KARDINAL Joseph Ratzinger menjadi Paus ke-265 dan memilih nama Benediktus XVI. Sebelum konklaf dimulai, Ratzinger mengatakan bahwa satu bahaya besar bagi Gereja Katolik Roma adalah tersebarnya suatu "relativisme iman". Pernyataan tersebut merangkum inti keyakinan Ratzinger selama ini.
Dalam konteks Indonesia yang dicirikan oleh keragaman agama, kepercayaan, dan budaya, pernyataan tersebut bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial. Dua di antaranya adalah tentang dialog antar-agama dan tentang fundamentalisme agama.
PERTAMA, dialog antar-agama. Pada tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan Italia, melakukan wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris, hasil wawancara tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive Interview on the State of the Church (1985). Salah satu pertanyaan kritis-atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai salah satu kekhawatiran di kalangan orang Katolik Roma-adalah bahwa keyakinan Ratzinger akan menghambat berkembangnya dialog antar-agama. Dalam kerangka pembicaraan tentang hubungan Gereja Katolik Roma dengan Gereja-gereja lain, ia mengatakan, "dialog dapat memperdalam dan memurnikan iman Katolik, tetapi tidak dapat mengubahnya dalam tataran esensinya yang sejati" (1985:155).
Dalam kesempatan yang sama Ratzinger juga menegaskan, "definisi-definisi jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam dialog" (1985:155). Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Di sini terlihat kembali keyakinan Ratzinger bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman".
Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang bisa muncul adalah sikap yang begitu saja menganggap bahwa semua iman itu sama. Sikap semacam ini mengidentikkan "toleransi" dengan "relativisme". Toleransi (Latin: tollerare, berarti ’mengangkat’) adalah sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. Relativisme adalah sikap yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif; bahwa segala sesuatu ditentukan bukan oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara sesuatu dan sesuatu yang lain.
Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain. Relativisme menomorduakan gerakan ke arah dalam karena terus menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran untuk melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-umum-an yang sama di luar.
Sebuah dialog antar-agama yang sejati tidak mungkin ada tanpa sebuah keyakinan akan apa yang ada di dalam kekayaan iman tertentu. Dengan kata lain, relativisme iman, dalam bentuknya yang paling ekstrem, justru akan membawa orang pada sebuah keengganan, atau bahkan ketakutan, untuk berpegang pada komitmen imannya. Tanpa sebuah komitmen iman ke dalam, tidak mungkin seseorang bisa menopang bersama apa yang ada di luar. Relativisme iman, dengan demikian, justru merupakan musuh terbesar yang bisa menghambat terciptanya sebuah toleransi antar-agama yang sejati.
Keyakinan Ratzinger (atau sekarang Paus Benediktus XVI) adalah keyakinan yang justru ingin menyerukan pentingnya toleransi. Dalam konteks Indonesia, keyakinan itu bisa dibahasakan sebagai sebuah seruan untuk menciptakan sebuah iklim beriman di mana setiap orang, apa pun agamanya, mendapat ruang luas untuk secara berani membuat komitmen imannya. Toleransi sepihak, di mana pihak yang takut harus menopang adanya perbedaan antara apa yang ada di dalam iman yang diyakininya dan apa yang ada di luar, bukanlah sebuah toleransi, melainkan depresi. Toleransi sepihak, di mana pihak yang begitu berani meminta pihak luar untuk menopang apa yang ada di dalam keyakinan imannya sendiri bukanlah sebuah toleransi, melainkan opresi. Baik depresi iman maupun opresi iman tidak akan pernah menjadi dasar kokoh bagi terciptanya dialog antar-agama yang sejati.
KEDUA, fundamentalisme agama. Sebuah sikap berani dan yakin bisa berkembang menjadi terlalu berani dan terlalu yakin. Yang terjadi adalah sebuah sikap yang memutlakkan kebenaran yang dimiliki di dalam serta menutup diri terhadap kebenaran lain di luar. Maka pertanyaan krusial terhadap sikap Paus Benediktus XVI yang menentang dengan tegas suatu relativisme iman adalah: kriteria apa yang bisa menjadi batas antara keyakinan iman yang berani, tetapi tetap inklusif? Artinya, bagaimana orang mengembangkan dengan berani sebuah keyakinan iman yang tidak eksklusif, tidak absolut, tetapi sekaligus tidak relativistis?
Pada tanggal 27 Januari 1988 Ratzinger berbicara di Gereja Lutheran Santo Petrus di kota New York dalam kesempatan Erasmus Lecture. Pokok pembicaraan adalah seputar penafsiran Kitab Suci. Ulasan Ratzinger itu diterbitkan sebagai salah satu tulisan dalam buku berjudul Biblical Interpretation in Crisis: The Ratzinger Conference on Bible and Church (1989). Dalam kesempatan itu ia kembali menegaskan demikian, "Tentu saja teks- teks (Kitab Suci) harus pertama-tama dirunut kembali ke asal-usul historisnya dan ditafsirkan dalam konteks sejarah yang tepat. Meskipun demikian, selanjutnya dalam tahap penafsiran yang kedua, orang harus melihat teks-teks itu juga dalam terang totalitas perjalanan sejarah […]" (1989:20).
Strategi penafsiran semacam ini menjadi peringatan tegas bagi bahaya fundamentalisme dalam penafsiran Kitab Suci. Strategi ini menegaskan bahwa dalam penafsiran Kitab Suci, orang harus melakukan dua hal penting. Pertama-tama, orang harus berani masuk sedalam mungkin pada kekhasan iman dalam titik sejarah tertentu dalam proses penyusunan teks (artinya, sebuah keterpisahan momen yang eksklusif). Meski kemudian, orang harus berani keluar dan menempatkan satu titik khusus dalam sejarah itu dalam rangkaian sejarah yang jauh lebih luas (artinya, sebuah keterkaitan momen- momen yang inklusif).
Rangkaian sejarah yang lebih luas ini mencakup juga sejarah pewahyuan kebenaran dalam agama-agama lain. Penafsiran Kitab Suci yang benar tidak akan pernah membuat orang menjadi fundamentalistis dan tertutup. Bukan karena semua iman sama, tetapi karena orang tersebut melihatnya dalam terang sejarah yang lebih luas. Singkat kata, Paus Benediktus XVI, sejalan dengan sikap Gereja Katolik Roma, menentang dengan tegas fundamentalisme agama dalam bentuk apa pun, termasuk yang mungkin timbul di kalangan orang-orang dalam Gereja Katolik Roma sendiri.
Bagaimana Paus Benediktus XVI ini akan mengembangkan keyakinannya, tentu masih harus dibuktikan. Hari-hari ini orang-orang dari Gereja Katolik Roma bisa berseru kepada (dan bersama) orang-orang sedunia: Habemus papam!
Dalam konteks Indonesia yang dicirikan oleh keragaman agama, kepercayaan, dan budaya, pernyataan tersebut bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial. Dua di antaranya adalah tentang dialog antar-agama dan tentang fundamentalisme agama.
PERTAMA, dialog antar-agama. Pada tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan Italia, melakukan wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris, hasil wawancara tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive Interview on the State of the Church (1985). Salah satu pertanyaan kritis-atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai salah satu kekhawatiran di kalangan orang Katolik Roma-adalah bahwa keyakinan Ratzinger akan menghambat berkembangnya dialog antar-agama. Dalam kerangka pembicaraan tentang hubungan Gereja Katolik Roma dengan Gereja-gereja lain, ia mengatakan, "dialog dapat memperdalam dan memurnikan iman Katolik, tetapi tidak dapat mengubahnya dalam tataran esensinya yang sejati" (1985:155).
Dalam kesempatan yang sama Ratzinger juga menegaskan, "definisi-definisi jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam dialog" (1985:155). Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Di sini terlihat kembali keyakinan Ratzinger bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman".
Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang bisa muncul adalah sikap yang begitu saja menganggap bahwa semua iman itu sama. Sikap semacam ini mengidentikkan "toleransi" dengan "relativisme". Toleransi (Latin: tollerare, berarti ’mengangkat’) adalah sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. Relativisme adalah sikap yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif; bahwa segala sesuatu ditentukan bukan oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara sesuatu dan sesuatu yang lain.
Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain. Relativisme menomorduakan gerakan ke arah dalam karena terus menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran untuk melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-umum-an yang sama di luar.
Sebuah dialog antar-agama yang sejati tidak mungkin ada tanpa sebuah keyakinan akan apa yang ada di dalam kekayaan iman tertentu. Dengan kata lain, relativisme iman, dalam bentuknya yang paling ekstrem, justru akan membawa orang pada sebuah keengganan, atau bahkan ketakutan, untuk berpegang pada komitmen imannya. Tanpa sebuah komitmen iman ke dalam, tidak mungkin seseorang bisa menopang bersama apa yang ada di luar. Relativisme iman, dengan demikian, justru merupakan musuh terbesar yang bisa menghambat terciptanya sebuah toleransi antar-agama yang sejati.
Keyakinan Ratzinger (atau sekarang Paus Benediktus XVI) adalah keyakinan yang justru ingin menyerukan pentingnya toleransi. Dalam konteks Indonesia, keyakinan itu bisa dibahasakan sebagai sebuah seruan untuk menciptakan sebuah iklim beriman di mana setiap orang, apa pun agamanya, mendapat ruang luas untuk secara berani membuat komitmen imannya. Toleransi sepihak, di mana pihak yang takut harus menopang adanya perbedaan antara apa yang ada di dalam iman yang diyakininya dan apa yang ada di luar, bukanlah sebuah toleransi, melainkan depresi. Toleransi sepihak, di mana pihak yang begitu berani meminta pihak luar untuk menopang apa yang ada di dalam keyakinan imannya sendiri bukanlah sebuah toleransi, melainkan opresi. Baik depresi iman maupun opresi iman tidak akan pernah menjadi dasar kokoh bagi terciptanya dialog antar-agama yang sejati.
KEDUA, fundamentalisme agama. Sebuah sikap berani dan yakin bisa berkembang menjadi terlalu berani dan terlalu yakin. Yang terjadi adalah sebuah sikap yang memutlakkan kebenaran yang dimiliki di dalam serta menutup diri terhadap kebenaran lain di luar. Maka pertanyaan krusial terhadap sikap Paus Benediktus XVI yang menentang dengan tegas suatu relativisme iman adalah: kriteria apa yang bisa menjadi batas antara keyakinan iman yang berani, tetapi tetap inklusif? Artinya, bagaimana orang mengembangkan dengan berani sebuah keyakinan iman yang tidak eksklusif, tidak absolut, tetapi sekaligus tidak relativistis?
Pada tanggal 27 Januari 1988 Ratzinger berbicara di Gereja Lutheran Santo Petrus di kota New York dalam kesempatan Erasmus Lecture. Pokok pembicaraan adalah seputar penafsiran Kitab Suci. Ulasan Ratzinger itu diterbitkan sebagai salah satu tulisan dalam buku berjudul Biblical Interpretation in Crisis: The Ratzinger Conference on Bible and Church (1989). Dalam kesempatan itu ia kembali menegaskan demikian, "Tentu saja teks- teks (Kitab Suci) harus pertama-tama dirunut kembali ke asal-usul historisnya dan ditafsirkan dalam konteks sejarah yang tepat. Meskipun demikian, selanjutnya dalam tahap penafsiran yang kedua, orang harus melihat teks-teks itu juga dalam terang totalitas perjalanan sejarah […]" (1989:20).
Strategi penafsiran semacam ini menjadi peringatan tegas bagi bahaya fundamentalisme dalam penafsiran Kitab Suci. Strategi ini menegaskan bahwa dalam penafsiran Kitab Suci, orang harus melakukan dua hal penting. Pertama-tama, orang harus berani masuk sedalam mungkin pada kekhasan iman dalam titik sejarah tertentu dalam proses penyusunan teks (artinya, sebuah keterpisahan momen yang eksklusif). Meski kemudian, orang harus berani keluar dan menempatkan satu titik khusus dalam sejarah itu dalam rangkaian sejarah yang jauh lebih luas (artinya, sebuah keterkaitan momen- momen yang inklusif).
Rangkaian sejarah yang lebih luas ini mencakup juga sejarah pewahyuan kebenaran dalam agama-agama lain. Penafsiran Kitab Suci yang benar tidak akan pernah membuat orang menjadi fundamentalistis dan tertutup. Bukan karena semua iman sama, tetapi karena orang tersebut melihatnya dalam terang sejarah yang lebih luas. Singkat kata, Paus Benediktus XVI, sejalan dengan sikap Gereja Katolik Roma, menentang dengan tegas fundamentalisme agama dalam bentuk apa pun, termasuk yang mungkin timbul di kalangan orang-orang dalam Gereja Katolik Roma sendiri.
Bagaimana Paus Benediktus XVI ini akan mengembangkan keyakinannya, tentu masih harus dibuktikan. Hari-hari ini orang-orang dari Gereja Katolik Roma bisa berseru kepada (dan bersama) orang-orang sedunia: Habemus papam!
0 komentar:
Posting Komentar