“Agama memiliki sembilan nyawa, begitu juga sekularisme.” Ungkapan indah penuh makna ini saya dengar dari Goenawan Muhammad, budayawan ternama, dalam sebuah diskusi tentang masa depan sekularisme di Teater Utan Kayu minggu lalu. Ungkapan ini merupakan sebuah bentuk optimisme dan --saya kira juga-- kritik terhadap dua teori besar yang berkembang selama ini dalam kajian-kajian sosiologi agama.
“Agama memiliki sembilan nyawa, begitu juga sekularisme.” Ungkapan indah penuh makna ini saya dengar dari Goenawan Muhammad, budayawan ternama, dalam sebuah diskusi tentang masa depan sekularisme di Teater Utan Kayu minggu lalu. Ungkapan ini merupakan sebuah bentuk optimisme dan --saya kira juga-- kritik terhadap dua teori besar yang berkembang selama ini dalam kajian-kajian sosiologi agama. Teori pertama menyatakan bahwa dunia kita sedang menuju kepada satu titik di mana agama-agama tradisional tak lagi punya tempat. Masa depan umat manusia adalah masa depan dunia sekular, masa depan sekularisme. Teori ini didukung oleh hampir seluruh sosiolog besar Barat, termasuk Weber, Durkheim, Comte, dan Luckmann.Teori kedua adalah respon dari teori pertama itu. Teori ini menyatakan bahwa tesis tentang sekularisasi tak lagi bisa dipertahankan. Dunia kita bukannya sedang mengarah kepada satu titik yang sekular, tapi justru kepada titik di mana agama-agama menjalani kebangkitannya Teori ini dianut oleh para sosiolog belakangan seperti Peter Berger, Rodney Stark, dan Jose Cassanova.
Lalu, dengan demikian, apakah teori klasik sekularisasi benar-benar telah mati, dan masa depan dunia kita adalah masa depan agama, dan bukan sekularisme? Ungkapan yang dilontarkan Goenawan Muhammad di atas, saya kira, menjawab itu Baik agama maupun sekularisme sulit mati, karena keduanya punya banyak nyawa.
Pertanyaannya, mengapa agama begitu tegar dan mampu bertahan dari serangan sekularisme sejak dua abad belakangan? Jawabannya, saya kira, bukan karena agama memiliki “kekuatan supranatural” atau “kebenaran sejati” sehingga, seperti kerap diklaim kaum agamawan, “kebenaran akan mengalahkan kebatilan.”
Jawabannya, menurut saya, karena agama telah begitu pandai memainkan perannya dalam berhadapan dengan dunia modern. Agama mampu beradaptasi dengan produk-produk modernitas, termasuk sekularisme. Maksudnya, ada upaya dan proses terus-menerus dari tokoh maupun penganut agama untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan yang terus berubah, situasi dan keadaan yang diciptakan oleh dunia kita yang sekular. Tak ada satu pun agama di dunia ini yang mengaku punya ajaran universal tapi bersikap resisten terhadap perubahan. Menolak perubahan, bagi sebuah agama universal, sama artinya menolak karakter universalnya.
Islam misalnya. Ia adalah agama universal yang punya klaim agung sekali: “cocok untuk setiap masa dan keadaan” (salih li kulli zaman wa makan). Klaim inilah yang membuat Islam terus bertahan hingga sekarang. Ia akan selalu melihat perkembangan di dunia luar, mencontohnya, mempelajarinya, lalu menirunya (mimicry). Produk-produk peradaban sekular seperti sistem keuangan, industri turisme, dan kapitalisme media, diamati dan dipelajari oleh orang-orang Islam, lalu ditiru dan diberikan identitas keislaman menjadi ekonomi Islam, bimbingan haji plus, dan media Islami. Saya meyakini, masa depan Islam --dan juga agama-agama dunia lainnya-- terletak pada sejauh mana ia bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan sekularisme dan dunia kita yang semakin sekular.
0 komentar:
Posting Komentar