggota kepolisian dan profesi kesehatan. Setiap kasusu ditangani secara terpadu dan semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan biayanya ditanggung oleh pemerintah federal. Dengan sistem seperti ini, masyarakat tahu apa yang mereka harus perbuat dan tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan ketika menyaksikan peristiwa kekerasaan terhadap anak.
Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, kita mempunyai pihak-pihak yang dianggap berwenang dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian, pekerja sosial masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan – tetapi peranan mereka tidak diatur salam sebuah sistem yang memungkinkan mereka saling bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Oleh karena itu jangan heran jika masyarakat tidak tahu apa yang mereka perbuat, takut, atau ragu-ragu untuk melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat peristiwa kekerasan tehadap anak.
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak diketahuia apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak. Yang tampak jelas adalah bahwa pelaku kekerasaan adalah orang tua yang mengalami tekanan ekonomi cukup berat dan persoalan relasi gender. Untuk itu hukuman yang didasarkan atas UU saja tentu tidak cukup.
Mengatasi kekerasan terhadap anak yang cukup endemik di Indonesia pasti tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Advokasi dan pendidikan masyarakat yang intensif sangat dibutuhkan, demikian juga penanganan sosial psikologis terhadap pelaku. Setiap pelaku kekerasaan seperti yang diberitakan oleh media akan menerima berbagai bentuk hukuman baik dari rasa bersalah terhadap dirinya sendiri, dari keluarga dan masyarakat sekitarnya dan dari instansi peradilan. Semua bentuk hukuman ini tidak akan membuat para pelaku jera untuk melakukannya lagi karena tindak kekerasaan terhadap anak merupakan masalah kognitif ( cara berfikir ), perilaku ( terbentuknya kebiasaan untuk bereaksi terhadap perilaku anak ), dan sosial kultural ( adanya keyakinan dan praktik-praktik yang memperoleh legitimasi dan restu masyarakat ). Agar tindakan kekerasaan itu tidak berulang kembali maka para pelaku harus dibantu untuk mengatasi berbagai persoalan dalam ranah-ranah tersebut. Tentu ini bukan pekerjaan mudah dan akan memakan waktu cukup lama. Akan tetapi tanpa tindakan seperti itu mereka akan tetap berpotensi untuk melakukan kekerasaan.
Karena sistem perlindungan untuk anak masih lemah dan advokasi masalah tersebut seolah jalan ditempat, maka kita perlu berpikir kreatif. Antara lain, kita perlu memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan para pelaku kekerasan untuk memberikan pendidikan masyarakat. Kiat ini tentunya akan menuai kontroversi. Bagi saya pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang yang sering kali tidak mampu mengatasi nasibnya sendiri untuk menjadi warga masyarakat yang baik. Mereka, sebagaimana kriminal yang lain juga, dalam perjalanan hidupnya kemungkinan besar pernah menjadi korban. Pada saat itu tak seorangpun datang untuk menolong mereka sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan keyakinan bahwa kemalanagan itu dan segala kekerasaan yang diterimanya memang menjadi bagian dari hidupnya.
Bantuan sosial-psikologis terhadap pelaku kekerasan dalam persoalan KDRT, seharusnya menjadi bagian integral dalam prevensi primer dan sekunder. Melalui bantuan seperti itu, kita mencegah mereka mengulang tindakannya. Selain itu, beberapa di antaranya mungkin dapat diberdayakan untuk keluar dari stigmatisasi masyarakat dan siksaan batinnya untuk membantu orang lain agar tidak melakukan kekerasan pada anak. Mereka adalah sumber yang dapat dipercaya karena mereka pernah dalam keadaan emosional dan mental yang menjadikan mereka tidak lebih baik dari binatang. Mereka adalah manusia-manusia yang pernah bersentuhan dengan bagian yang paling gelap dari sifat kemanusiaan mereka. Jika pengalaman mereka dapat direkonstruksi menjadi enerji positif untuk mengatasi masalah yang amat kompleks dan sulit ini, bukankah ini jauh lebih baik dari pada tenggelam dalam lingakaran setan hukuman dan kekerasan? Jika rasa bersalah atau kemarahan yang ada pada pelaku kekerasan dapat kita kemas ulang menjadi kepedulian dan tanggung jawab, bukankah ini ”bayaran” yang lebih dari cukup dari kekejamannya? Bersamaan dengan itu, kita jelas harus membangun sistem perlindungan yang betul-betul user’s friendly. Mari kita renungkan bersama.

Konsep Kerja Cerdas

Mula-mula ekonom Itali  bernama Vilfredo Pareto (1848 - 1923) itu baru setengah kaget dengan hasil penelitiannya. Bahwa 80% kekayaan negara hanya dinikmati oleh  20% kelompok tertentu dari penduduk. Dengan kata lain, 80% dari penduduk hanya berkesempatan menikmati 20% dari kekayaan negara. Katakanlah kalau diasumsikan jumlah penduduk seluruhnya mencapai 100 juta jiwa, berarti hanya 20 juta jiwa yang kaya raya dengan mendapat 80% kekayaan negara. Sisa penduduk yang berjumlah 80 juta jiwa hidup pas-pasan karena kue negara yang hanya 20% harus dibagi-bagi. Karena setengah kaget dengan hasil penelitian tersebut, Pareto kemudian mengadakan penelitian di lain negara, ternyata hasilnya sama atau hampir sama.
Hasil penelitian Pareto ini sejak tahun 1897 akhirnya diresmikan menjadi sebuah rumus atau formula dengan berbagai macam nama: Pareto Principle; The Pareto Law; The 80/20 rule; The Principle of Least Effort; atau The principle of  Imbalance. Konon karena Pareto dinilai kurang artikulatif dalam menjajakan temuannya ini berdasarkan perkembangan metodologi dan konteks penelitian, akhirnya mendorong para pakar  untuk ikut terjun  melengkapi rumus atau temuan yang dinilai sangat berguna bagi pencerahan peradaban manusia ini. Tahun 1949, George K  Zipf, seorang professor dari Harvard University,  mengembangkan wilayah penelitian dengan menjadikan temuan Pareto sebagai acuan. Hasilnya bahwa manusia, benda-benda, waktu, keahlian, atau semua alat produksi telah memiliki aturan alamiah yang berkaitan antara hasil dan aktivitas dengan jumlah perbandingan mulai dari 80/20 atau 70/30. Contoh:
 
Karena dianggap memberi pencerahan,  rumus tersebut lalu diterapkan ke dalam pengembangan pribadi . Ternyata para pakar di bidangnya masing-masing menemukan sesuatu yang kira-kira sama dengan temuan Pareto. Artinya jika bicara hasil, ketepatan proses, dan kualitas maka hal-hal tersebut erat hubungannya dengan how well atau how good are you doing,  bukan how often dan how long. Dengan kata lain hasil yang diperoleh ditentukan sejauhmana anda bisa bekerja secara cerdas. Beberapa contoh:
  • Dalam dunia bisnis, untuk merebut pasar anda harus berpikir minimalistis dalam arti ketepatan strategi yang tidak melebihi kebutuhan pasar. Artinya temukan 20% dari strategi yang bisa merebut 80% daya tarik pasar dengan memberi 80% premiun solusi kepada 20% pelanggan setia. Jangan mengobral strategi yang justru menghabiskan 80% cost padahal hanya akan menciptakan 20% rate of return (Mack Hanan, dalam Fast Growth Strategy, McGraw-Hill International, Singapore, 1987).
  • Penelitian dalam hal efektivitas dan efisiensi  waktu menemukan bahwa 80% prestasi seseorang di bidang apapun diraih dari  20%  waktu yang dikeluarkan. Dan 80% kebahagian hidup ditentukan dari 20% waktu yang digunakan untuk mencarinya. Tanyalah pada diri anda, berapa jumlah waktu yang benar-benar anda gunakan dalam kaitan dengan tujuan anda pergi ke kantor selain waktu macet, ngobrol, atau melamun, atau membicarakan persoalan lain dengan kawan kerja? Jika jawaban anda ternyata menggunakan rumus yang sebaliknya maka anda tidak memiliki perbedaan dengan orang lain dan itu smaa artinya bahwa anda belum menerapkan cara kerja cerdas.

Aplikasi Kerja Cerdas
Sebagai bangsa yang agamis sekaligus kaya budaya leluhur, sebenarnya seruan kerja cerdas ini bukanlah barang baru. Tetapi persoalannya lagi - lagi berupa tools yang tidak di-update.  Selain disampaikan dengan "bahasa langit" yang seringkali menafikan proses pemahaman secara ilmiah dan alamiah  pun juga tidak dilakukan elaborasi kontekstual. Akibatnya pemahaman tentang ajaran agama dan budaya hanya bekerja pada persoalan yang bersifat minoritas dalam kehidupan nyata. Sebelum Pareto mengumumkan hasil penelitiannya dengan formula 80/20, kita sudah diajarkan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan mubazir atau yang tidak perlu. Sayangnya, ajaran mubazir yang kita pahami hanya sebatas kalau kita membuang makanan yang tersisa. Amat jarang kita berpikir mubazir secara profesi, ekonomi, atau strategi.
Untuk menjauhkan diri dari tindakan yang mubazir dalam kaitan dengan realisasi kerja cerdas harus dimulai dari langkah-langkah berikut:
1. Fokus pada skala pengembangan
Jika anda yakin bahwa diri anda memiliki keunggulan atau bakat alamiah, disamping memiliki kelemahan yang diakibatkan oleh faktor heriditas atau lingkungan, maka yang benar-benar anda butuhkan adalah  hidup dengan keunggulan tersebut secara cerdas (living with the advantage competitive factors). Hanya jika anda menemukan strategi hidup dengan keunggulan, maka anda akan keluar dari batas rata-rata prestasi lingkungan. Sebelum itu, paling maksimal yang bisa anda capai adalah kualitas hidup seperti orang lain atau  seperti yang diraih oleh sepuluh orang yang anda kenal  paling dekat.  Lalu ke mana keunggulan tersebut diarahkan? Jelas, keunggulan itu harus diarahkan untuk mengoptimalkan apa yang disebut dalam rumusan Pareto dengan 20% of determining factors (factor penentu). Oleh karena itu, temukan apa saja yang menjadi faktor penentu keberhasilan anda dari sekian daftar kegiatan yang anda lakukan dalam hidup. Tinggalkan hal-hal yang tidak perlu dan fgokuskan hanya pada hal-hal yang berpotensi untuk pengembangan diri.

2. Berani Berkorban
Di dalam dunia yang sebesar ini terdapat sekian banyak "persoalan kecil" yang kalau anda tidak berani berkorban untuk memaafkannya bisa jadi persoalan itu akan mendominasi muatan pikiran anda yang akhirnya bisa  membuat anda melupakan  sisi keunggulan, cita-cita, fokus pengembangan diri, dan lain-lain. Contoh yang paling sederhana dan sering terjadi di depan mata kita adalah ketika sedang di jalan raya. Di luar dari persoalan tabrakan serius, terkadang hanya karena mobilnya tersenggol sedikit saja orang rela membuang banyak waktu dan kebahagiannya pergi ke kantor. Bahkan bisa berkembang ke arah baku hantam. Padahal kalau dimaafkan (mau berkorban sedikit dengan kehilangan uang beberapa ratus ribu saja untuk memperbaiki mobil yang lecet), maka semua urusan selesai. 
Auditlah pikiran anda, persoalan apa saja yang kalau anda memaafkannya tidak akan merugikan anda secara misi atau visi dan tidak mengganti isi pikiran anda dengan muatan negatif. Untuk mengetahui apakah persoalan yang sedang anda hadapi tidak akan merugikan anda , gunakan standard audit berikut:
  • Apa saja yang menurut anda menjadi prioritas utama dalam kehidupan
  • Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan penting dan tidak penting
  • Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan darurat dan tidak darurat yang bisa jadi tidak penting dan tidak prioritas
  • Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan "sampah" - tidak penting, tidak mendesak dan bukan prioritas utama. Namun dalam hal ini anda perlu menyeleksi secara ketat dan hati-hati, sebab bahayanya kalau anda secara mudah memasukan persoalan ke tong sampah ini maka anda bisa terjebak untuk meninggalkan misi atau fokus hidup hanya karena alasan mempertahankan posisi atau kondisi yang ada. Jika anda terjebak maka akhirnya rumus yang terjadi bukanlah 80/20 tetapi sebaliknya. 

3. Membuat Sekat Pembatas
Pada akhirnya anda harus menentukan batasan-batasan tentang apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, apa modal yang dimiliki, dan akan kemana anda mengarahkan hidup anda. Dalam proses inilah terjadi seleksi dan pengecualian. Dari sekian luas dunia dan isinya, apa saja yang telah anda seleksi menjadi hal yang benar-benar anda inginkan sesuai format pondasi personal anda seperti: kiblat hidup, cita-cita, tujuan, target dan tindakan.
Semakin jelas anda memiliki format seleksi dan pengecualian, fokus pada pengembangan diri diiringi keberanian berkorban dengan memahami,  mengakui, membuang sesuatu yang tidak dibutuhkan dalam diri anda,   maka  akan semakin jelas wilayah dunia yang menjadi "hak" anda sehingga semakin tersimpulkan apa yang menjadi determining factors to success itu. Artinya faktor penentu semakin sedikit dan semakin sederhana dan biasanya yang sederhana itu justru akan bisa bekerja optimal. Sementara yang cenderung pelik, ruwet dan kompleks biasanya mandul. Semoga berguna.

Blokade Mental

  Menjadi manusia efektif ternyata tidak saja menuntut optimalisasi keunggulan semata melainkan ada kebutuhan lain yang sebesar optimalisasi, yaitu menyingkirkan blokade.  Blokade adalah barrier (halangan) yang menghambat potensi kita untuk dapat berfungsi  seperti yang kita maksudkan sehingga akhirnya menjadi tidak efektif atau banyak menelan pemborosan energi,  waktu dan konsentrasi. Ibarat sebuah talang, jika air tidak mengalir  selancar yang seharusnya  terjadi  berarti terdapat  kemungkinan tanda tanya, “there is something technically/strategically wrong”.   Bisa jadi talang itu bocor dan membuat kucuran air membanjiri tempat lain yang tidak diinginkan atau aliran air terhalang oleh tumpukan benda-benda kecil.

Peristiwa di mana orang menjalani hidup tidak efektif – sebagaimana talang – tidak selamanya disebabkan oleh faktor ketidamampuan (over-burden) tetapi oleh adanya kebocoran atau kemampetan. Kalau mengutip rumusan Paretto (20:80), blokade itulah yang membuat kita menjalani hidup sebaliknya (80:20). Kita mengeluarkan energi 80 % dan hanya menghasilkan 20 % dari sasaran. Padahal mestinya 20 % kita keluarkan dan mendapatkan 80 % sasaran atau setidaknya 30:70, 40:60 atau 50:50. Pertanyaannya, bentuk blokade apakah yang menghambat tersebut? 
 
Kemampuan dan Kebiasaan
Setelah mengeluarkan pendapat tentang “The Seven Habit – The Most Effective People” , Covey menemukan hubungan korelatif antara kebiasaan efektif dan tingkat aktualisasi  kemampuan dasar manusia (dalam: Seven Habit Revisited: seven unique human endowment, Stephen Covey: 1996-1998). Di dalam diri manusia terdapat tujuh kemampuan dasar  yang berasosiasi dengan model kebiasaan menurut kontinum tertentu. Tujuh kemampuan dasar (endowment) itu antara lain: 1) Kesadaran-diri (self awareness), 2) imajinasi  (imagination and conscience), 3) Kemauan (will power), 4) mentalitas berlimpah (abundance mentality), 5) Keberanian (courage with consideration), 6 ) Kreativitas (creativity), 7) Pembaruan (self renewal). Ketujuh kemampuan dasar itu digolongkan menjadi dua, yaitu primer (1,2, 3) dan sekunder (4, 5, 6, 7).
Adapun tujuh kebiasaan manusia efektif (seperti yang sudah dijelaskan dalam buku Covey yang telah beredar di sini) adalah: 1) Proaktif (Proactive), 2) Berawal dari tujuan akhir (Begin with the end), 3) Mengutamakan yang utama (First thing first), 4) Berpikir menang-menang (Think win-win), 5) Memahami lebih dulu (seek first to understand), 6) sinergisitas (synergize), 7) Mengasah gergaji (sharpen the saw).
Mari kita mulai membahas bagaimana ketujuh kemampuan dasar (seven endowments) itu menciptakan tujuh kebiasaan tertentu (Seven habits) berdasarkan peringkatnya. Peringkat yang dimaksud adalah tingkat pencapaian kualitas pengembangan diri / aktualisasi kemampuan potensial:  
 
1. Kesadaran Diri - Proaktif 
   
Kesadaran-diri adalah kemampuan kunci untuk memahami orang lain dan dunia ini - ‘what is happening and how something takes the process to happen’. Bahkan kesadaran-diri merupakan pintu untuk mengenal di mana sebenarnya keunggulan/kelemahan diri kita. Dengan kesadaran-diri yang tinggi maka kaki kita mantap menginjak realitas bumi dan tidak ragu-ragu dalam bertindak. 
Kemampuan tentang kesadaran-diri apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan efektif  berupa proaktif: memiliki kemampuan untuk memilih respon yang cocok atau menentukan keputusan. Dikatakan kebiasaan efektif  karena   semua persoalan tidak ada yang membingungkan apabila ditangani oleh orang yang berkapasitas mampu mengambil keputusan. Kualitas menjadi pengambil keputusan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh orang dengan kesadaran-diri setengah-setengah.
Pada level aktualisasi kemampuan yang  rendah,  kebiasaan hidup yang dihasilkan tidak efektif ( talang bocor) yaitu kebiasaan reaktif – tidak memiliki kemampuan memilih alias dibentuk oleh bagaimana orang lain dan keadaan membentuknya. Di level ini semua persoalan besar/kecil akan  membuat dirinya ‘bingung’ - terombang ambing, bahkan bisa jadi tidak tahu mana yang besar dan mana yang kecil.
 
2. Imajinasi – Tujuan akhir
   
Kemampuan imajinasi apabila diaktualkan secara optimal  dengan petunjuk kesadaran dan prinsip akan menghasilkan kebiasaan hidup yang bermuara pada tujuan akhir/kepentingan misi. Orang yang telah melatih imajinasinya pada level tinggi senantiasa akan membuat lilin harapan dan visi menyala sehingga tidak mudah digoda oleh berbagai bentuk distraksi dari luar dan dari dalam  atau tidak mudah kalut oleh kegelapan realitas temporer. Kondisi internal yang terus tercerahkan (enlightenment) oleh lilin harapan dan visi inilah yang membuat dirinya realistic (berada di atas realitas) atau victor (pemenang) dan effective.
Sebaliknya, pada level aktualisasi kemampuan yang  rendah di mana orang membiarkan imajinasinya liar kemana-mana tanpa kesadaran atau prinsip yang jelas akan menghasilkan cetakan kebiasaan hidup yang tidak berbentuk, atau menjadi korban (victim), sudah kemana-mana tetapi tidak menemukan apa-apa (sense of futility about goal). Imajinasi yang liar bisa terjadi kapan pun dan di manapun yang lazimnya kita kenal dengan aktivitas ‘ngelamun’. Secara permukaan sulit dibedakan antara orang ngelamun dan orang yang melatih imajinasi dengan bervisualisasi kreatif tetapi dalam hitungan yang ke sekian kali perbedaan itu akan sebesar kemutahiran kreasi. Bukankah semua temuan tekhnologi berawal dari imajinasi ?
 
3. Kemauan - Mengutamakan yang Utama 
   
Kemampuan manusia berupa kemauan apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup teratur - mengutamakan yang utama, dan penuh displin dalam membuat tata letak antara prioritas utama, kepentingan, dan urgensitas. Keteraturan dan displin tidak dapat diraih tanpa kemauan keras untuk merebut tanggung jawab. Orang yang tahu tata letak akan membuat kebiasaan hidup efektif.
Pada level aktualisasi yang  rendah, kemampuan ini akan menghasilkan kebiasaan hidup berupa mentalitas jalan-pintas, atau the simple answer, menolak tanggung jawab hidup sehingga tidak terjadi keteraturan. Membesar-besarkan hal yang kecil dan mengabaikan hal yang menjadi benih-benih   peristiwa besar  (kebocoran atau kemampetan talang).  Orang yang malas tidak berarti hidupnya efektif meskipun ia menolak bertanggung jawab karena pada dasarnya hidup ini tidak memberi pilihan antara  bertanggung jawab atau tidak, melainkan harus bertanggung jawab.
 
4. Mentalitas Berlimpah - Berpikir Menang-menang 
   
Kemampuan mentalitas atau kapasitas mental yang diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan berpikir menang-menang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Mentalitas berlimpah akan menghasilkan karakter kepribadian berprinsip. Prinsiplah yang menjadi sumber keberlimpahan, kemakmuran dan keamanan. Kalau dikaitkan dengan kecerdasan EQ, tingkat kecerdasan yang tinggi akan mampu memproduksi kebahagian di dalam sehingga berkuranglah tingkat  dependensinya terhadap   sumber kebahagian dari  luar .  Semakin kuat orang memegang ‘principle-centered’ (berpusat pada prinsip hidup), semakin mudah orang tersebut mengalirkan rasa cinta/penghargaan kepada orang lain - to share recognition. Oleh karena itu  dikatakan, mentalitas berlimpah akan menghasilkan profit dan power.
Sebaliknya pada  level aktualisasi yang rendah akan menghasilkan kebiasaan hidup talang bocor berupa mentalitas kerdil (scarcity) di mana orang merasa kurang dengan dirinya. Rasa bahagia, rasa aman, dan rasa makmur tidak mampu diciptakan oleh dirinya melainkan merasa harus bergantung kepada orang lain sehingga tidak mudah memberi maaf atas kesalahan apapun yang dilakukan oleh mereka. Suami/istri yang bermentalitas kerdil akan mudah bentrok walaupun pemicunya berupa sendok makan yang jatuh padahal (mestinya) cukup diselesaikan dengan memaafkan sedikit. Karena tidak mampu memaafkan akhirnya  membuat kebocoran tidak hanya menetes melainkan mengalir deras,  dan akhirnya banjirlah rumah tangga.
 
5. Keberanian - Memahami Lebih Dahulu 
   
Kemampuan keberanian apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan efektif berupa memahami lebih  dulu baru akan dipahami. Memahami  lebih dulu membutuhkan keberanian dengan pertimbangan. Dikatakan efektif karena memahami lebih dulu akan  (biasanya) membuat kita dipahami lebih dulu. Memahami lebih dulu adalah membuka talang yang macet atau kalau dipinjamkan dari istilah lain, memahami lebih dulu adalah kebiasaan empati, bukan simpati.
Sebaliknya keberanian yang tidak diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup tidak efektif berupa keinginan untuk dipahami lebih dulu baru akan memahami. Jika dikembalikan ke kehidupan kita, akar dari sebab persoalan besar adalah dasar berkomunikasi yang ingin dipahami lebih dulu. Semua orang memang secara alami ingin dipahami lebih dulu. 
 
6. Kreativitas - Sinergisitas 
   
Kemampuan kreativitas apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup efektif berupa terciptanya keunggulan sinergis dari perbedaan atau persamaan. Keunggulan sinergis adalah manifestasi kesadaran misi dan tidak dapat diraih dengan pendewaan posisi. Salah satu karakteristik keunggulan sinergis adalah terciptanya saluran komunikasi di antara respectful minds yang berinteraksi untuk menemukan kompromi dan  kerjasama. Kenyataan seringkali mengajarkan bahwa pada akhirnya, kerjsa sama  yang diolah dengan kreativitas akan menang melebihi ‘confrontation’.  
Sebaliknya kemampuan kreativitas yang tidak diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup tidak efektif berupa kebuntuan alternatif dan kemacetan aliran transformasi. Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah membuat ‘defensive communication’ dibarengi dengan pendewaan posisi antara saya dan anda, kami dan mereka. Posisi yang didewakan akan membuat aliran kepentingan misi bisa macet dan akhirnya terbuang ke tempat yang tidak diinginkan.
 
7. Pembaharuan - Mengasah Gergaji 
   
Kebiasaan mengasah gergaji dihasilkan dari kemampuan pembaruan-diri  yang diaktualkan secara optimal. Dikatakan kebiasaan efektif karena dengan terus mengasah gergaji (baca: pengembangan diri) dapat mengurangi kemungkinan yang menyebabkan kegagalan atau kelambanan menyelesaikan masalah akibat perubahan keadaan. Seperti dikatan, siksaan  paling berat yang kita rasakan adalah ketidaktahuan (kebodohan).  Pembaharuan adalah inovasi, improvisasi, pembelajaran, atau merenovasi talang.
Sebaliknya, kemampuan pembaruan yang tidak diaktualkan secara optimal akan membuat kita terperosok dalam sistem hidup yang tertutup, gaya hidup yang gelap, dan buntu. Tak pelak lagi sistem dan gaya hidup demikian hanya akan mewariksakn ketertinggalan dari kemajuan zaman, mentalitas kerdil dan kebodohan akan perkembangan informasi.  
  Uraian singkat di atas  mudah-mudahan dapat mendorong kita untuk mengecek kondisi talang di atas "rumah diri kita" secara langsung  agar dapat membuat kesimpulan yang paling mendekati obyektif; apakah talang yang tidak dapat mengalirkan air sebagaimana mestinya itu disebabkan oleh kerusakan fatal  atau hanya kemampetan. Bila yang terjadi hanya mampet, pengalaman menunjukkan sangat amat jarang kemampetan talang diakibatkan oleh benda besar dalam peristiwa sesaat, misalnya pohon yang roboh atau lainnya. Sebab kalau benda besar yang menghalangi langsung kita singkirkan.  Lebih sering talang yang mampet disebabkan oleh serpihan kayu, lumpur, lumut yang awalnya kita anggap tidak membahayakan. Dan begitu hujan turun, maka …. Bem! Semoga bermanfaat.

Memaknai Peristiwa Hidup


“Every adversity, every unpleasant circumstance, every failure, and every physical pain carries with it the seed of an equivalent benefit”. 
(Ralp Waldo Emerson)
Kalimat bijak diatas mungkin sangat mudah dimengerti. Tetapi ketika mengalami kegagalan maka hanya sedikit individu yang bisa mengaplikasikan makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sama halnya dengan kata bijak yang lain: "Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Benarkah?  

Gagal & Sukses 
Jika kita  mengacu pada kisah kehidupan orang sukes yang kita kenal dan diperkenalkan oleh sejarah maka cenderung diperoleh kesimpulan yang sama bahwa kegagalan adalah peristiwa potensial yang bersifat netral, ‘hidden potential events’ yang tidak memiliki makna tertentu kecuali setelah diberi pemaknaan oleh kita: nasib, takdir, siksaan, cobaan, tantangan atau pelajaran. Apapun makna yang dibubuhkan pada akhirnya akan kembali pada formula bahwa hidup ini lebih pada memutuskan pilihan dan merasakan konsekuensi.
Berdasarkan hidden potential events tersebut maka bisa dimengerti jika Abraham Lincoln baru mencapai cita-cita politiknya pada usia 52 tahun;  Soichiro Honda yang sampai cacat tangannya gara-gara mendesain piston; atau Werner Von Braun penemu roket yang menyebut angka kegagalan 65.121 kali.   AMROP International, perusahaan pencari eksekutif senior yang berkantor di 78 negara di dunia termasuk Indonesia, pernah mengeluarkan catatan tentang fluktuasi emosi pencari kerja dari sejak di-PHK sampai menemukan pekerjaan baru. Dihitung, fluktuasi naik-turun itu terjadi sebanyak   26 kali dengan asumsi waktu minimal  enam bulan.
Pendek kata, gagal dan sukses adalah ritme hidup yang tidak terpisah dari kehidupan semua orang. Lalu apa pembeda antara  perjuangan tiada akhir (unstoppable) yang menghasilkan para "pengubah" dunia  dengan perjuangan yang dikalahkan rasa putus asa karena kegagalan yang barangkali  terjadi hanya sepersekian persen? 

Menyikapi Kegagalan 
Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Membiarkan
Model penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah berupa membiarkan saja semua terjadi. Sikap ini dihasilkan dari mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan karena tidak memiliki kemauan yang dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level pengetahuan dan harapan yang dimiliki orang. Karena jawaban rasional tidak ditemukan, maka cara tunggal yang digunakan untuk memaafkan sikap demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak tersentuh oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.

2. Menolak
Model penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk menyalahkan orang lain, keadaan atau Tuhan sekalipun, karena dirasakan tidak adil memberi perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi akibat keseimbangan hidup yang kurang mendapat perhatian di tingkat intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan dapat dilumpuhkan, tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara usaha dan hasil tidak sebanding. Jika diambil perumpaan maka model hal ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk pistol.
3. Menerima
Model penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan dengan kualitas  yang tinggi. Di sini kegagalan adalah materi pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal ini tentu saja bukan berarti bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi yang ingin difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan kegagalan sebagai proses yang menyertai realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik menunjukkan peristiwa yang belum / tidak berjalan seperti yang diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang lain yang bermazhab-hidup sama merebut tanggung jawab untuk mengubah hidup dari cengkraman fakta fisik temporer itu.  Seperti dikatakan Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for changing them."
Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take for granted begitu saja tetapi dibentuk oleh sekian  faktor  antara lain:

a. Lingkungan
Termasuk dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di mana kita menjadi salah satu komponen yang ikut mempengaruhi dan dipengaruhi. Kualitas model penyikapan lingkungan terhadap persoalan hidup secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan, atau peradaban yang membentuknya.  Orang yang dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.

b. Sistem Struktural
Selain lingkungan,  faktor  sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan sosial tertentu juga ikut andil terutama   membentuk karakter mentalitas individu dalam menghadapi hidup dan kegagalan pada khususnya. Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana seseorang menjadi ‘the cause’ dari peristiwa hidup sementara mentalitas rendah akan membentuk kepribadian sebagai ‘the effect’.
c. Personal
Meskipun tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan sistem struktural, tetapi pengaruh tersebut hanya bersifat menawarkan dan hanya faktor personal-lah yang menentukan keputusan. Sudah jelas kita rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif sehingga  peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita untuk menghidupkan tombol ‘seleksi’ dan ‘pengecualian’  dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara yang bekerja untuk merusak atau mandul.

Memaknai Kegagalan 

Tidaklah benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat dari hidden potential yang terjadi dalam suatu peristiwa yang menyebabkan kegagalan semata-mata karena faktor negatif yang diwariskan oleh lingkungan atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat. Justru yang  dibutuhkan adalah bagaimana kita menciptakan model penyikapan ketiga yang dihasilkan dari pemahaman tentang cara kerja hidup dan dunia. Dalam hal memaknai kegagalan, kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah yang kemungkinan besar dapat membantu adalah:

1. Menciptakan Kondisi

Makna tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha untuk menemukannya, dalam arti menciptakan kondisi dengan kesadaran bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi untuk mematangkan diri. Kualitas conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya dari kecil, rasanya semua orang membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang menyandang sebutan maestro property Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu di mana seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat Ciputra kecil berusia 12 tahun harus hidup tanpa bimbingan ayah, barulah kita sadar bahwa balasan yang diterimanya sekarang ini  adalah balasan setimpal. Bocah kecil bernama Ciputra harus jalan kaki sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar.  Kata kuncinya bukan pada kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan tetapi kesadaran bahwa dirinya harus merumuskan tujuan, visi, dan misi hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita sendiri, belum tentu kita berani buru-buru membayangkan alangkah enaknya menjadi sosok Ir. Ciputra.

2. Menciptakan Perbedaan

Model penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga tidak disuguhkan tetapi diciptakan oleh kualitas pembeda dalam  mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam diri yaitu:
  • Sumber daya material: fisik, raga
  • Sumber daya intelektual: nalar
  • Sumber daya emosional: sikap perasaan
  • Sumber daya spiritual: hati, rohani
  • Sumber daya mental: daya dobrak
  • Sumber daya visual: imajinasi
  • Sumber daya verbal: komunikasi
  • Sumber daya social: relationship
  • Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem struktural
Banyak hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi luput untuk dijalankan karena sifat manusia yang ingin ‘jump to conclusion’ mendapatkan hasil yang besar. Di antaranya adalah kesadaran mendengarkan musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.

3. Menggunakan Kemampuan Baru

Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan baru, baik kemampuan  hardware skill dan software skill atau makna lain yang anda temukan. Tetapi balasan setimpal dari situasi yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan tersebut untuk menambah nilai plus, competitive advantage, diri kita bagi orang lain. Salah seorang yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu adalah prof. Hamka. Mungkin – ini hanya pengandaian – kalau tidak dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal Hamka tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut  yang membuatnya hidup menggelandang sampai usia 40 tahun, mungkin karya berseri berjudul  “The Chicken Soup for Soul”  yang saat ini banyak terpampang di sejumlah toko buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen. 
Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang membuat kedua sosok di atas merasakan balasan setimpal, tetapi pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi justru menjadi kunci untuk mengembangkan sumber daya di dalam diri masing-masing dan hasilnya digunakan demi kesejahteraan orang banyak.
Akhir kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat belajar dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa hidup guna memberikan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selamat menemukan makna dari peristiwa hidup yang anda alami guna menciptakan competitive advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak.

Melihat Kisah Bunuh Diri dengan Empati


Deretan anak sekolah yang mengakhiri hidup atau mencoba mengakhiri hidup dengan bunuh diri kian bertambah. Agustus 2004, Haryanto, siswa SDN IV Garut, Jawa Barat, harus mengalami brain damage akibat bunuh diri yang gagal dilakukan. Sembodo, anak muda Kebumen, Jawa Tengah, menyentak gempita peringatan Hari Anak Nasional 2004 dengan mengakhiri hidupnya. Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2005 mendapat kado meninggalnya Eko Haryanto, siswa SD Kepunduhan 01 Kramat, Tegal, Jawa Tengah, karena gantung diri. Terakhir, Jumat (15/7/2005) Fifi Kusrini (14), siswi SMPN 10 Bekasi, mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (Kompas, Minggu, 17/7/2005).
Meruaknya kasus-kasus bunuh diri anak sekolah mestinya memancing perhatian lebih intens, bukan sekadar simpati terhadap rasa sakit keluarga korban. Memang, mungkin kita jauh lebih mudah melihat faktor pencetus, yaitu ketidakberdayaan ekonomi, sebagai motif dasar keinginan anak-anak itu untuk bunuh diri. Namun, terlalu naif bila sayatan di ”kening” pendidikan nasional ini disandarkan melulu pada ketidakmampuan orangtua memenuhi aneka kewajiban material pada pelaksanaan proses belajar-mengajar di sekolah.

Ketidakcerdasan emosi
  • Meski anak-anak muda yang bunuh diri itu memiliki alasan, sebenarnya mereka lebih didorong perasaan tidak mampu menanggung beban sosio-emosional yang kadang tidak sepenuhnya mereka mengerti.
Meski pemicunya ketidakmampuan finansial orangtua, bagi anak, tekanan itu jauh lebih menyakitkan. Fifi, misalnya, mungkin tidak sepenuhnya memahami mengapa ia dilahirkan sebagai anak tukang bubur yang membuatnya harus menerima ejekan teman-teman atas status itu. Dia telah memutuskan untuk mengakhiri ”derita”-nya. Kasus- kasus sebelumnya juga menunjukkan ada ketidakmampuan sosio-emosional dari anak-anak untuk mengelola tekanan yang mereka terima.
Dengan orientasi kapitalis, lingkungan sosial cenderung membentuk anak-anak dengan menghadapkan pada aneka pembelajaran instan, mengarah pada kekerasan dan pemaksaan sebagai cara yang dipandang efektif dalam memecahkan masalah.
Karena itu, memilih melakukan apa saja untuk mencapai tujuan menjadi sedemikian lazim. Proses, sebagai bagian paling penting dalam pembelajaran, ternafikan. Lalu terbentuk generasi instan yang mudah puas, mudah cemas, mudah bertindak agresif, dan kurang menghargai toleransi, perdamaian, dan nilai-nilai hidup orang lain. Akibatnya, ketika ketidakberhasilan dan ketidakcocokan muncul, serta ketidakberdayaan dirasakan, jalan pintaslah yang dipilih.
Sebenarnya, kian banyak anak yang mengalami aneka kesulitan yang mengarah pada ketidakcerdasan emosional dalam menyikapi masalah. Sistem pendidikan dan pembelajaran di negeri ini secara tidak langsung ikut andil membentuk ketidakcerdasan emosi pada anak-anak itu. Ada banyak kritik terhadap sistem pendidikan kita yang lebih mengedepankan kemampuan dan kecerdasan intelektual, dan tidak meletakkan secara proporsional pengembangan aspek spiritual dan sosio-emosional.

Fungsi sosio-emosional empati
  • Pengembangan empati menjadi amat relevan guna membangun aspek-aspek manusiawi individu itu. Empati membantu anak mengetahui dan memahami emosi orang lain dan berbagi perasaan dengan orang lain.
Dengan empati, anak dituntut untuk mengubah pola pikir yang rigid menjadi fleksibel, pola pikir yang egois menjadi toleran. Anak juga menjadi mengerti, tidak semua keinginannya terhadap orang lain dapat terpenuhi, dan memiliki inisiatif membantu orang lain yang berada dalam kesulitan.
Kemampuan anak untuk membayangkan perasaan seseorang dan berpikir dalam keseluruhan sikap mental emosional orang lain menjadi dasar pengembangan empati. Anak memerlukan kesadaran diri, keterbukaan pada emosi diri, dan keterampilan membaca perasaan sehingga dapat melihat dirinya pada peran yang dimainkan orang lain. Dengan kemampuan itu, anak memahami, mengenali, dan memberi nama (label) secara tepat terhadap emosi-emosi yang dirasakan. Dengan demikian, tak ada kebingungan pada anak dalam mendefinisikan apa yang sedang bergolak dalam perasaannya dan kesalahan penggunaan coping behaviour tak akan terjadi.
Perspective taking yang dilakukan anak akan memperlihatkan bagaimana dia memandang aneka kejadian sehari-hari dari sudut pandang orang lain sehingga membuatnya mampu mengantisipasi perilaku dan reaksi orang lain. Emphatic concern akan terbentuk dan mengasah kemampuan anak untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.
Daniel Goleman, dalam buku Emotional Intelligence, mengemukakan, empati memungkinkan seseorang untuk menghayati masalah atau kebutuhan yang tersirat di balik perasaan orang lain, yang tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata.
Melalui empati, anak tidak hanya keluar diri dalam usaha memahami orang lain, tetapi juga melakukan pemahaman internal terhadap self.

Pertama, kesadaran bahwa tiap orang memiliki sudut pandang berbeda akan mendorong anak mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan menggunakan mobilitas pikirannya, anak dapat menempatkan diri pada posisi perannya sendiri maupun peran orang lain sehingga akan membantu melakukan komunikasi efektif.
Kedua, mampu berempati mendorong anak melakukan tindak altruistis, yang tidak hanya mengurangi atau menghilangkan penderitaan orang lain, tetapi juga ketidaknyamanan perasaan anak melihat penderitaan orang lain. Merasakan apa yang dirasakan individu lain akan menghambat kecenderungan perilaku agresif terhadap individu itu.
Ketiga, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain membuat anak menyadari bahwa orang lain dapat membuat penilaian berdasarkan perilakunya. Kemampuan ini membuat individu lebih melihat ke dalam diri dan lebih menyadari serta memerhatikan pendapat orang lain mengenai dirinya. Proses itu akan membentuk kesadaran diri yang baik, dimanifestasikan dalam sifat optimistis, fleksibel, dan emosi yang matang. Jadi, konsep diri yang kuat, melalui proses perbandingan sosial yang terjadi dari pengamatan dan pembandingan diri dengan orang lain, akan berkembang dengan baik.
Kemampuan mengambil perspektif orang lain merupakan kunci untuk menciptakan hubungan sosial yang hangat. Hubungan sosial yang berkualitas inilah yang memungkinkan anak dapat mengekspresikan perasaannya secara terbuka dengan mengembangkan emosinya dengan sehat. Identitas dan harga diri akan berkembang mantap, dan meminjam istilah Sigmund Freud, anak akan cenderung menghambat thanatos (insting kematian) yang dimiliki dengan penghargaan lebih tinggi terhadap eros (insting kehidupan).*