Pendahuluan
Sebuah pemikiran dalam sosiologi pengetahuan menyatakan bahwa supaya suatu masyarakat dapat bertahan dan hidup terus (viable), masyarakat ini harus mengembangkan prosedur-prosedur “pemeliharaan kenyataan” (reality-maintenance) untuk mempertahankan suatu simetri antara kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif. Tanpa simetri ini, suatu masyarakat akan ambruk. “Kenyataan obyektif” mengacu pada masyarakat sebagai suatu lembaga di luar manusia. “Kenyataan subyektif” menunjuk pada masyarakat di dalam diri manusia; maksudnya: pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dibuat dan dilegitimasi oleh masyarakat sebagai suatu “dunia simbolik” yang telah diinternalisasi, dimasukkan, ke dalam batin setiap anggota masyarakat.
Karena proses sosialisasi manusia ke dalam masyarakat (sebagai kenyataan obyektif) tidak pernah selesai dan internalisasi (= proses memasukkan masyarakat ke dalam batin manusia sehingga lembaga sosial ini menjadi kenyataan subyektif) juga senantiasa terancam gagal, maka prosedur-prosedur tersebut diperlukan.
Dalam keadaan krisis, yaitu ketika menghadapi ancaman-ancaman dari orang-orang atau hal-hal asing yang dapat merobohkan simetri antara dua kenyataan itu, maka diperlukan prosedur-prosedur untuk mempertahankan simteri itu. Prosedur-prosedur itu adalah: melakukan ritual keagamaan (misalnya, ritual pembasuhan atau pembersihan; ritual ini dialami sebagai “nihilisasi” atau “pelenyapan subyektif’ atas realitas asing obyektif yang secara subyektif dipandang mencemarkan dan merusak); menetapkan tabu-tabu; mengutuk orang-orang asing, para penyesat, orang-orang gila; dan eksorsisme (= mengusir setan-setan).
Ritual Eksorsisme
Eksorsisme mempunyai suatu fungsi sosial penting untuk membuat suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan obyektif bertahan dan langgeng; cara bekerjanya digambarkan berikut ini.
Dalam alam pemikiran mitis, orang yang menolak atau merongrong tatanan sosial (social order) yang sah, yang diklaim dan dilegitimasi secara religius sebagai tatanan dasariah yang berasal dari Yang Ilahi (the sacred), dipandang sebagai orang gila, orang yang kerasukan setan atau dikuasai oleh, dan bersekutu dengan, kekuatan-kekuatan gelap demonik (the devil). Mereka dinilai merongrong tatanan (order) dan mau menggantikannya dengan kekacauan atau anomi (chaos). Berhadapan dengan orang-orang yang dipandang demikian, ritual keagamaan berfungsi ganda. Pertama, untuk mengingatkan kembali atau menyadarkan orang yang sebelumnya alpa ketika ia melawan tatanan sosial yang sah; ini adalah fungsi kuratif dari ritual religius. Kedua, untuk menghadirkan kembali definisi-definisi dasariah yang ditetapkan Yang Ilahi atas kenyataan atau tatanan yang semula serta legitimasi-legitimasinya yang pas, bagi orang-orang yang berpartisipasi di dalam kehidupan dalam tatanan yang sah itu; ini adalah fungsi preventif dan protektif dari ritual keagamaan.
Eksorsisme, yang tergolong sebagai suatu ritual dan akta keagamaan, berfungsi kuratif ketika dengannya orang “menihilisasi” atau “melenyapkan secara subyektif” kekuatan-kekuatan asing jahat perusak dan pencemar yang diyakini (dalam kenyataan subyektif) didalangi oleh, atau bersumber dari, kuasa-kuasa jahat demonik adikodrati yang tidak kasat mata, yang mau menumbangkan tatanan obyektif yang ditetapkan Yang Ilahi dan hendak menggantikannya dengan kekacauan, anomi, chaos. Dengan eksorsisme, “lawan” atau “musuh”, yakni kekuatan asing demonik itu, dikalahkan dan dilenyapkan, sehingga masyarakat terbebas dari ancaman, dan dengan begitu posisi simetri antara dua kenyataan itu terbangun kembali. Dengan cara ini, eksorsisme adalah suatu konstruksi sosial untuk mempertahankan masyarakat.
Dalam masyarakat modern, eksorsisme juga dipraktekkan, hanya di dalamnya idiom-idiom mitisnya telah diganti dengan idiom-idiom modern, namun konfrontasi antara “order” dan “chaos” secara fundamental dipandang tetap berlangsung. Kalau di jaman dulu para pengusir setan menangkal setan-setan melalui ritual eksorsisme untuk mengembalikan “order” dalam tubuh manusia dan tubuh sosial (masyarakat), maka sekarang, di zaman modern, ritual eksorsisme ini berlangsung ketika para ahli medik bertempur melawan kuman-kuman, bakteri-bakteri, mikroba-mikroba, dan virus-virus yang tidak kasat mata yang merongrong “order” dalam tubuh manusia.
Atau sebuah contoh lain: Ketika Amerika Serikat, dalam alur kebijakan politik luar negerinya yang didukung kemampuan intelijen modernnya, memandang Irak (dan Iran serta Korea Utara) sebagai “axis of evil” (karena disinyalir sedang menjadi suatu ancaman terhadap dunia karena memiliki dan mengembangkan senjata-senjata pemusnah massal nuklir, kimiawi dan biologis), maka negeri yang dikuasai “evil” ini dipandang sebagai pengacau dan perongrong “order” atau tatanan politis global yang sudah dan sedang dibangun adidaya Amerika Serikat. Maka, pemerintahan Bush pun segera mengatur, menyiapkan dan melaksanakan suatu ritual eksorsisme untuk “menihilisasi” kekuatan demonik ini: Irak pun diserang dan digempur dengan kekuatan militer gabungan yang luar biasa kuatnya. Inilah eksorsisme dalam idiom-idiom modern dan dalam skala global. “The devil” yang diserang pun jauh lebih kuat dan mematikan, dibandingkan “setan-setan” yang dipersalahkan telah merusak jiwa-jiwa dan tubuh-tubuh manusia-manusia individual.
Apakah teori “reality-maintenance” dapat menjelaskan mengapa kekristenan perdana dapat tetap bertahan? Jawabnya tegas: Ya!
Eksorsisme dalam Kekristenan Perdana
Eksorsisme sebagai suatu ritual untuk mempertahankan masyarakat mengisi kehidupan komunitas-komunitas Kristen PB, sejak dari kegiatan-kegiatan Yesus (“Jika Aku mengusir Setan dengan Roh/jari Allah …”; Matius 12:28; par.), ke masa rasul Paulus (“Aku tidak mau kamu bersekutu dengan setan-setan;” 1 Korintus 10:20-21), sampai ke surat 1 Petrus (“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan berkeliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.”; 5:8). Adanya lawan atau musuh demonik ini, membuat kekristenan perdana terus terlibat dalam peperangan untuk menggempur dan melenyapkan musuh ini. Dorongan untuk terus berperang dan bertempur ini memiliki andil penting dalam terbentuknya ketahanan dan kekenyalan kekristenan perdana sehingga ia dapat langgeng.
“Kenyataan subyektif” dalam diri Yesus tentu adalah “Kerajaan Allah” yang menjadi suatu “symbolic universe” (= doktrin, teologi, nilai) utama dalam kehidupannya. Ia memberikan definisinya sendiri terhadap konsep “Kerajaan Allah” ini; misalnya, ia memakai metafora “ragi”, sesuatu yang dipandang najis, cemar dan tidak benar (Keluaran 12:19; Galatia 5:9; 1 Korintus 5:6-8; Markus 8:15), untuk menggambarkan karakteristik kerajaan Allah (Lukas 13:20-21; Matius 13:33). Maksud Yesus jelas: Di tengah Tanah Yahudi yang sudah tercemar karena penjajahan bangsa asing yang (menurut sistim puritas Yahudi) najis, dan di tengah terpusatnya pemerintahan Allah di Bait Allah yang dikuasai kalangan korup elitis imamat dan aristokrat, maka, bagi Yesus, kerajaan Allah hanya bisa ditemukan di antara rakyat kebanyakan, yang digolongkan sebagai lapisan masyarakat marjinal menurut sistim puritas Yahudi formal. Kenyataan subyektif ini dieksternalisasikan dan diobyektivasikan oleh Yesus, dan ini melahirkan suatu bentuk sosial masyarakat obyektif, yakni suatu masyarakat baru alternatif, masyarakat Kerajaan Allah, yang berpusat pada Allah dan pada nilai-nilai egalitarianisme, yang tidak diatur oleh sistim puritas Yahudi formal yang membagi-bagi manusia dan nilai-nilai dalam peringkat hirarkis dan polarisasi-polarisasi.
Tetapi, karena kenyataan obyektif yang lebih luas, yakni masyarakat Israel, tidak diperintah Allah dengan belas kasih-Nya atau bela rasa-Nya, tetapi diperintah oleh penjajah Roma melalui antek-antek Yahudinya yang menguasai Bait Allah dan memarjinalkan rakyat, maka terciptalah posisi asimetri antara “dunia simbolik” yang dipertahankan Yesus dan murid-muridnya dan “kenyataan obyektif” masyarakat terjajah Israel.
Posisi asimetri ini menimbulkan tekanan-tekanan psikis besar pada anggota-anggota masyarakat; tekanan-tekanan ini tampak nyata di dalam banyak kasus sakit penyakit dan kerasukan setan, yang merupakan akibat-akibat mental dan fisikal yang diderita banyak rakyat, yang ditimbulkan oleh pemerintahan represif Roma melalui kaki tangannya. Dalam bagian-bagian tertentu Injil-injil, Roma dan kaki tangannya digambarkan sebagai “Setan” atau “Iblis” (Lukas 13:31-32; Markus 5:1-20 [“Namaku Legion karena kami banyak”]). “Iblis” yang dipandang sebagai aktor utama di balik penjajahan Roma digambarkan sebagai kekuatan yang sangat besar, sebagai “Legion” (= sejumlah 3000-6000 prajurit pejalan kaki dan pasukan berkuda Romawi), atau sebagai “orang kuat” yang harus dikalahkan dulu kalau Israel mau dipulihkan (Markus 3:20-30). Dengan melakukan ritual-ritual eksorsisme, maka Yesus menciptakan simetri, dan dengan itu mendatangkan Kerajaan Allah (Matius 12:28; Lukas 11:20); murid-muridnya juga diberi kemampuan dan tugas yang sama (Markus 6:7, 13; par.).
Dalam segala kegiatannya, rasul Paulus melihat dirinya sedang berada dalam suatu peperangan, dengan bersenjatakan kuasa Allah, untuk menghadapi musuh-musuh yang didalangi kuasa-kuasa adikodrati yang jahat. Katanya, “Kami memang masih hidup dalam dunia, tetapi kami tidak berperang (strateumetha) menurut daging, karena senjata kami dalam peperangan bukanlah senjata kedagingan, melainkan senjata yang memiliki kuasa Allah untuk merubuhkan benteng-benteng” (2 Korintus 10:3-4; lihat juga 6:7). Pada aras dunia kodrati, peperangan ini berlangsung ketika ia menghadapi:
1) orang-orang yang, karena didalangi “Setan,” menghalangi penyebaran berita Kristen (1 Tesalonika 2:18);
2) “Ilah zaman ini” yang membutakan pikiran orang sehingga mereka tidak percaya (2 Korintus 4:4);
3) tipu daya “Iblis”/”Setan” yang bekerja melalui rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, saudara-saudara palsu (2 Korintus 11:13,14,26);
4) kesakitan akibat ulah “Iblis”/ “Setan” sebagai lawannya (2 Korintus 12:7);
5) orang-orang yang berpaling dari rasul Paulus sebagai akibat pekerjaan “allah-allah yang pada hakikatnya bukan Allah” dan “roh-roh dunia yang lemah dan miskin” (Galatia 4:3,8,9; 1:6,9);
6) “binatang buas di Efesus” dalam hubungan dengan “pemerintahan, kekuasaan dan kekuatan” (1 Korintus 15:32; bdk. 15:24, 25; Roma 8:38);
7) “Iblis”/”Setan” (Roma 16:20; 1 Korintus 5:5; 7:5; 2 Korintus 2:11).
Mem-“binatangbuas”-kan dan “mensetankan” (demonizing) lawan, seperti ditemukan dalam surat 1 Petrus 5:8, adalah suatu strategi ritual sosial untuk mempertahankan simetri antara “kenyataan subyektif” dan “kenyataan obyektif.” Kekristenan perdana penuh dengan motif ini (lihat, misalnya, Elaine Pagels, The Origin of Satan. New York: Vintage Press, 1995). Dalam “nubuat astral” penulis Wahyu Yohanes, strategi ritual dengan memakai metafora “mensetankan” dan “membinatangbuaskan” musuh dan lawan (orang Yahudi, lembaga-lembaga kultik Yahudi dan Roma, dan Kaisar) muncul sangat kuat dan grafis (Wahyu 2:9,10,13; 3:9; 12:9, 2; 13:1-13; 16:13). Oleh tindakan kekuatan-kekuatan kudus adikodrati dari “angkasa luar”, “Iblis” dan para pengikutnya di bumi dikalahkan (17:14; 19:19-21; 20:10).
Kesimpulan
Teori “reality maintenance” dari sosiologi pengetahuan, yang digunakan dalam penafsiran teks-teks PB, berhasil membantu penafsir untuk memahami fungsi-fungsi sosial strategis dari ritual eksorsisme dalam rangka mempertahankan eksistensi kekristenan perdana di tengah banyak hambatan dan ganjalan yang berasal dari lawan-lawan dan musuh-musuh mereka. Situasi dipaksa untuk terus bertempur dan melawan musuh-musuh yang diyakini didalangi Setan atau Iblis, melalui ritual eksorsisme, telah memberikan andil besar dalam menciptakan ketahanan komunitas-komunitas Kristen perdana di tengah-tengah pelbagai kesulitan yang mereka hadapi.
0 komentar:
Posting Komentar