MOMENTUM Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik yang sangat signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia.
Dari momentum Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua faktor yang sangat signifikan bagi investasi Indonesia. Pertama, pemuda yang menunjukkan peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif perubahan yang heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan Indonesia pascakemerdekaan.
Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini� dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks keindonesiaan.
Dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu. Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis.
Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah, dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu, yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi.
Pola tersebut selanjutnya menempatkan entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah ancaman bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan homogenisasi tersebut dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang berimplikasi bukan saja pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik sosial antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan bangunan sejarah suatu bangsa.
Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam posisi yang kondusif. Kerap dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah. Sehingga muncul kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan wajah nasionalisme yang lebih baik.
Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam ruang yang semestinya. Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas daerah tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi takaran yang seharusnya.
Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada kontemplasi terhadap eksistensi nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah berada dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan kebangsaan, seperti besarnya utang luar negeri, fenomena memudarnya rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.
Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif, yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut meminimalisasi pesimistis yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan nasionalisme dari implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi.
Nasionalisme baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi berbagai hal, pada sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu berada dalam tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis).
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.
Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam apa yang disebut prinsip kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas dan umat manusia atas persamaan.
Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship merepresentasikan kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai civil society. Barangkali kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam segala hal. Pun lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep nasionalisme.
Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa, termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang sangat mungkin, seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar kebangsaan yang menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan nasionalisme kita.***
Dari momentum Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua faktor yang sangat signifikan bagi investasi Indonesia. Pertama, pemuda yang menunjukkan peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif perubahan yang heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan Indonesia pascakemerdekaan.
Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini� dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks keindonesiaan.
Dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu. Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis.
Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah, dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu, yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi.
Pola tersebut selanjutnya menempatkan entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah ancaman bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan homogenisasi tersebut dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang berimplikasi bukan saja pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik sosial antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan bangunan sejarah suatu bangsa.
Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam posisi yang kondusif. Kerap dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah. Sehingga muncul kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan wajah nasionalisme yang lebih baik.
Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam ruang yang semestinya. Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas daerah tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi takaran yang seharusnya.
Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada kontemplasi terhadap eksistensi nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah berada dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan kebangsaan, seperti besarnya utang luar negeri, fenomena memudarnya rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.
Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif, yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut meminimalisasi pesimistis yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan nasionalisme dari implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi.
Nasionalisme baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi berbagai hal, pada sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu berada dalam tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis).
Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.
Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam apa yang disebut prinsip kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas dan umat manusia atas persamaan.
Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship merepresentasikan kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai civil society. Barangkali kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam segala hal. Pun lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep nasionalisme.
Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa, termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang sangat mungkin, seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar kebangsaan yang menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan nasionalisme kita.***
0 komentar:
Posting Komentar