KETIKA harga minyak mulai rontok di tahun 1982, rezim Orde Baru berangsur-angsur kehilangan otonomi fiskal. Sejak itu gerak ekonomi-politik Indonesia mencari motor baru dalam rupa bisnis swasta dengan deregulasi sebagai instrumen utama. Era deregulasi mulai di tahun 1983 mencakup keuangan, pajak, tarif, bea cukai, perdagangan, investasi, pasar modal, perbankan, komunikasi, dan sebagainya.
Apakah deregulasi baik atau buruk? Ada baiknya ditangguhkan dulu debat pro dan kontra. Namun, sebagai uji coba, baiklah mulai dari posisi pro: deregulasi secara keseluruhan (dan bukan selektif) merupakan sesuatu yang sangat baik adanya.
Bila diringkas, deregulasi menunjuk ke- bijakan pemerintah mengurangi/meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Dengan kebebasan gerak produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume kegiatan bisnis swasta diharapkan melonjak. Dengan itu lanskap ekonomi Indonesia juga tidak lagi bergantung pada uang minyak.
Deregulasi telah menjadi istilah teknis ekonomi dan populer karena alasan ekonomi. Akan tetapi, penciutan istilah "deregulasi" ke bidang ekonomi itu sangat menyesatkan. Deregulasi pertama-tama bukan gagasan ekonomi, tetapi premis baru ketatanegaraan.
Premis baru
Isi premis baru ketatanegaraan itu mungkin bisa ditunjuk dengan dua lapis argumen berikut. Lapis pertama, deregulasi berisi gagasan bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri tak boleh lagi hanya bergantung pada kekuasaan rezim yang sedang memerintah. Jadi, jatuh-bangun dan hidup-matinya ekonomi, budaya, atau pendidikan di Indonesia tidak boleh lagi hanya bergantung pada inisiatif pemerintah, entah itu rezim Soeharto atau Susilo B Yudhoyono. Itulah mengapa deregulasi melibatkan pemindahan berbagai inisiatif, dari pemerintah ke sektor-sektor nonpemerintah.
Sejak 1 Januari 1984, misalnya, metode "valuasi pemerintah" (official assessment) dalam pengumpulan pajak diganti menjadi "penghitungan diri" (self-assessment). Artinya, penghitungan pajak tidak lagi dimulai oleh petugas pajak, tetapi oleh wajib pajak sendiri, lalu petugas pajak melakukan crosscheck. Tentu perubahan itu ditujukan untuk sasaran ekonomi, seperti efisiensi dan pembatasan kuasa petugas pajak bagi peningkatan revenue dari pajak. Namun, implikasi praktis terhadap urusan fiskal ini hanyalah konsekuensi dari gagasan lebih fundamental tentang deregulasi: bahwa hidup-matinya Indonesia tidak boleh lagi bergantung hanya pada inisiatif dan tindakan aparat pemerintah.
Lapis kedua, justru karena itu deregulasi juga menunjuk gagasan baru bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya kondisi politik, ekonomi, budaya, ataupun pendidikan di Indonesia juga tidak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Lugasnya, solusi atas masalah Indonesia juga merupakan beban tanggungan sektor-sektor nonpemerintah. Lapis ini sejajar dengan lapis pertama di atas. Andaikan "deregulasi" adalah sekeping mata uang, pokok dalam lapis pertama dan kedua merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.
Dua lapis pengertian di atas mungkin terdengar aneh bagi mereka yang mengartikan deregulasi hanya sebagai soal teknis, seperti pengertian umum dalam alam pikir ekonomi dewasa ini. Namun, dalam "republik refleksi", kita selalu butuh kembali ke prinsip paling sederhana, yang kira-kira berbunyi begini: pengertian luas bukanlah bukti validitas.
Dari pokok-pokok di atas mungkin segera tampak, de-regulasi bukan berarti tidak-adanya regulasi, melainkan perluasan/pemindahan locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation. Maka, de-regulasi sesungguhnya berisi re-regulasi, dengan self sebagai aktor-regulator alternatif. Istilah "self" bisa berupa individu perorangan, bisa juga badan usaha bisnis/ perusahaan, dan bisa pula pemerintahan lokal yang otonom.
Regulator alternatif
Apa dasar self bertindak sebagai aktor-regulasi alternatif? Dasarnya adalah self-determination yang terungkap dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Tetapi masih perlu dikejar lanjut. Kalau sumber daya pemerintah melakukan state-regulation adalah mandat, apa sumber daya self-regulation? Jawab: pemilikan/kontrol atas berbagai sumber daya (finansial, teknologis, fisik, informasi, material, dan sebagainya) yang diubah menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah "capital" pada bidang-bidang seperti budaya (cf cultural capital), pengetahuan (cf symbolic capital), dan lain-lain.
Dengan itu deregulasi melahirkan gejala baru, yaitu kedaulatan dan kebebasan selera individual menjadi locus kekuatan regulatif baru yang tidak kalah menentukan dibanding kekuatan regulatif pemerintah. Modelnya adalah kinerja "kebebasan pilihan individual" dalam ekonomi pasar-bebas (cf "saya bebas berbuat apa pun menurut selera saya dan selera apa pun yang bisa saya beli"). Dalam arti tertentu bahkan bisa dibilang, pemerintah sering tinggal menjadi penjaga legalitas, tanpa sepenuhnya mampu menjadi regulator.
Ambillah acara di layar televisi sebagai contoh. Sudah lama meluas keluhan tentang rendahnya mutu acara televisi yang dikuasai program gosip, klenik, jingkrak-jingkrak, badut-badutan, serta histeria idola. Pemerintah tidak bisa lagi menjadi regulator acara televisi tanpa dituduh otoriter. Mungkin para programmers acara televisi bilang acara-acara itulah demand pemirsa. Tetapi karena klaim itu tidak ada sebelum programmers menayangkan acara-acara tersebut, dengan lugas bisa dikatakan regulatornya adalah corak selera para programmers televisi. Kemudian muncul apologi, misalnya "bukankah pepatah Romawi pun mengingatkan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan roti, tetapi juga komedi?" (Tajuk Kompas, 8/9/2004). Dalih itu menggelikan karena soalnya justru sebagian besar acara televisi berupa "komedi". Tambahan lagi, pepatah itu datang dari kaisar seperti Nero dan Commodus sebagai siasat meninabobokan warga Roma dengan orgi darah di Colosseum.
Sekali lagi, de-regulasi bukan pengha- pusan regulasi, tetapi re-regulasi menurut selera pribadi. Dengan itu kekuatan-regulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera/pilihan individual. Pokok sederhana ini punya implikasi sangat jauh.
Etika deregulasi
Bila deregulasi berisi premis hidup-matinya negeri ini tak boleh lagi tergantung hanya pada pemerintah, tentu itu juga berarti hidup-matinya negeri ini tidak boleh lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Segera tampak deregulasi pertama-tama bukan urusan teknis ekonomi, tetapi etika baru manajemen masyarakat. Dan itu berlaku baik untuk bidang ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, maupun politik. Jadi, kita mesti pro atau kontra deregulasi? Dua pokok berikut ini mungkin bertentangan dengan paham tradisional yang luas diyakini, tetapi semoga ada gunanya diajukan.
Pertama, andaikan Anda penentang gigih deregulasi. Posisi kontra ini salah satunya melibatkan penolakan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Anda mungkin dituduh mendukung otoritarianisme, tetapi tuduhan itu bisa diabaikan. Salah satu agenda pokok penganut posisi kontra deregulasi lalu adalah memastikan agar gerakan civil society mengoreksi dan memberdayakan kapasitas pemerintah sebagai badan regulator yang baik karena pemerintah dilihat sebagai satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Tetapi, agenda ini tidak lebih dari meneruskan teriakan-teriakan kita selama ini dan deregulasi lalu juga kehilangan arti.
Kedua, andaikan Anda penuntut gigih deregulasi. Posisi pro ini berisi kesetujuan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Implikasi utamanya, civil society tidak-bisa-tidak berfokus pada gerakan memastikan agar sektor-sektor nonpemerintah juga menjadi aktor-regulator yang baik karena self-regulation berarti pemerintah bukan lagi satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Lugasnya, persis dari logika-internal deregulasi, sektor-sektor nonpemerintah itu kini juga tidak-bisa-tidak menjadi penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Itu berlaku baik bagi sektor bisnis, media, maupun perguruan tinggi, dari soal acara televisi, rusaknya gedung sekolah, busung lapar, sampai keluasan korupsi.
Apa yang terjadi bila sektor-sektor nonpemerintah menuntut deregulasi seluasnya, tetapi membebankan semua hanya kepada pemerintah dan juga tidak mau ikut menjadi solusi atas labirin masalah Indonesia? Itulah yang rupanya sedang terjadi. Deregulasi lalu tidak lebih dari siasat para pelaku sektor-sektor nonpemerintah untuk menjadi free riders di negeri ini. Free rider kira-kira berarti "penumpang yang tidak membayar". Maka tidak perlu kaget bila para programmers televisi merasa tidak punya urusan dengan pendidikan kultural warga Indonesia. Tak mengherankan pula bila para bos perusahaan tambang merasa tidak punya urusan dengan kehancuran lingkungan seperti di Pantai Buyat.
Kita bisa meratapi atau merayakan deregulasi, tetapi itu masih jauh dari memahami bahwa deregulasi melibatkan agenda ketatanegaraan yang lebih mendalam daripada sekadar perkara efisiensi ekonomi.
Apakah deregulasi baik atau buruk? Ada baiknya ditangguhkan dulu debat pro dan kontra. Namun, sebagai uji coba, baiklah mulai dari posisi pro: deregulasi secara keseluruhan (dan bukan selektif) merupakan sesuatu yang sangat baik adanya.
Bila diringkas, deregulasi menunjuk ke- bijakan pemerintah mengurangi/meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Dengan kebebasan gerak produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume kegiatan bisnis swasta diharapkan melonjak. Dengan itu lanskap ekonomi Indonesia juga tidak lagi bergantung pada uang minyak.
Deregulasi telah menjadi istilah teknis ekonomi dan populer karena alasan ekonomi. Akan tetapi, penciutan istilah "deregulasi" ke bidang ekonomi itu sangat menyesatkan. Deregulasi pertama-tama bukan gagasan ekonomi, tetapi premis baru ketatanegaraan.
Premis baru
Isi premis baru ketatanegaraan itu mungkin bisa ditunjuk dengan dua lapis argumen berikut. Lapis pertama, deregulasi berisi gagasan bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri tak boleh lagi hanya bergantung pada kekuasaan rezim yang sedang memerintah. Jadi, jatuh-bangun dan hidup-matinya ekonomi, budaya, atau pendidikan di Indonesia tidak boleh lagi hanya bergantung pada inisiatif pemerintah, entah itu rezim Soeharto atau Susilo B Yudhoyono. Itulah mengapa deregulasi melibatkan pemindahan berbagai inisiatif, dari pemerintah ke sektor-sektor nonpemerintah.
Sejak 1 Januari 1984, misalnya, metode "valuasi pemerintah" (official assessment) dalam pengumpulan pajak diganti menjadi "penghitungan diri" (self-assessment). Artinya, penghitungan pajak tidak lagi dimulai oleh petugas pajak, tetapi oleh wajib pajak sendiri, lalu petugas pajak melakukan crosscheck. Tentu perubahan itu ditujukan untuk sasaran ekonomi, seperti efisiensi dan pembatasan kuasa petugas pajak bagi peningkatan revenue dari pajak. Namun, implikasi praktis terhadap urusan fiskal ini hanyalah konsekuensi dari gagasan lebih fundamental tentang deregulasi: bahwa hidup-matinya Indonesia tidak boleh lagi bergantung hanya pada inisiatif dan tindakan aparat pemerintah.
Lapis kedua, justru karena itu deregulasi juga menunjuk gagasan baru bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya kondisi politik, ekonomi, budaya, ataupun pendidikan di Indonesia juga tidak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Lugasnya, solusi atas masalah Indonesia juga merupakan beban tanggungan sektor-sektor nonpemerintah. Lapis ini sejajar dengan lapis pertama di atas. Andaikan "deregulasi" adalah sekeping mata uang, pokok dalam lapis pertama dan kedua merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.
Dua lapis pengertian di atas mungkin terdengar aneh bagi mereka yang mengartikan deregulasi hanya sebagai soal teknis, seperti pengertian umum dalam alam pikir ekonomi dewasa ini. Namun, dalam "republik refleksi", kita selalu butuh kembali ke prinsip paling sederhana, yang kira-kira berbunyi begini: pengertian luas bukanlah bukti validitas.
Dari pokok-pokok di atas mungkin segera tampak, de-regulasi bukan berarti tidak-adanya regulasi, melainkan perluasan/pemindahan locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation. Maka, de-regulasi sesungguhnya berisi re-regulasi, dengan self sebagai aktor-regulator alternatif. Istilah "self" bisa berupa individu perorangan, bisa juga badan usaha bisnis/ perusahaan, dan bisa pula pemerintahan lokal yang otonom.
Regulator alternatif
Apa dasar self bertindak sebagai aktor-regulasi alternatif? Dasarnya adalah self-determination yang terungkap dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Tetapi masih perlu dikejar lanjut. Kalau sumber daya pemerintah melakukan state-regulation adalah mandat, apa sumber daya self-regulation? Jawab: pemilikan/kontrol atas berbagai sumber daya (finansial, teknologis, fisik, informasi, material, dan sebagainya) yang diubah menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah "capital" pada bidang-bidang seperti budaya (cf cultural capital), pengetahuan (cf symbolic capital), dan lain-lain.
Dengan itu deregulasi melahirkan gejala baru, yaitu kedaulatan dan kebebasan selera individual menjadi locus kekuatan regulatif baru yang tidak kalah menentukan dibanding kekuatan regulatif pemerintah. Modelnya adalah kinerja "kebebasan pilihan individual" dalam ekonomi pasar-bebas (cf "saya bebas berbuat apa pun menurut selera saya dan selera apa pun yang bisa saya beli"). Dalam arti tertentu bahkan bisa dibilang, pemerintah sering tinggal menjadi penjaga legalitas, tanpa sepenuhnya mampu menjadi regulator.
Ambillah acara di layar televisi sebagai contoh. Sudah lama meluas keluhan tentang rendahnya mutu acara televisi yang dikuasai program gosip, klenik, jingkrak-jingkrak, badut-badutan, serta histeria idola. Pemerintah tidak bisa lagi menjadi regulator acara televisi tanpa dituduh otoriter. Mungkin para programmers acara televisi bilang acara-acara itulah demand pemirsa. Tetapi karena klaim itu tidak ada sebelum programmers menayangkan acara-acara tersebut, dengan lugas bisa dikatakan regulatornya adalah corak selera para programmers televisi. Kemudian muncul apologi, misalnya "bukankah pepatah Romawi pun mengingatkan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan roti, tetapi juga komedi?" (Tajuk Kompas, 8/9/2004). Dalih itu menggelikan karena soalnya justru sebagian besar acara televisi berupa "komedi". Tambahan lagi, pepatah itu datang dari kaisar seperti Nero dan Commodus sebagai siasat meninabobokan warga Roma dengan orgi darah di Colosseum.
Sekali lagi, de-regulasi bukan pengha- pusan regulasi, tetapi re-regulasi menurut selera pribadi. Dengan itu kekuatan-regulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera/pilihan individual. Pokok sederhana ini punya implikasi sangat jauh.
Etika deregulasi
Bila deregulasi berisi premis hidup-matinya negeri ini tak boleh lagi tergantung hanya pada pemerintah, tentu itu juga berarti hidup-matinya negeri ini tidak boleh lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Segera tampak deregulasi pertama-tama bukan urusan teknis ekonomi, tetapi etika baru manajemen masyarakat. Dan itu berlaku baik untuk bidang ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, maupun politik. Jadi, kita mesti pro atau kontra deregulasi? Dua pokok berikut ini mungkin bertentangan dengan paham tradisional yang luas diyakini, tetapi semoga ada gunanya diajukan.
Pertama, andaikan Anda penentang gigih deregulasi. Posisi kontra ini salah satunya melibatkan penolakan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Anda mungkin dituduh mendukung otoritarianisme, tetapi tuduhan itu bisa diabaikan. Salah satu agenda pokok penganut posisi kontra deregulasi lalu adalah memastikan agar gerakan civil society mengoreksi dan memberdayakan kapasitas pemerintah sebagai badan regulator yang baik karena pemerintah dilihat sebagai satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Tetapi, agenda ini tidak lebih dari meneruskan teriakan-teriakan kita selama ini dan deregulasi lalu juga kehilangan arti.
Kedua, andaikan Anda penuntut gigih deregulasi. Posisi pro ini berisi kesetujuan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Implikasi utamanya, civil society tidak-bisa-tidak berfokus pada gerakan memastikan agar sektor-sektor nonpemerintah juga menjadi aktor-regulator yang baik karena self-regulation berarti pemerintah bukan lagi satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Lugasnya, persis dari logika-internal deregulasi, sektor-sektor nonpemerintah itu kini juga tidak-bisa-tidak menjadi penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Itu berlaku baik bagi sektor bisnis, media, maupun perguruan tinggi, dari soal acara televisi, rusaknya gedung sekolah, busung lapar, sampai keluasan korupsi.
Apa yang terjadi bila sektor-sektor nonpemerintah menuntut deregulasi seluasnya, tetapi membebankan semua hanya kepada pemerintah dan juga tidak mau ikut menjadi solusi atas labirin masalah Indonesia? Itulah yang rupanya sedang terjadi. Deregulasi lalu tidak lebih dari siasat para pelaku sektor-sektor nonpemerintah untuk menjadi free riders di negeri ini. Free rider kira-kira berarti "penumpang yang tidak membayar". Maka tidak perlu kaget bila para programmers televisi merasa tidak punya urusan dengan pendidikan kultural warga Indonesia. Tak mengherankan pula bila para bos perusahaan tambang merasa tidak punya urusan dengan kehancuran lingkungan seperti di Pantai Buyat.
Kita bisa meratapi atau merayakan deregulasi, tetapi itu masih jauh dari memahami bahwa deregulasi melibatkan agenda ketatanegaraan yang lebih mendalam daripada sekadar perkara efisiensi ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar