PAULO Freire pernah menulis, adaptasi adalah tindakan yang paling maksimal bagi mereka yang "kalah". Beradaptasi, meski dalam banyak kasus harus ditempuh dengan cara keras, hakikatnya hanyalah suatu bentuk yang paling lunak untuk mengeliminasi diri, menghilangkan keberdirian, dan menumpas kemandirian. Mereka yang memilih untuk menempuh cara beradaptasi adalah mereka yang sadar maupun tidak telah menyerahkan diri dan kemandiriannya pada keadaan yang belum tentu sesuai dengan keinginan kemanusiaannya.
Freire bisa jadi benar, hanya barangkali bagi sebagian besar orang Indonesia, pandangan tersebut justru cenderung "menyakitkan". Betapa tidak, hingga saat ini, kita masih berada pada fase "beradaptasi". Fase ini kita tempuh dengan sangat susah payah, bahkan hingga luka parah. Dalam analogi Freire, masyarakat Indonesia kira-kira berada pada fase antara "masyarakat tertutup" (closed society) menuju "masyarakat terpecah", namun belum menjadi "masyarakat terbuka".
Kesadaran masyarakatnya pun masih belum beranjak dari kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya, menuju kesadaran naif yakni kesadaran yang lebih melihat "aspek indivudu-individu manusia" menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Kita belum sepenuhnya masuk dalam kategori kesadaran kritis, yakni kesadaran dalam melihat permasalahan secara sistematis dan terstruktur.
Lihat saja, demi beradaptasi dengan pergaulan internasional, petinggi-petinggi Republik yang dimerdekakan dengan darah dan peluh rakyat ini, di masa lalu pernah bersedia mengorbankan ratusan ribu hingga jutaan nyawa rakyatnya sendiri agar bisa duduk sejajar dengan negara-negara lain yang kabarnya lebih maju. Tidak hanya itu, kita bersedia menerima pendiktean dari para pemberi utang, hanya untuk mendapat predikat "negara pengutang yang paling rajin bayar utang". Demi mencapai kata "tinggal landas", kita bersedia meliberalkan sistem perbankan kita, meskipun justru harus tersungkur dalam krisis keuangan.
Namun perilaku itu bukan hanya milik para petinggi. Lihat saja keseharian diri kita sendiri. Sebagai contoh, penulis belum pernah membaca pemberitaan tentang adanya gerakan masyarakat yang menolak klaim MTV atas anak-anak muda Indonesia dicap "generasi anak nongkrong MTV". Yang penulis lihat justru gerakan masyarakat menolak penerbitan "Playboy Indonesia". Mengapa klaim MTV "diterima", namun penerbitan "Playboy" ditolak? Bukankah keduanya memiliki substansi yang sama?
Mengapa kita mempersoalkan aksi 42 warga Papua yang meminta suaka ke Australia, sementara ratusan ribu lainnya sebenarnya sudah putus harapan hidup di Indonesia dan memilih bekerja di luar negeri meski harus mendapatkan siksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan, bahkan diperdagangkan tak ubahnya seperti budak belian? Lagi-lagi, bukankah substansinya sama?
Keadaan seperti di atas tentu tidak memuaskan kita. Demikian pula bagi Freire. Dalam berbagai tulisannya, Freire mengemukakan ajakan pada semua orang --khususnya mereka yang disebut Freire sebagai "kaum tertindas"-- untuk memilih cara yang paling berwibawa. Cara itu dirangkumnya dalam istilah "berintegrasi". Maksudnya, kita tidak harus hanya berhenti pada mengetahui keadaan. Lebih jauh dari itu, memahaminya, dan berbuat untuk terus mengubahnya. Dengan begitu, kita tidak akan kehilangan kemerdekaan. Bahkan tidak hanya itu, kita pun dapat menegakkan kemanusiaan.
Namun lagi-lagi kita mungkin akan menyatakan bahwa saran Freire benar, namun tidak aplikatif. Bila integrasi mensyaratkan pengetahuan keberdirian dan tingkat perkembangan kita sendiri, bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi bila sarana untuk itu tidak tersedia secara memadai. Sarana itu tidak lain adalah pengetahuan sejarah yang menjadi impuls untuk menumbuhkan kesadaran sejarah.
Sejarah, dengan meminjam pernyataan Pramoedya Ananta Toer, adalah rumah bagi setiap orang melanglangi dunia. Jika seseorang tidak mengerti sejarahnya, sama dengan tidak memahami asalnya dan tidak akan mengerti tujuannya. Untuk mencapai tujuan itu, Bapak Sejarawan modern Leopold von Ranke pernah berujar, dengan menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi (wie es eigentlich gewesen), historiografi diharapkan bisa menunaikan tugas untuk "mengadili masa lalu, mengajar masa kini, untuk kepentingan masa yang akan datang".
Masalahnya, tulisan-tulisan sejarah (historiografi) yang berkembang di negeri ini memang tidak lebih dari prosopografi dari "orang-orang besar" yang pernah hidup dalam momen-momen besar di masa lalu. Dalam perspektif Sartono Kartodirdjo (1982), umumnya karya sejarah Indonesia itu masih berada dalam suasana kolonial-sentris dan istana-sentris. Meskipun gairah penulisan dan penerbitan karya-karya sejarah tengah mengalami gelombang pasang, namun secara esensi sedikit sekali kemajuan-kemajuan --khususnya secara metodologi-- yang bisa dilihat dan dirasakan secara inklusif.
Hingga sekarang, karya-karya sejarah Indonesia masih saja dihantui oleh kontradiksi-kontradiksi yang memicu ketegangan antara sejarah dengan masa lalu. Sepertinya, kontradiksi tersebut masih belumlah usai. Setidaknya, seperti diakui Prof. Dr. Taufik Abdullah --Ketua Tim Penulisan Sejarah Nasional Indonesia-- yang secara terbuka menyatakan bahwa buku sejarah tidak dimaksudkan untuk meluruskan sejarah.
Suasana ini sebenarnya telah secara terbuka dikritik dalam "Seminar Nasional Sejarah" tahun 1954 yang mengeluarkan beberapa resolusi penting dalam penulisan sejarah, seperti diperkenalkannya prinsip-prinsip keilmiahan sejarah untuk mengikis pandangan-pandangan romantis, dan dekolonisasi historiografi sebagai antitesis dari kolonial-sentris dan istana-sentris dalam historiografi. Sesungguhnya, resolusi tersebut memiliki konsekuensi metodologis yang cukup kompleks, namun tidak banyak yang memahaminya.
Alhasil, seperti dirangkum oleh Henk Schulte Nordholt dari KITLV Leiden dalam sebuah simposium mengenai penulisan sejarah Indonesia tahun 2004 lalu, sejarah --tepatnya historiografi-- Indonesia belum mengalami fase yang disebut dengan "dekolonisasi". Historiografi Indonesia masih cenderung berada dalam atmosfer kolonial dan istana sentris dengan konsekuensi terciptanya "sejarah tanpa rakyat" (history without people) yang memunculkan keadaan rakyat yang seolah tidak memiliki basis sejarah (people without history).
Akibatnya, tidak salah bila rakyat cenderung absen dalam berbagai momentum yang menentukan. Bahkan antusiasme massa dalam momentum-momentum kolosal seperti pemilu tidak bisa dijadikan barometer kesadaran politik rakyat, ketika dominasi politik uang atas politik akal sehat masih belum tergantikan. Inilah faktor yang menentukan derasnya eradikasi kemerdekaan sehingga penjajahan kembali hadir secara vulgar tanpa perlawanan yang berarti.
Inilah yang menyebabkan bangsa kita dalam percaturan internasional ibarat pemain cadangan dalam permainan sepak bola. Duduk di pinggir lapangan sambil mengamati pertandingan, sambil menunggu giliran untuk dimainkan. Terpaksa memberikan pertandingan-pertandingan besar pada pemain utama sambil sesekali berharap, pelatih mengubah strategi atau ada pemain inti yang cedera. Masalahnya, apakah kita akan sudah memastikan masa depan kita hanya sebagai "pemain cadangan"? Atau sudah berpikir untuk menjadi "pemain utama"?***
0 komentar:
Posting Komentar